ArtikelPendidikan

Komite Sekolah: Kondisi, Masalah, dan Tantangan di Masa Depan

1K views
7 Komentar

Oleh Suparlan *)

Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan
(Pasal 56 ayat 3 UU Nomor 20 Tahun 2003)

Tinggi rendahnya mutu pendidikan di daerah dan sekolah menjadi tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah. Kualitas pendidikan untuk masa yang akan datang lebih bergantung pada komitmen daerah — dalam hal ini termasuk komitmen orangtua dan masyarakat”
(Prof. Suyanto, Ph.D)

Pengantar

Kalau dihitung mulai dari terbitnya Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, maka Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah telah berusia kurang lebih enam tahunan. Melalui program sosialisasi, pengembangan, dan kemudian pembinaan yang telah dan sedang dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini Ditjen Mandikdasmen, hasilnya dapat kita ketahui sebagai berikut: (1) hampir semua kabupaten/kota di Indonesia telah terbentuk Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota, (2) separuh provinsi di Indonesia secara mandiri telah membentuk Dewan Pendidikan Provinsi, (3) hampir semua satuan pendidikan telah membentuk Komite Sekolah, (4) bagaimana pun juga Dewan Pendidikan Nasional sampai saat ini memang belum terbentuk. Hal ini terkait dengan soal jumlah atau kuantitatif. Jika secara kuantitatif kondisinya cukup membanggakan, namun secara kualitatif memang masih sangat memprihatinkan.

Tulisan ini akan mencoba memberikan uraian secara singkat tentang Komite Sekolah, bagaimana kondisinya sampai saat ini, masalah yang dihadapi, dan tantangan berat di masa depan. Mudah-mudahan uraian singkat berikut ini dapat digunakan sebagai penjelasan bagi pengurus Komite Sekolah pada khusus, dan kepada semua pihak yang terkait dengan pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan.

Kondisi

Dalam pengantar tulisan ini telah dijelaskan bahwa hampir semua satuan pendidikan telah terbentuk Komite Sekolah. Itu memang benar sekali. Namun kondisi itu sama sekali tidak melegakan hati kita, karena ternyata pembentukan Komite Sekolah pada awalnya memang hanya untuk memenuhi persyaratan untuk mendapatkan block grant. Pada awalnya proses pembentukan Komite Sekolah dilakukan secara instan. Kalau ada Komite Sekolah yang dibentuk dengan model pemilihan formatur, maka itu masih lumayan. Yang sering terjadi adalah justru Komite Sekolah yang dibentuk dengan cara penunjukan oleh kepala sekolahny. Akibatnya, sampai saat ini Komite Sekolah masih tetap menyandang stigma seperti BP3 atau pun POMG. Inilah kondisi Komite Sekolah yang ada dan kita kenal sampai saat ini, yakni sebagai Komite Sekolah ”stempel”. Bahkan dengan nada satiris, penulis menyebutnya sebagai Komite Sekolah yang posisinya ”berada di ketiak kepala sekolah”.

Sebagai bahan ilustrasi, pada tanggal 16 Desember 2008, ada seseorang yang mengaku sebagai forum orangtua murid telah menyampaikan keluhannya dalam e-mail sebagai berikut:

”Di sekolah anak kami SDNP ”Bunga” Jakarta, ketua komite dipilih oleh guru dan beberapa orangtua murid yang menamakan diri Wakil Orang Tua Murid.  Alhasil Komite Sekolah telah menetapkan sumbangan masuk siswa baru tahun 2008 Rp6 jutaan dan sumbangan bulanan Rp140 ribu. Ketika ditanya untuk apa uang yang dikumpulkan? Belum ada jawaban pasti. Rencana penggunaan dana Rp 1,4 milyar tersebut tidak dapat dijelaskan oleh ketua komite sekolah”.

Melalui e-mail, penulis telah memberikan penjelasan sebagai berikut: (1) proses pembentukan Komite Sekolah di SDNP ”Bunga” Jakarta tersebut belum sepenuh-nya benar, (2) proses pemungutan sumbangan yang telah dilakukan sebelum disepakati adanya program yang jelas secara transparan tergolong aneh dan salah besar, (3) bagaimana pun juga sumbangan dari orantua dan masyarakat — jika hal itu memang harus dilakukan — harus dibukukan, disimpan, digunakan, dan dilaporkan secara akuntabel kepada semua pemangku kepentingan.

Gambaran Komite Sekolah tersebut boleh jadi merupakan kondisi Komite Sekolah di banyak satuan pendidikan di negeri ini. Tidak salah kiranya jika ada kesan dalam masyarakat bahwa Komite Sekolah sekarang ini memang hanya dimanfaatkan oleh kepala sekolah pemungut sumbangan belaka.

Masalah

Mengapa kondisi tersebut sampai terjadi? Ada tiga masalah besar yang kemungkinan menjadi penyebabnya.

Pertama, proses pembentukan dan atau pemilihan pengurus Komite Sekolah yang belum sepenuhnya sesuai dengan buku Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, yakni model penunjukan oleh kepala sekolah, atau paling-paling model pemilihan formatur.

Kedua, pemahaman yang masih rendah tentang kedudukan, peran, dan fungsi Komite Sekolah. Komite Sekolah masih dipandang sebagai penjelmaan dari BP3 atau POMG, dengan peran dan fungsi yang sama saja.

Ketiga, kapasitas SDM Komite Sekolah yang masih rendah. Dewan Pendidikan Kota Pagaralam, Provinsi Sumatera Selatan, melaporkan bahwa profil Komite Sekolah di daerah ini kebanyakan hanya lulusan SD. Bagaimana tidak menjadi bulan-bulanan kepala sekolah yang notabene lulusan S1 jika kualifikasi pengurus Komite Sekolah rata-rata memang hanya lulusan SD.

Ketiga masalah besar tersebut sebenarnya merupakan masalah yang saling kait-mengait, saling berpengaruh, dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Ketiga masalah tersebut tidak akan dapat dipecahkan dalam waktu yang singkat. Pemecahan masalah tersebut memerlukan perubahan paradigma dalam masyarakat.

Paradigma hubungan keluarga, sekolah, dan masyarakat

Paradigma lama memandang keluarga, sekolah, dan masyarakat secara terpisah. Ketiga institusi tersebut tidak saling bekerja sama, apalagi bekerja sama secara sinergis, padahal ketiga institusi tersebut sebenarnya mempunyai fungsi yang sama, yakni mendidik anak-anak bangsa. Paradigma lama memandang urusan pendidikan sekolah adalah urusan pendidik dan tenaga kependidikan. Orangtua tidak peduli dengan urusan pendidikan anak-anak di sekolah itu. ”Terserah Pak Guru sajalah”, demikian orangtua biasa menyampaikan ungkapan kepada sekolah. Apalagi dengan masyarakat, khususnya masyarakat DUDI, yang tidak peduli dengan urusan pendidikan sekolah. DUDI hanya berharap lulusan yang berkualitas. Kalau tidak maka DUDI akan berteriak, dan tidak ada rasa tanggung jawab terhadap upaya meningkatkan kualitas lulusan sekolah itu. Inilah paradigma lama hubungan antara keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Dalam paradigma transisional, sekolah dan keluarga sudah mulai saling mendekat, dan bahkan sudah mulai saling bekerja sama, meski terbatas dalam urusan keuangan atau urusan sarana dan prasarana. Antara masyarakat dan masyarakat masih tidak saling mengenal dan bekerja sama.

Dalam paradigma baru, antara keluarga, sekolah, dan masyarakat telah saling bekerja sama secara sinergis. Tidak ada kata ”anak saya” atau ”anak kamu” dalam hal peserta didik. Keluarga, sekolah, dan masyarakat menyebut ”anak kita” untuk urusan peserta didik. Keluarga, sekolah, dan masyarkat telah bekerja sama secara dalam proses pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan untuk anak-anak bangsa.

Proses perubahan paradigma merupakan proses jangka panjang, karena menyangkut perubahan mindset atau perubahan pola pikir warga masyarakat, yang memerlukan sosialisasi secara terus menerus, dan lebih dari itu adalah proses pemberdayaan semua pemangku kepentingan dalam bidang pendidikan.

Peran Komite Sekolah

Komite Sekolah merupakan lembaga mandiri wadah peran serta masyarakat dalam bidang pendidikan. Lembaga ini memiliki kedudukan yang kuat, karena telah termaktup dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya dalam Pasal 56 ayat (1), (2), (3), dan (4). Pasal 56 (3) menyebutkan bahwa:

”Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan”.

Rumusan dalam Pasal 56 (3) tersebut secara eksplisit menjelaskan tentang bidang garapan Komite Sekolah, yakni peningkatan mutu pelajaran pendidikan. Selain itu pasal tersebut juga menyebutkan tiga peran Komite Sekolah, ialah:

  1. memberikan pertimbangan dan arahan;
  2. dukungan tenaga, sarana dan prasarana, dan
  3. pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.

Ketiga peran tersebut memang agak berbeda sedikit dibandingkan dengan peran Komite Sekolah dalam Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, yakni ada empat peran, termasuk di dalamnya peran sebagai mediator.  Mengapa dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 peran tersebut tidak ada. Kemungkinan karena peran itu harus masuk atau menjadi bagian dari ketiga peran tersebut.

Tantangan ke depan

Tantangan terbesar pertama di masa depan adalah memperbarui proses pembentukan dan atau pemilihan pengurus Komite Sekolah, agar sesuai dengan prinsip-prinsip yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Tantangan ini terkait dengan perubahan paradigma lama hubungan antara keluarga, sekolah, dan masyarakat menjadi paradigma baru. Melalui proses sosialisasi secara terus menerus, tantangan terbesar ini akan dapat diatasi secara bertahap. Ibarat tetesan air ke atas batu karang yang keras, maka paradigma lama secara pelan tetapi pasti akan berubah menjadi paradigma baru.

Tantangan terbesar kedua Komite Sekolah meningkatkan pemahaman masyarakat tentang kedudukan, peran, dan fungsi Komite Sekolah untuk ikut membantu upaya peningkatan mutu pelayanan pendidikan. Lagi-lagi hal ini terkait dengan proses perubahan paradigma hubungan antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Bahwa peran Komite Sekolah bukan hanya menjadi lembaga stempel untuk mengadakan pungutan sumbangan dari masyarakat. Peran paling penting Komite Sekolah adalah justru memberikan pertimbangan dan melakukan pengawasan terhadap satuan pendidikan. Sekolah dan Komite Sekolah memiliki kedudukan sebagai mitra sejajar. Komite Sekolah bukan menjadi subordinasi dari kepala sekolah. Kepala sekolah bukan menjadi pembina Komite Sekolah. Antara keduanya tidak bisa saling menjatuhkan. Identik dengan presiden dan DPR, maka kepala sekolah adalah presiden, dan Komite Sekolah adalah DPR-nya. Antara keduanya tidak dapat saling menjatuhkan secara langsung.

Tantang berikutnya adalah meningkatkan kapasitas pengurus Komite Sekolah. Agar Komite Sekolah dapat berdiri sama tinggi, dan duduk sama dengan kepala sekolah, maka tidak boleh tidak pengurus Komite Sekolah harus memiliki kapasitas dan kapabilitas yang memadai. Hal demikian bisa terjadi apabila tingkat pendidikan masyarakat tinggi. Itulah sebabnya, maka program pemberdayaan Komite Sekolah menjadi salah satu program unggulan untuk kegiatan pembinaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.

Akhir kata

Jika masalah dan tantangan Komite Sekolah/Madrasah dapat dipecahkan dan dicarikan jalan keluar secara tepat, diharapkan Komite Sekolah/Madrasah di masa depan akan menjadi lembaga mandiri yang mampu melaksanakan peran secara optimal untuk meningkatkan mutu pelayanan pendidikan di tanah air.

Bahan Pustaka

  • Depdiknas. 2002. Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Jakarta: Ditjen Mandikdasmen.
  • Dodd, Anne Wescott & Konzal, Jean L. 2002. How Communities Build Stronger School. New York: Palgrave Macmillan.
  • Suparlan. 2004. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Dari Konsepsi sampai dengan Implementasi. Yogyakarta: Penerbit Hikayat.

*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.

Depok, Desember 2008

Tags: Komite Sekolah

Related Articles

7 Komentar. Leave new

  • Saya ingin bertanya…
    1.apakah ketua komite boleh menanyakan atau mengetahui besarnya dana anggaran sekolah..dan dieruntukan apa saja?

    Balas
  • maaf mau tanya..

    apa bedanya komite sama humas..??

    Balas
  • Bambang Setyacipta
    Senin, 25 Agu 2014 07:50:12

    Ass, Romo prabu, apa kabarnya tdk ketemu, untuk hal diatas nampaknya masing-masing daerah belum menjabarkan PP tentang penyelenggaraan pendidikan tahun 2010 yang komposisi nya sudah dapat dilihat disana – kalau tidak salah pasal 197 sy lupa. wass kapan ke jogja bisa ngobrol2 lagi pppptksb

    Balas
    • Alhamdulillah, sehat. Ya, memang di tingkat pusat pun PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang penyelenggaraan DP dan KS juga belum dijabarkan ke dalam Permedikbud. Alhamdulillah, Pak Menteri telah menerbitkan Panitia Pemilihan Anggota Dewan Pendidikan Nasional. Sayang, kerja panitia selanjutnya terhambat dengan masa kerja pemerintah yang tinggal menghitung hari ini, karena tanggal 20 Oktober 2014 menjadi batas akhir masa pemerintahan SBY dan akan segera diganti oleh pemerintahan yang baru. Apakah dengan demikian kerja Panitia Pemilihan Anggota DPN akan dapat dilaksanakan dengan baik? Wallahu alam.

      Balas
  • Saya ingin bertanya,
    1. Bolehkah ketua komite diambil dari pengurus yayasan yang bukan guru?
    2. Bagaimanakah tips mencari ketua komite yang bagus, untuk daerah pelosok yang rata2 berpendidikan rendah?

    Balas
    • Terima kasih atas pertanyaan Anda. Unsur pengurus komite sekolah berasal dari 1) orangtua siswa atau wali peserta didik, 2) tokoh masyarakat sekitar, 3) tokoh pendidikan. Mengingat yayasan itu adalah pemilik sekolah itu, sebaiknya tidak duduk menjadi komite sekolah. Meskipun sekolah itu terletak di daerah pelosok yang rata-rata berpendidikan rendah, sekolah itu tetap saja mempunyai tiga unsur yang akan duduk dalam kepengurusan komite sekolah. Jadi untuk mencari ketuanya, tetap melalui prosedur pembentukan atau pengurus komite sekolah, yakni rapat pemangku kepentingan sekolah, kemudian pemilihan secara demokratis, dan kalau sudah terpilih, pengurus komite sekolah di-SK-kan oleh kepala sekolah. Begitulah kira-kira.

      Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts

Budaya, Pendidikan

Ayo Menyanyi

Oleh: Suparlan *) Saya jadi ingat guru saya di SR (Sekolah Rakyat), namanya Paniran. Sayang, saya belum sempat…