ArtikelBudayaPendidikan

Citra Diri dan Pendidikan Anak

495 views
Tidak ada komentar

Oleh Suparlan *)

Otak seorang anak kecil adalah sehelai kertas kosong yang polos, kemudian setiap orang dan pengalaman yang mampir dalam hidupnya meninggalkan sebuah tanda di atasnya. Bagi seorang dewasa, yang terdapat dalam benaknya adalah jumlah total dari apa saja yang dia pelajari, dia rasakan, dan dia alami sepanjang perjalanan hidupnya
(Biran Tracy)

Buku itu ternyata telah terbit cukup lama. Tahun 2003. Buku bertajuk Change Your Thinking, Change Your Life: How to Unlock Your Full Potential for Success and Achievement karangan Brian Tracy itu telah diterjemahkan dan diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Kaifa pada tahun 2005. Ternyata penulis juga telat membacanya. Tak apalah. Lebih baik telat daripada tidak sama sekali.

Salah satu yang sangat membekas dan menarik dari isi buku itu adalah yang akan tulis dalam artikel ini, yakni tentang citra diri atau self image.  Sebagai orangtua, dan sekaligus sebagai mantan guru serta mantan kepala sekolah, rasanya pemahaman penulis tentang hal ini sangatlah masih setipis kulit bawang. Sungguh, penulis merasakan itu.

Memang, sejak bersekolah di lembaga pendidikan guru, kita telah belajar tentang teori tabula rasa dari David Hume, yang sangat dekat dengan teori fitrah dalam Islam. Tabula rasa atau fitrah itulah yang kemudian dibentuk melalui pendidikan dan pengalaman dengan membangun citra diri (self image). Jika orang tua atau para guru dan lingkungan kita mampu membangun citra diri bagi anak-anak dan cucu kita bagi generasi muda bangsa kita dengan baik, maka berhasillah dibentuk sosok manusia yang baik pula. Jika tidak demikian, maka yang dihasilkan adalah sebaliknya. Proses pembangunan manusia pada hakikatnya pembangunan pikiran atau mindanya. Mengubah mindsetnya agar dapat membangun citra dirinya.

Kapan Citra Diri Mulai Dibentuk? 

Sudah barang tentu saja sejak sang bayi dilahirkan dari rahim ibunya. Bahkan dimulai jauh sejak prenatal education. Proses pendidikan sesungguhnya memang dimulai dari sana. Ketika cucu saya baru berusia tiga bulanan, saat sang bayi masih memiliki tabula rasa yang kemudian siap membentuk citra dirinya, sebagai eyang kakungnya, penulis sering menggendongnya dan menyanyikan lagu “bangun tidur kuterus mandi”. Apa yang terjadi luar biasa, bahkan terjadi di luar perhitungan penulis. Suatu saat sang cucu dapat memberikan respon dengan nada lagu tersebut. Suara sang cucu ini telah dijadikan ringtone SMS untuk HP penulis. Sungguh di luar dugaan. Suara respon cucuku ternyata benar-benar merupakan bagian dari nada lagu yang telah saya nyanyikan ketika menggendongnya. Apa maknanya? Nyanyian pagi penulis telah membentuk konsep diri. Konsep diri itu kemudian diekspresikan ketika dia bersuara. Penulis yakin, peristiwa itu sama sekali bukan satu kebetulan, tapi proses yang dapat dilakukan.

Kebiasaan baru yang kemudian penulis coba lakukan adalah menidurkan sang cucu. Yok diceritakan yang kakung yoook. Cucu yang kini berusia satu setengah itu terus naik ke tempat tidur (yang memang sengaja diturunkan ke lantai itu, supaya tidak khawatir jatuh). Biasanya dia langsung tengkurap sambil menunggu penulis mulai bercerita. Ceritanya sebenarnya terkait dengan sang sucu. Penulis sebenarnya hanya sekedar berbicara tentang sang cucu. Begini. ”Ada anak namanya Fazla Athaya, dipanggil Acha. Anaknya cerdas. Bisa menyanyi, bisa menggambar, bisa menghitung. Dia bisa menyanyi tentang binatang, mulai dari semut sampai dengan gajah. Penulis pun mulai menyanyikan lagu tentang semut. Semut-semut kecil. Acha mau tanya, apakah kau di dalam tanah tidak takut cacing”. Dia pun menyebutkan kata ”cacing”. Lalu penulis pun melanjutkan dengan lagu-lagu lainnya”. Tidak lebih dari dua sampai tiga minggu, tidak penulis sangka, kata-kata ”Acha cerdas” ternyata telah membentuk konsep dirinya. Beberapa kali secara spontan sang cucu mengatakan dengan suara yang agak cedal ”Acha ceeedas”. Penulis pun kaget dibuatnya. Itulah rupaya satu contoh proses pembentukan citra diri, yang dapat dibentuk mulai anak-anak yang berusia setahun sampai dua tahun.

Tidak hanya itu, ternyata beberapa lagu yang dinyanyikan ketika menjelang tidur juga direkam di dalam pikiran dan mindanya. Sang cucu baru bisa menyebutkan satu sampai dua patah kata. Kata-kata yang berada di ujung kalimat ternyata dapat disebutkan secara baik dengan lafal yang masih cedal. ”Satu-satu aku sayang ”ibu”. Dua-dua juga sayang ”ayah”. Tiga-tiga sayang adik ”kakak”. Satu, dua, tiga sayang ”emua (semua)”. Kata-kata yang bertanda kutip itu dapat diucapkan meski dengan suara yang masih cedal. Demikian juga dengan beberapa lagu lainnya.

Ketika penulis menyatakan ”Acha anak ….”, dengan cepat sang cucu menyahut dengan kata ”ceeedas”. Kngetika penulis lanjutkan dengan menanyakan ”Anak cerdas bisa apa?”, dan penulis tuntun ”bisa menya (aanyi)… ”, berhi (tung)” ”menggam (baaa)”, main sepak (oola)”, dan seterusnya, ternyata tidak disangka sang cucu bisa meneruskan kata-kata itu dengan tepat. Sungguh luar biasa. Penulis belum pernah melihat ”citra diri” yang begitu kuat dari seorang anak usia satu setengah tahunan seperti itu. Penulis menjadi yakin sekali bahwa ”citra diri” seperti itu dapat dibentuk sejak dini. Penulis meyakini kebenaran teori ”the golden age of humanism”, bahwa dalam usia bawah lima tahunan kecerdasan anak dapat melejit dengan cepat, jika memperoleh lahan dan pupuk yang tepat.

Penguatan (reinforcement)

Dari e-mail penulis memperoleh berita tragis yang menimpa dua orang anak kakak beradik, yang diasuh oleh pembantunya. Adiknya memang masih ngompol, karena belum dilatih untuk bisa kencing sendiri. Karena itu pembantunya mengancam, kalau masih ngompol, nanti tititnya dipotong. Rupanya, kakaknya mendengar ancaman pembantu itu. Apa yang terjadi? Ketika adiknya ngompol lagi, ternyata kakaknya kemudian mengambil pisau dapur dan benar-benar memotong titit adiknya. Setelah melihat darah segar mengucur, sang kakak lari dan bersembunyi di bawah mobil tanpa diketahui siapa pun. Nah ketika seluruh keluarga kalang kabut melihat kondisi sang bayi, dengan amat tergesa-gesa si bayi segera dibawa ke rumah sakit. Apa yang terjadi? Kakak yang bersembunyi di bawah mobil terlidas mobil. Dan adiknya pun meninggal akibat kekurang darah. Dari peristiwa ini, orangtua harus berhati-hati dalam mengasuh dan mendidik anak. Ucapan yang ditujukan kepada anak anak membentuk citra diri kepada anak-anaknya. Anak yang sering dibentak dan dimarahi, dan kemudian sering dikata-katai sebagai anak yang nakal, maka anak itu kelak akan memiliki potensi dan kecenderungan menjadi anak yang nakal. Sebaliknya, jika orangtua sering menyebutkan anaknya sebagai anak yang cerdas, maka anak itu kelak mempunyai kecenderungan betul-betul menjadi anak yang cerdas. Kata-kata itu dapat menajdi kata-katan motivasi, kata-kata penguatan (reinforcement). Dalam tayangan di TVRI, kita mengenal sosok pecinta anak, yakni Pak Tino Sidin. ”Gambar ini adalah karya seorang siswa kelas tiga SD Anu, Bagus!!!” Pak Tino Sidin sama sekali tidak pernah pelit dalam memberikan penghargaan kepada siswa. Begitulah seharusnya para pendidik di sekolah. Jangan terlalu pelit untuk memberikan penghargaan kepada peserta didik. Karena penghargaan itu merupakan bentuk motivasi dan sekaligus sebagai penguatan yang akan membentuk citra diri anak-anak kita.

Tepuk Tangan

Tepuk tangan merupakan salah satu bentuk pemberian penghargaan kepada anak. Cucu saya sudah mengenal tempat sampah sejak baru mulai bisa berjalan. Ketika penulis minta agar menaruh bungkus kueh ke tampat sampah, dan kemudian saya berikan tepuk tangan, maka kebiasaan menaruh sampah di tempat sampah rupanya telah menjadi kebahagiaan baginya, yang diharapkan nanti akan menjadi kebiasaan ketika dewasa. Ketika ada sampah yang tergeletak di kursi atau di lantai, dia akan segera menaruhnya di tempat sampah yang telah tersedia, dengan mengucapkan kata yang masih cadel ”ampah, ampah”. Dengan muka yang ceria dia langsung bertepuk tangan sendiri, dan tentu saya ”eyang kakung pun” harus memberikan tepuk tangan sekali lagi dan ucapan terima kasih.

Orangtua dan anak-anak sebenarnya sama dalam menerima respon tepuk tangan. Dalam acara pelatihan dengan tugas melakukan kerja kelompok dan kemudian memaparkan hasil kerja kelompok, kita akan merasa bangga dan dihargai jika segera setelah selesai pemaparan itu kita memperoleh tepukan tangan yang menggema. Biasanya fasilitator memang segera meminta kepada audien untuk memberikan tepuk tangan yang meriah. Dan gemuruhlah ruangan tempat pelatihan itu. Kelompok demi kelompok telah selesai menyampaikan paparan, dan selama itu gemuruh tepuk tangan telah menandai akhir dari pemaparan dari setiap kelompok.

Refleksi

Terbentuknya citra diri pada anak-anak kita amat tergantung pada besarnya kasih sayang, ketulusan, dan perhatian orangtua dan lingkungannya yang telah diberikan kepada anak. Pemberikan penguatan (reinforcement) dan penghargaan kepada anak akan menjadi modal untuk membentuk citra diri anak sebagaimana yang diharapkan.

*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.

Depok, 22 Maret 2008

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts