Wahai/ Senja yang penuh harapan/ Jangan kau menjadi senja selamanya/ Berubahlah menjadi pagi yang cerah/ Secerah penantian orang-orang yang menanti
(Sri Yaningsih, Dewan Pendidikan Provinsi NTB)
Itulah sebait petikan puisi betajuk “Senja Yang Tak Kunjung Berhenti” goresan pena Sri Yaningsih, salah seorang pengurus Dewan Pendidikan Provinsi NTB. Puisi itu menggam-barkan tentang secerdah harapan terbentuknya Dewan Pendidikan Nasional. Adakah harapan itu akan tinggal sebagai harapan yang tak kunjung tiba? Hanya Tuhan Yang Maha Tahu.
Kutipan sebait puisi tersebut sengaja dijadikan pengantar tulisan singkat ini sebagai prakata untuk mengangkat beberapa pertanyaan dari tiga penanya peserta kegiatan rapat koordinasi Dewan Pendidikan Provinsi NTB pada tanggal 23 Agustus 2013. Nuansa pertanyaan dari peserta rapat koordinasi itu pun juga terkait dengan harapan yang belum terpenuhi, yakni kelahiran Dewan Pendidikan Nasional. Marilah kita pelajari secara seksama lima pertanyaan dari peserta rakor, beserta penjelasan yang dapat diberikan.
Pertama, pertanyaan dari Dewan Pendidikan Kabupaten Lombok Tengah.
Mengapa Dewan Pendidikan Nasional tidak segera dapat dibentuk? Mungkinkah hal itu antara lain karena telah adanya Komite Nasional Pendidikan yang dibentuk pada tanggal 17 Juni 2008? Mengapa kita, sebagai Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tidak dapat memanfaatkan adanya CSR, yang di Provinsi NTB ini sebenarnya telah dibentuk Forum CSR?
Pertanyaan yang sangat kritis, yang telah membuat otak ini berfikir tujuh keliling. Apakah karena adanya Komite Nasional Pendidikan yang menyebabkan Dewan Pendidikan Nasional sudah tidak perlu lagi dibentuk? Oh tidak! Tetapi hal ini memang harus kita cermati secara lebih mendalam, apakah karena adanya Komite Nasional Pendidikan yang dinilai telah menimbulkan macetnya proses pembentukan Dewan Pendidikan Nasional, padahal proses itu telah dimulai sejak tahun 2008 lalu. Barangkali, sebagian kita telah berpendapat bahwa Komite Nasional Pendidikan itulah yang disebut dengan Dewan Pendidikan Nasional. Komite Nasional Pendidikan sama sekali tidak disebut-sebut dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sementara Dewan Pendidikan Nasional secara gamblang disebutkan dalam Pasal 56 (1), (2), (3), dan (4).
Konsep dasar pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Nasional Pendidikan sama sekali berbeda! Dewan Pendidikan dibentuk sebagai konsekuensi logis dari kelahiran konsep desentralisasi pemerinahan. Dengan konsep disentralisasi tersebut, pihak pemerintah yang bertugas mengurus urusan pemerintahan, termasuk urusan pendidikan, memerlukan mitra sejati dari masyarakat yang representasinya adalah lembaga yang dikenal dengan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Pemerintah dan masyarakat, yang diwadahi oleh Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah harus menjadi dua sejoli yang harus bergandengan tangan untuk melaksanakan urusan pemeritahan dalam bidang pendidikan. Cobalah kita hayati bersama Pasal 56 ayat (1), (2), (3), dan (4) sebagai berikut:
Pasal 56
(1) Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.
(2) Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat Nasional, Propinsi, dan Kabupaten/Kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis.
(3) Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.
(4) Ketentuan mengenai pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Dengan demikian jelas bahwa eksistensi Dewan Pendidikan memiliki payung hukum yang kuat. Bagaimana dengan Komite Nasional Pendidikan? Dalam hal ini, penanya punya kekhawatiran terhadap lembaga ini yang boleh jadi menjadi penyebab lambatnya proses pembentukan Dewan Pendidikan Nasional. Sama dengan kekhawatiran ini, seorang naggota komisi X DPR pun menyatakan bahwa Komite Pendidikan pimpinan wapres ini pun dituduh rancu, karena menghambat dalam penyusunan anggaran pendidikan (ROL, Republika Online, 9 Agustus 2012). Terkait dengan eksistensi lembaga Komite Nasional Pendidikan pimpinan wakil presiden, sepengetahuan penulis adalah lembaga adhock yang bertugas untuk mengawasi pelaksanaan kebijakan anggaran 20% untuk pendidikan. Jika kebijakan itu telah dilaksanakan dengan baik, bahkan ada di antaranya malah sudah lebih dari 20%, nah apa lagi tugasnya? Oleh karena itu, lembaga ini tidak akan mungkin dapat mengganjal proses pembentukan Dewan Pendidikan Nasional yang sudah menjadi amanat pasal 56 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kalau proses pembentukan Dewan Pendidikan Nasional ini tidak dapat dilaksanakan, maka itu berarti Kemendikbud dapat disebut telah melanggar undang-undang.
Selanjutnya, mengenai CSR (Corporate Social Responsibility) adalah tanggung jawab yang dibebankan kepada peruusahaan, semacam filantropi (menolong orang lain) untuk bukan saja meningkatkan citra positif perusahaan di mata masyarakat, tetapi memberikan manfaat sosial untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat. Jadi konsep CSR ini sangat positif bak pisau bermata dua, pertama sebagai strategi untuk meningkatkan citra peru-sahaan, kedua untuk membantu masyarakat.
CSR dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas pasal 74 ayat 1 yaitu perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab social (CSR) dan lingkungannya, pereseroan yang tidak melaksanakan kewajiban dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dasar hukum lain pun telah mengatur CSR, yakni pasal 34 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang telah mengatur Penanaman modal dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing, baik berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum, atau usaha perseorangan wajib melaksanakan CSR dengan ketentuan sebagai berikut:
(1) Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis
b. pembatasan kegiatan usaha
c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal atau
d. pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh instansi atau lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”
Uraian pasal 34 tersebut, sangat jelas bahwa Badan Usaha yang diatur sesuai dengan ketentuan pasal pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal wajib melakukan CSR, jika badan usaha tersebut melanggar maka dikenai sanksi administratif, selain itu dapat juga dikenai sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Kini, tanggung jawab sosial perusahaan/tanggung jawab sosial dan lingkungan (Corporate Social Responsibility) yang dulu bersifat mandatory dan voluntary, setelah diberlaku-kannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas berubah menjadi hanya bersifat mandatory. Besarnya CSR yang dibebankan kepada perusahaan adalah antara 2-5% dari total penerimaan perusahaan.
Kedua, Pertanyaan dari Dewan Pendidikan Kabupaten Bima
Pasal 56 (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tentang peli-batan masyarakat perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan, memang sangat ideal. Mengapa konsep ideal itu tidak kelihatan dalam kenyataannya? Dalam pemmberian subsidi untuk Dewan Pendidikan, bagaimana jika dapat dilaksanakan berda-sarkan kategori dewan pendidikan yang mampu, sedang, dan kurang mampu?
Sebenarnya, pasal 56 (1) tersebut merupakan roh dari konsep desentralisasi dalam sistem pemerintahan. Masyarakat harus dilibatkan dalam proses perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Konsep ini, sebenarnya sudah mulai dimulai dengan adanya musrenbang itu. Tetapi, sekali lagi unsur masyarakat yang dilibatkan dalam acara itu tidak tampak. Apalagi memang dewan pendidikan yang menjadi representasi dari masyarakat belum sepenuhnya diakui eksistensinya. Itulah sebabnya pelaksanaan pasal 56 (1) memang tidak kelihatan.
Pemetaan dewan pendidikan memang perlu dilakukan. Hal yang sama juga dengan kondisi Indonesia secara keseluruhan. Daerah terpencil, tertinggal, dan terluar harus memperoleh perhatian lebih dari pemerintah. Pemberian subsidi bagi daerah yang kurang mampu harus mendapatkan perhatian. Konsep pemberian subsidi berdasarkan pemetaan kondisi dewan pendidikan perlu dilaksanakan, untuk mengganti konsep pemberian subsidi berdasarkan proposal, yang pelaksanaannya ditentukan berdasarkan proposal yang diajukan, bukan berdasarkan kondisi dewan pendidikan. Dengan sistem pengajuan proposal, dewan pendidikan yang telah memperoleh subsidi dari APBD cukup besar, karena daerahnya memang kaya, masih memperoleh subsidi dari pemerintah pusat. Sistem pemberian subsidi ini memang perlu diperbaiki di masa mendatang.
Ketiga, Pertanyaan dari Dewan Pendidikan Kota Mataram
Melalui pertanyaan ini, Dewan Pendidikan Kota Mataram sesungguhnya hanya ingin me-ngingatkan tentang janji Tim Pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tentang rencana penerbitan buku Selayang Pandang Dewan Pendidikan, yang berisi tentang profil dewan pendidikan seluruh Indonesia, termasuk program dan kegiatan dewan pendidikan yang akan dituangkan dalam buku itu.
Rencana penerbitan buku Selayang Pandang Dewan Pendidikan tersebut terus terang memang telah disusul dengan kepentingan yang mendesak untuk menerbitkan buku Sepuluh Tahun Perkembangan Dewan Pendidikan. Kedua buku tersebut memang sama pentingnya. Namun, karena keterbatasan anggaran, kelihatannya buku tentang Sepuluh Tahun Perkembangan Dewan Pendidikan (2002 – 2012) akan lebih diprioritaskan. Untuk tidak mengecewakan dewan pendidikan yang sudah mengirimkan profilnya, maka dalam buku Sepuluh Tahun Perkembangan Dewan Pendidikan (2002 – 2012) tersebut mudah-mudahan dapat diselipkan daftar Dewan Pendidikan seluruh Indonesia.
Refleksi
Tanya jawab yang telah berlangsung dalam acara Rapat Koordinasi Dewan Pendidikan Provinsi Nusa Tenggara telah berlangsung sangat dialogis. Dengan acara tanya jawab seperti itu, kita dapat memperoleh banyak informasi tentang saran dan masukan dari akar rumput. Saran dan masukan semacam itu dapat kita gunakan sebagai bahan pemikiran untuk mengembangkan dewan pendidikan ke depan. Kita berharap, dewan pendidikan benar-benar menjadi wadah peran serta masyarakat yang dapat melaksanakan fungsinya secara optimal, baik dalam perencanaan, pengawasan, dan evaluai program pendidikan, sebagaimana yang diharapkan dalam Pasal 56 (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Amin.
*) Konsultan perseorangan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah Yang Terbina
Depok, 1 September 2013.