ArtikelBudayaPendidikan

Upaya Peningkatan Budaya Baca

188 views
Tidak ada komentar

Oleh Suparlan *)

Terus terang harus diakui bahwa budaya ’ngrumpi’ di negeri ini memang masih jauh lebih dominan dibandingkan dengan budaya baca. Kebiasaan “ngrumpi” itu dapat kita saksikan dalam ndalam banyak kesempatan. Misalnya, ketika ibu-ibu sedang berkumpul di sekolah saat mengantar anaknya masuk sekolah, Demikian pula dengan bapak-bapak ketika sedang asik sedang berkumpul dengan tetangga.  Bahkan, kebiasaan yang melekat dengan budaya ’nrumpi’ adalah juga sambil menghisap rokok dengan nikmatnya. Banyaknya sisa abu rokok yang dapat  lihat berceceran di sekitar tempat duduknya menunjukkan berapa lama waktu yang telah mereka habiskan untuk ’ngrumpi’ atau ngobrol atau tutur. Itulah budaya kita, budaya masyarakat di negeri yang kita cintai ini. Memang, budaya seperti ini tidak seluruhnya negatif. Segi positifnya adalah dapat menjadi media yang efektif untuk sosialisasi. Dengan media ini, terjadilah satu proses saling asah, asih, dan asuh antarsesama warga masyarakat.

Budaya itu sama sekali berbeda dengan yang terjadi di negeri Jepang, sebagai misal. Orang Jepang banyak menggunakan waktunya untuk membaca. Sambil menunggu datangnya kereta api, mereka asik membuka buku yang ‘handy’ untuk dibacanya. Bahkan ketia mereka sudah berada di dalam kereta api, mereka asik menghabiskan waktunya untuk membaca apa saja. Berbeda dengan budaya tutur dalam masyarakat kita, budaya baca lebih dekat dengan budaya tulis, karena media yang digunakan adalah bahan-bahan bacaan dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu, budaya ini sering dikenal juga sebagai budaya baca-tulis.

Lalu, bagaimana kita dapat mengubah budaya ‘ngrumpi’ menjadi budaya baca-tulis dalam masyarakat kita? Tulisan singkat ini akan menjelaskan beberapa upaya kecil atau besar yang dapat dilakukan untuk meningkatkan budaya baca dalam masyarakat.

Kaidah antropologi tentang perubahan budaya

Koentjoroningrat membedakan 7 (tujuh) unsur kebudayaan, atau yang disebut sebagai faset-faset kebudayaan atau “mata bajak” kebudayaan, yakni:

  1. sistem kepercayaan;
  2. sistem kekerabatan dan organisasi sosial;
  3. sistem mata pencarian hidup atau ekonomi;
  4. bahasa;
  5. sistem ilmu pengetahuan;
  6. kesenian, dan
  7. peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi)

Terkait dengan ketujuh unsur atau faset kebudayaan tersebut, budaya baca lebih dekat dengan unsur ’bahasa’ atau ’sistem ilmu pengetahuan’, karena membaca merupakan prasyarat penting yang diperlukan dalam sistem ilmu pengetahuan.

Koentjoroningkat juga menjelaskan bahwa urutan unsur budaya tersebut juga menunjukkan urutan kesulitan dalam perubahan budaya. Unsur budaya yang pertama, yakni ’sistem kepercayaan’, adalah yang paling sulit berubah, sedang unsur yang ketujuh, yakni ’peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi)’ adalah yang paling mudah. Memang, kaidah tersebut merupakan kaidah umum. Artinya, perubahan unsur busaya itu pada umumnya memang terjadi seperti itu, meskipun kadangkala ada penyimpangan-penyimpangan.

Terkait dengan kaidah tersebut, maka perubahan budaya baca memang akan lebih sulit dibandingkan dengan perubahan yang terjadi pada unsur ’peralatan dan peralatan hidup (teknologi). Dalam kehidupan sehari-hari kita melihat bahwa mengubah cara menuai padi dari peralatan ’ani-ani’ menjadi ”sabit bergerigi’ jauh lebih mudah dibandingkan dengan mengubah budaya ’ngrumpi’ menjadi budaya baca. Pelajaran berharga yang dapat kita petik dari kaidah budaya ini, kita perlu berhati-hati dalam mengubah budaya ’ngrumpi’ menjadi budaya baca. Paling tidak, kita harus cukup bersabar. Mengapa? Karena perubahan itu bisa terjadi dengan memerlukan waktu yang cukup lama dibandingkan dengan mengubah ’peralatan ani-ani menjadi sabit bergerigi’.

Gerobak Baca

Seorang pegiat sosial, Sri Widiati, seorang pegawai Pemda Kabupaten Pekalongan, mempunyai gagasan kreatif membuat gerobak baca. Gerobak adalah sarana transportasi tradisional yang sangat merakyat. Oleh karena itu, pegiat sosial ini menggunakan menaruh buku-buku menarik di dalam gerobak dan kemudian mendorongnya menemui masyarakat pembaca. Orang-orang dan anak-anak yang sedang berkumpul di kawasan itu kemudian tertarik untuk melihat-lihat buku yang dipajang di dalam gerobak itu. Pegiat sosial ini memberikan pinjaman secara cuma-cuma kepada masyarakat. Buku ini akan diambil dalam waktu yang dijanjikan. Sungguh sederhana upaya ini. Tetapi upaya ini memerlukan satu bentuk pengorbanan yang sangat tinggi. Di samping itu, upaya ini sudah barang tentu memerlukan kegigihan dan kesabaran yang sangat tinggi pula. Inilah sosok Sri Widiati dan gerobak baca-nya (Sumber: www.indosiar.com).

Becak Baca

Sama dengan gerobak baca, di Kota Depok, Jawa Barat, juga telah lahir Becak Perpustakaan Keliling. Penulis menyebutnya Becak Baca. Penulis sebut demikian sebagai perbandingan dengan gerobak baca yang ada di Kabupaten Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah. Becak baca ini diprkarsai oleh dosen dan mahasiswa Universiats Indonesia. Setiap akhir pekan, becak baca ini berkeliling ke perkampungan di sekitar kampus. Tak ayal lagi, anak-anak di perkampungan itu berkumpul di becak baca. Mereka tambah semangat karena para mahasiswa juga sering membacakan dongeng atau cerita (story telling) dengan peragaan drama tentang dongeng atau cerita dalam buku itu.

Selain mengelola becak baca, para mahasiswa juga mengelola Taman Bacaan Rumba. Setiap hari warga masyarakat bisa mendatangi taman bacaan ini tanpa dipungut biaya. Yang penting setelah dibaca, mereka akan mengembalikan buku yang telah dipinjam (www.liputan6.com).

Perpustakaan Keliling

Upaya ini sebenarnya sama dengan perpustakaan gerobak. Yayasan Nurani Dunia yang diketuai Imam B. Prasodjo telah berupaya untuk memajukan pendidikan dan wawasan serta pengetahuan masyarakat di pedesaan dengan membuat perpustakaan keliling. Perpustakan keliling yang pertama untuk daerah Banjarnegara, Jawa Tengah dibuat menggunakan sarana transportasi Bajaj dengan gerobak tambahannya.

Kehadiran perpustakaan keliling menjadi fenomena positif bagi masyarakat. Perpustakaan keliling lainnya telah digagas Ibu Negara Ani Yudhoyono dengan nama Mobil Pintar, yang secara resmi telah beroperasi sejak Mei 2005. Dalam rangka peringata Hari Anak Nasional (HAN) awal September 2007 silam, Mobil Pintar hadir di tengah masyarakat. Tepatnya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, bersama mobil perpustakaan keliling milik Perpustakaan Umum Daerah atau Perpumda. Menurut perwakilan mobil Pintar Yenny Solfiah, kedatangan Mobil Pintar adalah permintaan warga atau kalangan Karang Taruna. Kepala Kantor Perpustakaan Kota Madya Jakarta Pusat Yusnidar mengatakan buku-buku yang tersedia di Mobil Pintar dibeli menggunakan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah pemerintah setempat. Namun, imbuh Yusnidar, Mobil Pintar menerima sumbangan buku dari masyarakat. “Setiap Senin hingga Kamis Mobil Pintar beredar dari pukul 09.00 WIB sampai pukul 14.00 WIB. Saya melihat warga cukup antusias dengan kehadiran Mobil Pintar,” jelas Yusnidar. Mobil Pintar dan Perpustakaan Keliling sejauh ini telah memperoleh tanggapan yang cukup baik dari masyarakat, khususnya anak-anak. Nur Adli, sebagai misal, seorang siswa sekolah dasar ini mengaku senang membaca di Mobil Pintar. Dia suka membaca komik. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Sunja. Selain komik, mereka juga tertarik untuk mencari buku pelajaran untuk persiapan menghadapi ujian.

Sementara di Bogor, Jawa Barat, Setijati Sastrapradja, seorang pegiat sosial, juga telah mendirikan perpustakaan di sekitar rumahnya sejak empat tahun silam yang diberi nama Pelita Desa. Setijati mengelola Pelita Desa dibantu oleh tenaga sukarelawan, dengan koleksi 5.000 buku. Ia memperoleh buku-buku itu secara swadaya maupun sumbangan donatur. Sayang, wanita yang tetap energik di usia 71 tahun itu merasa prihatin terhadap minat warga sekitar. “Animonya sangat rendah. Pengunjung tak lebih dari 15 orang setiap hari,” ujar Setijati. Hebatnya, guna merangsang minat baca masyarakat Setijati membuka kelas bahasa Inggris, baca puisi, menyanyi, dan menggambar. Pembinaan tambahan itu diterapkan sukarelawan Pelita Desa setiap Sabtu. Setijati juga menerbitkan lembar komunikasi bertajuk Kejora yang didistribusikan ke beberapa SD setempat. (Tulisan ini dikuip dan sebagian digubah dari www.liputan6.com).

Akhir Kata

Sudah barang tentu, masih banyak upaya-upaya lain yang belum dicakup dalam tulisan singkat ini. Semuanya itu tidak lain sebagai upaya untuk meningkatkan kegemaran membaca dalam masyarakat. Upaya ini adalah untuk mengubah budaya ’ngrumpi’ menjadi budaya baca masyarakat kita. Insyaallah, upaya-upaya itu besar manfaatnya sebagai bagian penting dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa Amin.

*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com. National Trainer Program WWD, Australia-Indonesia Basic Education Program (AIBEP).

Hotel Orchardz, Pontianak, 16 April 2009

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts

Buku

Tiga Puluh Tausiyah

Buku Tausiyah ini dikumpulkan dari pengalaman kegiatan “menuntut ilmu” dari beberaka kegiatan pengajian di berbagai tempat, mendengarkan kutbah…