Oleh Suparlan *)
Alam tidak pernah bercanda. Alam selalu menunjukkan kebenaran. Alam selalu serius, selalu tegas. Alam selalu benar, dan kesalahan-kesalahan serta kelaian-kelalaian yang ada pastilah ulah manusia
(Johann Wolfgang von Goethe)Dan ternyata jika hati kita tulus berada di dekat orang berilmu, kita akan disinari pancaran pencerahan, karena seperti halnya kebodohan, kepintaran pun sesungguhnya demikian mudah menjalar
(Andrea Hirata)Selamanya tidak akan merugi jika dalam memecahkan masalah itu dilakukan dengan musyawarah. Selamanya tidak akan bersedih jika dalam memilih sesuatu yang rumit dilakukan dengan istaharah
(Pepatah Arab)
Ohhh, lagi-lagi masalah gizi buruk. Ada satu ganjalan yang terbetik dalam hati kecilku yang paling dalam. Mengapa masalah gizi buruk terjadi negeri yang kaya raya ini. Ibarat ayam mati di lumbung padi. Mengapa ini terjadi? Masalah gizi buruk atau kekurangan gizi telah mencuat lagi sebagai isu nasional bersamaan dengan isu susu bayi berbakteri. Media massa telah mengungkapkan informasi itu lengkap dengan nama daerahnya. Dahulu masalah ini terjadi di daerah Sukabumi, yang sebenarnya subur dan alam yang indah itu. Sekarang ini, masalah gizi buruk terjadi di daerah asal Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, Sulawesi Selatan. Masalah gizi buruk juga terjadi di Trenggalek, daerah kabupaten tempat kelahiran penulis. Di daerah Trenggalek, masalah gizi buruk terjadi di tiga kecamatan, yaitu: Kecamatan Dongko, Kecamatan Gandusari, dan Kecamatan Pule. Ada sekitar 48 orang yang terkena masalah gizi buruk menurut data Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek. Ibarat gunung es, masalah yang sebenarnya terjadi boleh jadi jauh lebih besar ketimbang yang tercatat di Dinas Kesehatan itu. Sebagai orang Trenggalek, saya ingin mencoba menuliskannya. Siapa tahun akan dapat membuka wawasan yang lebih luas untuk memecahkan masalahnya. ”Selamanya tidak akan merugi jika dalam memecahkan masalah itu dilakukan dengan musyawarah. Selamanya tidak akan bersedih jika dalam memilih sesuatu yang rumit dilakukan dengan istaharah” Demikianlah pepatah Arab yang dapat kita petik dalam awal tulisan ini.
Sumber Alam Melimpah
Ketika sedang melihat perahu-perahu yang membawa ikan berlimpah-limpah di Maumere, NTT, terpikir dalam benak penulis ”begitu melimpah ikan di negeri ini, kenapa rakyatnya masih miskin?”. Mengapa rakyatnya masih ada yang bergizi buruk, padahal ikan tinggal mengambil dari laut. Tidak usah memelihara. Allahlah yang telah memeliharanya. Negeri ini memiliki sumber alam yang melimpah. Tidak ada duanya di dunia. Negeri ini bak untaian mutiara di khatulistiwa. Negeri ini bak sebuah kolam susu. Mengapa rakyatnya miskin. Mengapa kasus gizi buruk terjadi berulang kali terjadi? Juga di Sulawesi Selatan? Juga di Sukabumi yang subur dan keindahan alamnya sangat mempesona banyak orang? Kalau Trenggalek, banyak orang yang tidak merasa heran. Konon ini menjadi langganan. Daerah yang PAD-nya memang masih rendah di Jatim.
Tetapi, mengapa masalah gizi buruk berulang kali terjadi? Apakah masalah ini berupakan bagian dari peringatan Allah terhadap manusia yang kurang atau tidak mau bersyukur, seperti terjadinya bencana alam? Hanya Allah yang Maha Tahu.
Faktor Ekonomi?
Banyak orang menganalisis masalah tersebut dari sudut ekonomi. Orang yang terkena masalah gizi buruk berasal dari penduduk yang miskin, Termasuk kategori penduduk yang ”apa saya besuk bisa makan?” Tidak cukup makan, bahkan tidak tahu apa dapat memperoleh makan. Mengapa tidak cukup makan, karena tidak mempunyai pekerjaan yang tetap. Kenapa tidak memiliki pekerjaan yang tetap? Pertama, mungkin karena tidak mempunyai lahan lagi yang dapat dikejakan. Kedua, tidak memiliki kecakapan hidup yang memadai (multi skills). Ketika seorang hanya memiliki satu kecakapan, misalnya sebagai tukang becak, maka jika tidak lagi banyak orang yang mau naik sepeda, karena misalnya makin banyak yang sudah punya motor atau mobil sendiri, maka matilah pekerjaannya sebagai tukang becak. Oleh karena itu, ia tidak akan mampu menghidupi keluarganya, Padahal, anaknya juga banyak. Bangkan jumlah keluarga batih yang harus ditanggungnya juga besar, Maka terjadilah masalah gizi buruk itu. Dari sudut ini, pemecahan masalahnya tidak lain adalah penyediaan lapangan kerja dan sekaligus pelatihan kecakapan hidup bagi para pencari kerja.
Mengapa Terjadi di Dongko?
Dongko termasuk daerah yang kaya akan hasil cengkeh di Kabupaten Trengalek. Empat puluh persen cengkeh dari Trenggalek mungkin berasal dari Dongko. Dari segi ekonomi, sudah tentu daerah ini tidak bisa disebut sebaga daerah yang secara ekonomi miskin. Lalu mengapa terjadi masalah gizi buruk di daerah ini? Apakah seluruh rakyatnya memiliki lahan yang menghasilkan cengek. Tentu tidak. Bahkan ada kemungkinan terjadi perbedaan yang mencolok antara majikan petani penghasil cenkeh dan pedagang cengkeh dengan para buruh atau kuli pekerja kasar, yang bekerja untuk para majikannya. Di samping itu ada saja buruh tani yang sekedar hanya dapat menjadi penontos kekayaan para majikan dan orang-orang kaya, dengan air liur yang meleleh di mulutnya. Para penonton inilah yang kemungkinan akan terkena masalah gizi buruk. Pemecahan masalah ini, tentu harus melibatkan para “juragan” cengkeh. Mestinya para juragan cengkeh memiliki tanggung jawab sosial bagi masyarakat, khususnya rakyat yang kehidupannya berada di bawah garis kemiskinan.
Untuk dapat mengetahui keberadaan rakyat miskin ini, para RT dan RW, kepala desa dan camat seharusnya memiliki data yang akurat tentang kondisi rakyat di daerahnya. Kalau tidak, pertanyaan yang muncul adalah, apakah pemerintahan di daerah yang mengalami masalah gizi buruk sebenarnya telah berjalan dengan baik? Apakah program raskin dapat menjangkau daerah yang mengalami masalah gizi buruk ini? Data akurat ini akan dapat menjadi bahan evaluasi kebutuhan (need assessment) tentang kecakapan apa yang diperlukan oleh warga masyarakat, untuk kemudian pemerintah daerah (dinas terkait) dapat membuka jenis kursus yang diperlukan masyarakat. Konsep Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dapat menjadi solusi di daerah seperti ini.
Pengalaman
Penulis lahir di desa. Kehidupan masyarakat desa itu boleh dikatakan memang sangatlah sederhana. Meski kekek penulis seorang seorang kepala dukuh, namun kehidupan penulis tidak jauh berbeda dengan kehidupan para tetangga dan penduduk di desa itu. Tidak ada perbedaan yang mencolok. Para tetangga makan nasi “thiwul”, dan kami sekeluarga pun makan nasi yang sama. Karena sayangnya kepada penulis, nenek sering memberikan “nasi putih”, namun penulis sendiri sering ”mencuri” nasi ”thiwul”. Bagi penulis, menu nasi ”thiwul” dengan sayur ikan tongkol dimasak santen dengan daun singkong menurut penulis merupakan menu yang lezat dan juga bergizi. Bahkan, penulis pernah makan rawon ”tawon endhas” atau ”lebah kepala”, yang rasanya enak sekali. Kalau ada acara ”tujuh hari” kelahiran biasanya ibu juga memasak ”daging ayam bumbu daun mengkudu”. Itu menu spesial yang sering penulis minta jika sedang pulang kampung. Menu ”bothok tongkol pisang” juga enak sekali, asal diberi cukup ikan teri. Walhasil, berbagai jenis makanan sederhana yang dapat diperoleh di sekitar kita, dan menu makanan itu saya kita cukup bergizi. Tidak perlu membeli dengan harga yang tinggi, tapi tinggal memetik di pekarangan yang dikelola dengan baik. Masihkan kita harus mengalami gizi buruk? Padahal, ’tidak ada mahluk yang melata di dunia ini yang lepas dari rizki dari Allah (Al-Quran). Apakah memang kita telah menjadi masyarakat konsumtif, atau masyarakat peminta-minta yang menjadikan tangannya selalu dibawah? Masalah tidak harus ditangisi, tetapi harus dipecahkan secara kretatif.
Pendidikan, Pekerjaan, dan Pajak
Secara umum kita dapat memahami kebenaran pernyataan ini. Pendidikan yang baik akan melahirkan lulusan yang baik. Lulusan yang baik akan memperoleh pekerjaan yang baik. Pekerjaan yang baik akan menghasilkan para pembayar yang baik. Itulah harapannya. Dalam kaitannya dengan masalah gizi buruk dalam masyarakat, maka akar masalahnya tidak jauh dengan masalah pendidikan. Pendidikan yang baik diharapkan akan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pola hidup sehat, termasuk di dalamnya pola makanan yang sehat. Sebenarnya, alam kita yang kaya telah menyediakan semuanya. Yang diperlukan adalah kerja keras, kerja sama, komunikasi dan saling menyayangi antara sesama kita. Lima bunga dalam taman masyarakat akan menjadi faktor yang menentukan keberdamaan dan kesejahteraan bersama. Pertima, pemimpin yang adil dan bijaksana. Kedua, orang kaya yang dermawan. Ketiga, ilmuwan yang jujur. Keempat, pedagang yang tidak mengurangi timbangan, Dan kelima, orang kebanyakan yang suka berdo’a.
Salah Satu Tanggung Jawab Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi dengan Tridarmanya untuk ikut memecahkan masalah ini adalah darma pengabdian kepada masyarakat. Perguruan tinggi harus terjun untuk melakukan pendataan dan pemetaan masyarakat, sehingga dapat diketahui secara pasti besaran masalahnya. Selain itu juga dapat dianalisis kemungkinan faktor penyebabnya. Dan kemudian ikut melakukan program pemberdayaan masyarakat. Hasil pendataan dan pemetaan masalah ini kemudian dapat disampaikan kepada pemerintah daerah, yang kemudian diambil langkah-langkah penanggulangan jangka pendek, menengah, dan jangka panjangnya. Walhasil, perguruan tinggi harus menjadi mahluk yang memiliki kepedulian tinggi untuk ikut terlibat secara aktif melaksanakan darma pengabdian kepada masyarakat.
Refleksi
Masalah harus kita pandang sebagai bagian dari kehidupan manusia. Bahkan, masalah menjadi indikasi dari adanya dinamika masyarakat, asalkan masalah itu segera dapat dipecahkan oleh masyarakat secara kreatif. Tiada ada masalah tanpa pemecahan. Kita tidak boleh lari dari masalah. Masalah harus kita hadapi dan kita pecahkan bersama-sama.
*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.
Kupang, 6 Maret 2008