Oleh: Suparlan *)
Seorang mahasiswa – mungkin jurusan komunikasi – meminta saya menjadi informan untuk menjawab kuesioner yang diajukan dalam uppaya pengumpulan data bagi penulisan skripsinya. Skripsinya akan membahas tentang pengaruh filem terhadap karakter. Tanpa berpikir panjang, saya terima permintaan tersebut, lantaran keinginan saya membantu mahasiswa itu. Permintaan agar saya dapat menjadi informan tersebut diajukan melalui surel.
Ketika saya tanyakan apa latar belakang mengapa mahasiswa ini memilih saya sebagai narasumber. Makasiswa ini menjelaskan sebagai berikut. “Mengapa saya memilih bapak untuk menjadi informan karena saya membaca beberapa artikel bapak mengenai pendidikan karakter.” “Saya rasa bapak paham mengenai nilai-nilai pendidikan karakter dan juga latar belakang bapak yang juga ikut ‘concern’ dalam pendidikan,” lanjutnya.
Selain penjelasan tersebut, atas permintaan saya mahasiswa ini menjelaskan secara ringkas sinopsis filem yang akan dibahas dalam srikpsi tersebut Filem tersebut berjudul SPTK. Setelah dibaca secara sekilas, filem tersebut cukup baik, karena relevan dengan kehidupan di negeri ini, yang menceritakan tentang masalah korupsi, dan pendidikan karakter, serta akibat perbuatan korupsi yang pasti berlanjut ke penjara karena perbuatannya. Sinopsis filem tersebut sebagai berikut.
Film karya Lasja F. Susatyo ini bercerita mengenai keluarga yang awalnya baik-baik saja. Dipimpin oleh seorang ayah bernama Yan yang bekerja di dinas pehubungan, Yan merupakan seorang yang lurus dan jujur. Ia memiliki seorang istri yang merupakan dosen filsafat di Universitas ternama di Indonesia yang rasional serta bijak. Mereka memiliki tiga orang anak yang memiliki watak yang berbeda-beda. Anak kedua Yan bernama Satria merupakan seorang kontraktor yang ambisius. Keambisiusannya semakin terlihat ketika bertemu dengan Hasan seorang anggota Dewan yang haus kekuasaan, Hasan membantu Satria untuk mendapatkan proyek di kantor tempat Yan bekerja. Sebelumnya Satria berusaha meminta proyek pada ayahnya, namun Yan sebagai orang yang jujur enggan membantu anaknya dan meminta anaknya untuk bersaing seperti orang lain untuk mendapatkan proyek tersebut bukan karena bantuan ayahnya. Sampai pada akhirnya Satria mendapatkan tender di tempat Yan bekerja atas bantuan Hasan. Meski bukan Yan yang membantu Satria dalam mendapatkan tender tersebut, namun pergunjingan di kantor tempat Yan bekerja menganggap bahwa Yan sama saja dengan pejabat lainnya yakni membantu anaknya untuk memenangkan tender tersebut. Hal ini membuat Yan memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya. Dalam melaksanakan segala proyeknya Satria dibantu oleh kakaknya yang menganggur yakni Firman. Ia bertugas sebagai kurir yang mengambil berkas-berkas keperluan proyek dengan cara menyogok sana sini. Pada akhirnya keluarga yang dulunya hangat dan harmonis harus hancur karena tindakan korupsi yang dilakukan anaknya. Satria dan Firman ditangkap dan mendekam dipenjara akibat perbuatannya.
Sesuai juga dengan permintaan saya, mahasiswa ini pun mengirimkan beberapa pertanyaan yang harus saya jawab. Ternyata, pertanyaannya lumayan bagus. Agar dalam tulisan ini dapat dipetik nilai-nilai edukatifnya, saya akan menjelaskan lima pertanyaan dan jawaban yang saya berikan untuk dapat digunakan sebagai analisis data dalam skripsinya. Ada lima butir pertanyaan yang diajukan, sebagai berikut:
1. Apakah maraknya korupsi dinegeri ini salah satunya karena lemahnya pendidikan karakter?
2. Apakah pendidikan karakter dapat disampaikan melalui media film?
3. Bagaimana melihat karakter seseorang? Bagaimana karakter seseorang tergambarkan?
4. Menurut anda apakah film dapat menjadi media yang efektif dalam penggambaran nilai-nilai pendidikan karakter?
5. Dengan apa yang sudah saya tuturkan sebelumnya mengenai film SPTK ini apakah menurut anda film ini layak dijadikan sebagai film yang merepresentasikan nilai-nilai pendidikan karakter?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, saya perlu memberikan komentar tentang beberapa kesalahan penulisan, khususnya EYD. Seperti kesalahan penulisan pada umumnya, seperti penulisan kata “dinegeri” seharusnya tidak digabung, karena di tersebut bukan kata depan, tetapi awalan. Hal ini perlu saya kemukakan karena dalam praktik kesalahan penulisan tersebus sangat sering terjadi di mana-mana. Pertanyaan tersebut berusaha dijawab sebagai berikut.
Pertama, jawabannya dengan tegas dapat dikatakan ya. Sekali lagi saya jawab bahwa faktor penyebab masalah korupsi di negeri salah satunya adalah karena lemahnya pendidikan karakter. Sudah tentu selain faktor lemahnya pendidikan karakter, ada faktor-faktor lain yang menjadi biangnya, tergantung dilihat dari sudut mana analisisnya. Sudah barang tentu, pendidikan karakter memang menjadi salah satu faktor yang sangat penting, karena perilaku korupsi terbentuk sebagai proses budaya dalam kehidupan, sementara pendidikan adalah proses kehidupan itu sendiri. John Dewey menjelaskan bahwa “education is not a preparation of life, but education is life itself”. Pendidikan adalah bukan proses persiapan hidup, tetapi pendidikan adalah proses kehidupan itu sendiri. Sedang faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan bersifat multi dimensi. Dalam hal ini, pendidikan janganlah diartikan sebagai sekolah. Pendidikan dimulai di dalam keluarga. Bapak dan Ibunya menjadi pendidikan yang pertama dan utama. Proses pendidikan karakter adalah proses pedidikan atau proses pembudayaan yang dimulai bukan hanya di sekolah, tetapi dimulai dari dalam keluarga. Anak-anak, yang belajar mulai di dalam keluarga dan diteruskan di sekolah, adalah peniru yang ulung, Peniru dari kehidupan di rumah, dan dari kehidup masyarakat.’ Singkat kata, lemahnya pendidikan karakter di sekolah ikut mempengaruhi ikut berpengaruh terhadap perilaku korupsi di negeri ini, tetapi bukan satu-satunya, Metode pendidikan yang digunakan dalam penerapan pendidikan karakter justru lebih berpengaruh terhadap lahirnya perilaku korupsi. Sebagai contoh, budaya antri di Malaysia diterapkan, salah satunya melalui budaya antri naik “bas sekolah”. Membangun budaya antri kepada anak-anak Sekolah Rendah (SR) di Malaysia dapat menjadi model praktik pendidikan karakter di Indonesia, seperti budaya literasi, budaya kebersihan dan bidaya disiplin, serta masih banyak yang lainnya. Menurut Pusat Kurikulum Balibang Dikbud, ada dua puluh nilai karakter yang harus disemai menjadi sikap dan perilaku anak-anak bangsa di negeri ini. Semuanya itu dapat didesain dalam bentuk filem yang menarik. Filem Ipin
Kedua, apakah pendidikan karakter dapat disampaikan melalui media film? Tentu sangat dapat, Apalagi film tergolong media tiga dimensi yang sangat disenangi oleh masyarakat, terutama adalah anak-anak. Sementara anak-anak adalah penuru yang paling ulung. Media ini termasuk memenuhi aspek 1) menyenangkan, 2) dapat dibedakan berdasarkan usia, anak-anak dan dewasa, 3) dapat dimasukkan pelbagai substansi, dari yang substansi yang sederhana sampai dengan substansi yang kompleks, seperti pendidikan karakter ini, dari yang bersifat fisik seperti olah raga, sampai yang bersifat psikologi dan moral, seperti ilmu pengetahuan dan agama.
Ketiga, Bagaimana melihat karakter seseorang? Bagaimana karakter seseorang tergambarkan? Nah, ini yang sulit dijawab, karena manusia memang sosok benda mati, tetapi benda hidup. Ini perlu bantuan orang psikologi. Seseorang (manusia) memang memiliki multi dimensi. Oleh karena itu, karakter seseorang harus dilihat dari pelbagai dimensi tersebut, yang kalau disederhanakan melalui 1) sikap (attitude) dan 2) perilaku (behavior). Sikap lebih pada faktor psikokogis yang sulit untuk mengukurnya, dan perilaku lebih kepada faktor aktivitas fisiknya yang lebih mudah untuk melihatnya. Misalnya masalah kejujuran, dapat dilihat dari dua aspek tersebut. Pertama, kecenderungan sikap jujur. Sikap adalah kecenderungan untuk berbuat jujur, sedang perilaku jujur adalah setelah kejujuran itu dilaksanakan dalam praktiknya secara fisik.
Keempat, menurut Anda apakah film dapat menjadi media yang efektif dalam penggambaran nilai-nilai pendidikan karakter? Pertanyaan ini harus dijawab dengan ya, sangat ya. Saya suka menonton acara Cerita Harti yang diasuh Desi Ratnasari dengan da’i dari dosen UGM itu. Acara Cerita Hati tersebut saya rasakan telah mempengaruhi sikap dan perilaku saya dalam sikap dan perilaku saya dalam bidang keagamaan dan pendidikan. Dengan melihat tayangan film, secara langsung maupun tidak langsung tayangan filem tersebut dapat memberikan panduan dalam kehidupan, termasuk panduan dalam pendidikan karakter. Bahkan kelebihan media televisi dapat memberikan panduan lebih kongkrit karena adanya peragaan visualnya, bukan hanya verbal seperti melalui buku. Tayangan verbal dan visual akan lebih kuat dampaknya dalam mengubah perilaku manusia.
Kelima, dengan apa yang sudah saya tuturkan sebelumnya mengenai film SPTK ini apakah menurut anda film ini layak dijadikan sebagai film yang merepresentasikan nilai-nilai pendidikan karakter? Sejauh yang sudah saya fahami dari penjelasan Anda, saya melihat bahwa film tersebut telang merepresentasikan nilai-nilai pendidikan karakter. Ada pun berapa indeks representasinya tentu perlu dihitung lagi.
Sekali lagi, pendidikan karakter memang menjadi faktor penting dalam pendidikan. Itulah sebabnya, pendidikan untuk otak yang tidak diimbangi dengan pendidikan untuk hati akan tidak ada gunanya. Pendidikan untuk hati melalui pendidikan karakter adalah pendidikan yang sebenarnya (the true education). Kajian penelitian tentang pendidikan karakter melalui media filem sangat kita perlukan untuk memberikan kepastian saintifis tentang pentingnya media filem untuk pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah.
*) Laman: www.suparlan.com; Surel: me@suparlan.com.
1 Komentar. Leave new
Assalamu’alaikum,
Pada 15 Juni 2015 Mendikbud Anies Baswedan meresmikan Pencanangan Gerakan Nasional Remaja Melek Media di Padang Sumatera Barat. Bekerja sama dengan PWI, pencanangan gerakan ini bertujuan agar pada era global sekarang remaja Indonesia tidak hanya penikmat informasi, akan tetapi dapat memilih dan memilah informasi, bahkan menjadi penghasil informasi (termasuk di dalamnya film), di samping media cetak seperti buku, koran, jurnal ilmiah nasional/internasional, dan majalah, serta media elektronik (radio, televisi, dan media hiburan lainnya). Dalam kondisi seperti ini guru dan orang tua tetap selalu menempati posisi yang amat terhormat, sebagai panutan dan teladan.
Pencanangan gerakan tersebut (sebagai titimangsa), saya tuangkan dalam bait puisi berikut.
REMAJA MELEK MEDIA
Karya Dadang Adnan Dahlan
Lima ‘Blas Juni Dua Ribu Lima belas
Kemendikbud, PWI berkolaborasi
Pencanangan Gerakan Nasional
Remaja Indonesia Melek Media
Bergema dari Padang Ranah Minang
Generasi intelektual literasi
Paham memilih memilah informasi
Era globalisasi banjir informasi
(Jadi penghasil dan pencipta informasi)
Guru membaca, remaja pun membaca
Guru menulis, remaja ikut menulis
Guru terlarang gaptek, gagap media
Guru dan orang tua panutan teladan
Jatinangor, 21 Juni 2015
(4 Ramadhan 1436H)