ArtikelPendidikan

Mengakomodasi Aspirasi Hati Nurani

254 views
Tidak ada komentar

Oleh Suparlan *)

Policy framework places learners at the heart of teaching and learning process
(EFA Global Monitoring Report 2005)

A more educated society may translate into higher rates of innovation, higher overall productivity and faster introduction of new technology
(EFA Global Monitoring Report 2005, hal. 41)

Education should allow children to reach their fullest potential in term of cognitive, emotional and creative capacities
(EFA Global Monitoring Report 2005, hal. 30)

Stakeholders can be actively involved, e.g. teachers, through participation in policy development, and parents, through participation in school boards
(Nine ways to make cganges happen, EFA Global Monitoring Report 2005, hal. 182)

Pendidikan di bumi nusantara berfungsi sebagai wahana transformasi budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi
(Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia)

Suatu ketika penulis dikagetkan oleh hirup pikuk demonstrasi di depan gedung Depdiknas, Jalan Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta. Acara teaterikal dalam demonstrasi ini digelar di depan para pejabat yang memang diminta untuk menyerap keinginan para demonstran itu. Beberapa orang dengan telanjang kaki dan juga telanjang badan berlumur warna hitam, diikat dengan tali yang dibawa oleh seseorang yang menggambarkan para birokrat. Tuntutan yang dapat ditangkap dari acara demonstrasi itu adalah “pendidikan murah” di negeri tercinta ini. Tuntutan itu tertulis pada spanduk yang dibawanya, selebaran yang diberikan kepada massa, dan yel-yel yang diteriakkan dengan suara serak berkali-kali secara serentak.

Sampai harus begitukah demonstrasi itu harus dilakukan? Inikah salah satu sisi kelam dari era reformasi? Konon di zaman kerajaan tempo dulu ada demonstrasi damai yang disebut “pepe” oleh rakyat di depan istana kerajaan. Tuntutan rakyat disampaikan kepada raja, dan kemudian sang raja mempertimbangkan tuntutan itu. Setelah itu sang raja berkenan akan menyampaikan jawaban berupa sabda atau perintah. Para era demokrasi — bukan democrazy — tuntutan rakyat mungkin semakin banyak, dan akibatnya banyak pula yang dirasakan kurang didengar. Bahkan konon antara lain karena sudah banyak titipan, bukan suci dari suara hati nurani. Akibatnya, tuntutan semakin kental, disampaikan dengan cara-cara yang cenderung brutal, yang dapat kita saksikan hampir saban hari di layar kaca televisi. Atau, karena macetkah pipa-pipa demokrasi atau kran-kran untuk menyalurkan aspirasi? Mungkin masih perlu penelitian, dan seminar seharian. Demonstrasi terjadi terkait dengan aspirasi dan pemimpin yang harus mengambil kebijakan. Oleh karena itu, maka pemimpin dituntut untuk dapat berlaku arif dan bijaksana dalam mengambil kebijakan, dengan cara mempelajari dengan saksama semua aspirasi yang mengalir setiap hari, antara lain melalui demonstrasi.

Pelajaran Pertama Kepemimpinan

Kata ahli kepemimpinan, pelajaran pertama teori kepemimpinan (leadership) adalah tentang kemampuan mendengarkan. Kemampuan mendengarkan itu ada tiga tingkatan. Pertama, kemampuan mendengarkan dengan indra telinga. Yaitu, mendengarkan tuntutan para demonstran dengan orasinya yang keras. Juga tuntutan anak-anak kita yang minta diberikan mainan. Jika pemimpin mendengarkan itu semua, artinya pemimpin itu telah dapat mendengarkan dengan telinganya yang kini sudah semakin tebal. Itu baru kemampuan tingkat rendah. Kedua, kemapuan mendengarkan dengan mata (mata telanjang kita). Jika sang istri sudah mondar-mandir keluar masuk kamar, mungkin dapat berarti uang gajinya sudah semakin tipis. Besuk akan makan apa ya, supaya uang yang sudah tipis ini dapat berakhir di ujung bulan? Jika sang bapak telah memiliki kemampuan mendengarkan dengan mata, maka ia akan cepat-cepat pergi ke kios ATM, ambil simpanan, dan diberikanlah kepada sang istri yang sejak tadi telah mondar-mandir keluar masuk kamar. Istrinya pasti akan tertawa manis. Hehehh. Terima kasih Pak, katanya. Ketiga, kemampuan yang berada pada level paling tinggi adalah kemampuan mendengarkan dengan hati. Tidak usah demonstrasi, tidak usah teriak-teriak, dan juga tidak usah mondar-mandir keluar masuk pintu kamar. Sang pemimpin yang bijak telah memiliki kemampuan mendengarkan dengan hati secara dini telah dapat mengetahui apa yang memang dibutuhkan oleh rakyatnya, oleh anak buahnya, atau oleh keluarga dan anak-anaknya. Jauh sebelum istrinya teriak minta duit, sang ayah telah memberinya, atau setidaknya memberi tahu bahwa kali ini gaji ketiga belasnya belum diambil. Sebelum teriak-teriak dengan demo yang brutal, pemimpin yang memiliki kemampuan mendengarkan dengan hati, pasti sudah akan memikirkan semuanya, dan paling tidak menyambung tali silaturahmi dan komunikasi yang efektif dengan rakyatnya, dengan anak buahnya, dengan anak-anak dan keluarganya.

Ya, itulah sekilas info tentang demo pada zaman dulu dan demo pada zaman sekarang. Adakah pemimpin memiliki kemampuan untuk melaksanakan teori kepemimpinan, antara lain melalui kemampuan mendengarkan tuntutan demonstrasi. Dengan telinga, dengan mata, ataukah dengan mata hatinya.

Kebijakan: Milik Siapa?

Ketika seorang penceramah menyampaikan paparan tentang Renstra Departemen dalam acara workshop beberapa waktu lalu, seorang peserta nyeletuk “ah itu kebijakan menteri, bukan kebijakan departemen”. Sebagai salah satu pendengar yang setia, ucapan peserta itu tentu saja menimbulkan beberapa pertanyaan. Benarkah kebijakan itu milik menteri, bukan kebijakan departemen? Lalu siapakah yang seharusnya merumuskan kebijakan? Para pimpinan dalam institusi departemen itu? Haruskah sesuatu itu akan benar-benar menjadi kebijakan setelah ada persetujuan dari rakyat atau yang mewakilinya? Jadi, apakah suatu kebijakan akan dapat dilaksanakan jika telah disetujuinya? Lalu, apakah program dan kegiatan yang telah banyak dilaksanakan itu memang telah dijabarkan dari kebijakan itu? Sederet pertanyaan mengalir dan terus mengalir seperti air.

Terkait dengan demokrasi, bukankah kebijakan itu harus berasal dari, oleh, dan untuk rakyat. Dengan demikian, kebijakan harus menjadi milik rakyat? Dan bukan milik siapa-siapa? Harus dari, oleh, dan untuk rakyat pula? Hasil kebijakan juga memang untuk kesejahteraan rakyat, atau keadilan sosial bagi seluruh rakyat? Dan itulah sejatinya tujuan negara kita, memajukan kesejahteraan umum.

Aspirasi Hati Nurani Plus Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Meski tidak semua demonstrasi bersumber dari hati nurani, tampaknya, ada hubungan sebab akibat antara demonstrasi dengan kebijakan. Demonstrasi yang berapi-api — dalam arti panas — kemungkinan akan muncul ketika aspirasi rakyat tidak atau kurang terakomodasi secara maksimal. Makin banyak aspirasi yang tidak terakomodasi makin banyak demonstrasi yang berapi-api. Dalam konteks ini, kebijakan harus dipandang sebagai produk representasi dari aspirasi rakyat. Kebijakan nasional merupakan produk representasi nasional dari konsesus eksekutif dan legislatif yang mewakili rakyat (publik). Kebijakan departemen merupakan produk representasi dari kesepakatan publik di tingkat departemen. Demikian seterusnya sampai di tingkat yang paling bawah, seperti Rukun Tetangga (RT) atau keluarga sekalipun. Kebijakan adalah kesepakatan kolektif, mulai dari tingkat global, nasional, sampai di tingkat bawah sekalipun. Kebijakan adalah sebuah konsensus, lahir dari proses akomodasi aspirasi dari seluruh anak negeri.

Memang, kebijakan harus memperhatikan setiap denyut nadi perkembangan dan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, hati nurasi rakyat dalam era teknologi informasi dewasa ini telah cukup peka dengan denyut nadi perkembangan dan perubahan itu. Karena itu kuncinya adalah akomodasi aspirasi hati nurani plus perkembangan Iptek. Kebijakan yang telah dihasilkan dengan proses seperti itu diharapkan akan dapat dijabarkan ke dalam berbagai program dan kegiatan yang selaras dengan kebutuhan rakyat dan tidak ketinggalan dengan tuntutan perkembangan zaman. Kebijakan seperti itu insyaalah dapat dilaksanakan dengan lancar dan berhasil. Rakyat merasa ikut “melu handarbeni“. Dengan kata lain rakyat ikut memiliki “ownership of the management process” (EFA Global Monitoring Report 2005, 2004: 184). Dan dengan demikian, demonstrasi — yang damai, apalagi yang anarkis — tidak akan terjadi hampir setiap hari.

Mungkinkah demonstrasi tidak akan pernah terjadi, atau habis dari muka bumi? Ohh, tidak!! Satu, dua memang akan masih tetap ada. Tetapi tidak terlalu sering. Diharapkan juga tidak anarkis. Mengapa? Sifat manusia sejatinya baik, kecuali sudah melenceng dari hati nurani, dan sudah dipengaruhi oleh setan.

Kebijakan Pendidikan?

Demikian juga dengan kebijakan pendidikan. Kebijakan nasional tentang pendidikan juga harus dirumuskan dengan model bottom-up seperti itu. Mungkin perlu top-down untuk hal-hal yang terkait dengan pertimbangan penyelarasan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dengan proses seperti itu, tidak perlu terjadi celetuk perserta workshop seperti itu. Kebijakan pendidikan secara nasional adalah kebijakan seluruh rakyat. Bukan hanya sebagai kebijakan seorang pimpinan dalam sebuah institusi saja. Sistem dan mekanisme perumusan kebijakan nasional memang harus dibuat. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan mengenai hal itu. Dengan menggunakan sistem dan melalui mekanisme yang telah disepakati bersama tersebut, kebijakan nasional yang akan dihasilkan adalah kebijakan yang mantap, yang menyerap aspirasi dari hati nurani. Seterusnya kebijakan itu dapat dilaksanakan secara lancar, menghasilkan sesuatu sesuai dengan harpan bersama.

Akhir Kata

Kapan membangun negeri ini, kalau demonstrasi terjadi setiap hari? Demikianlah ungkapan murni dari hati nurani dari seorang teman yang dikenal rajin, memiliki komitmen yang tinggi terhadap pekerjaannya. Dia buka pintu kantornya setiap hari, dan pulang setelah bosnya tidak lagi kembali ke meja kerjanya, dan dia pula yang menutup pintu kantornya dengan mengunci kembali, selalu menggerak-gerakkan pegangan pintu kantor itu untuk memastikan apakah pintunya memang telah dikunci. Penulis mencoba untuk menerjemahkan ungkapannya itu ke dalam tulisan ini. Penulis menangkap kesederhanaan hidupnya, dan memetik satu kebenaran dari ungkapannya yang sederhana itu. Selamat bekerja kawan. Mudah-mudahan negeri ini terbebas dari demonstrasi yang anarkis, karena kebijakan di negeri ini memang telah memihak kepada seluruh rakyat, pemilik sejati negeri ini. Insyaallah.

Buku Bacaan:

  • EFA Global Monitoring Report 2005, Education for All, The Quality Imperative. France: UNESCO Publishing.
  • Wardiman Djojonegoro. 1996. Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com. Mantan Kepala Bidang Pelayanan Teknis, PPPG Matematika Yogyakarta

Depok, 20 Agustus 2006

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts