Oleh: Suparlan *)
Hari Kamis kemarin, tanggal 15 Oktober 2015, hati saya terasa sedih. Gara-gara seorang sopir taksi mengeluh kepada saya. Curhat minta nasihat. Tak tahulah. Saya tulis cerita pilu ini, mudah-mudahan bermanfaat untuk siapa pun. Termasuk untuk diri sendiri. Amin.
Cerita Sedih
Ceritanya memang sedih. Tidak seperti namanya “Hasan” artinya bagus. Sudah tujuh tahun di Jakarta. Niatnya sih, ikhlas ingin meningkatkan kondisi ekonomi keluarga. Asalnya dari Tegal. Sekali lagi namanya Hasan. Tapi ceritanya tak seindah namnya. Sudah kawin dengan guru SMA. Sudah punyak anak sekitar enam tahun umurnya. Cukup harmonis awalnya. Istrinya mengajar. Pernah diusahakan pindah dari desa ke sekolah yang dekat dengan rumah. Hasan pernah kerja serabutan jualan mobil bekas. Atas pertimbangan istrinya juga, modalnya habis untuk membangun rumah. Dengan tujuan untuk mengumpulkan modal, akhirnya larilah ke Jakarta menjadi sopir taksi Expres. Di dalam taksi itulah Hasan mengantarkan saya dari kantor Kemendikbud ke kampus Tama Jagakarsa. Sudahlah saya certakan seadanya. Katakanlah yang benar meski pahit sekali pun.
“Mohon maaf Pak, apakah boleh saya curhat kepada Bapak?” pintanya menghiba kepada saya. Saya tidak bisa menolaknya. Saya jawablah setiap pertanyaannya. Terjadilah dialog singkat ini. Saya suka menuliskannya. Inilah deskripsi dan narasi hatinya yang gundah gulana.
Persetujuan Istri
“Apakah kepergian Anda disetujui sang istri?” tanya saya.
“Tidak Pak”, jawabnya sopan. “Tapi sebenarnya dia faham karena kehabisan modal, tentu dia memahami keputusan yang saya ambil itu bukan karena melarikan diri, tapi karena ingin memperbaiki nasib keluarga, termasuk istri dan anak saya.
“Ya, tatapi keputusan yang tidak disetujui istri adalah keputusan yang salah. Suami-istri adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Karena itu keputusan Anda seyogyanya juga keputusan istri Anda. Bukan keputusan sepihak.” Oh ya, Anda punya anak usia berapa?” tanyaku menyelidik.
“Tujuh tahun Pak,” jawabnya pilu.
“Apa selama ini Anda tidak pulang?” tanyaku menyelidik.
“Pernah Pak beberapa kali, tapi istriku yak menerima saya. Dia malah pergi ke rumah Ibunya. Anak saya pun tidak mau saya ajak. Sungguh sedih saya Pak. Ditolak istri dan ditilak juga anaknya. Jaket yang saya taruh di kursi pun dipindah ke luar pintu, dan pintunya pun dikunci. Harus ginama Pak?”cerita pedihnya pun mulai mengalir.
“Kenapa anakmu tidak kamu beri hadiah apa misalnya saat pulang atau saat hari ulang tahunnya?” tanya saya sekenanya.
“Saya ajak saja tidak mau Pak. Saya belum tahu kalau diberikan hadiah apa nanti,” jawabnya juga sekenanya.
“Bapak Ibu dan saudara dari pihak istri apa tidak dimintai pertimbangan untuk mendamaikan Pak Hasan. Termasuk juga dari pihak Bapak Ibu dan saudara dari pihak Pak Hasan sendiri?” tanya saya kemudian.
“Sepertinya tidak ada yang bisa Pak. Nggak tahu bagaimana” keluhnya. “Apa yang sekarang harus saya lakukan Pak?” lanjutnya.
“Apakah ada pihak ketiga yang berpengaruh dalam hal ini?” tanya saya kemudian.
“Tidak tahulah Pak. Apakah yang sebaiknya saya lakukan Pak?” keluhnya kemudian.
“OK Pak Hasan. Banyak-banyaklah berdoa Pak. Ada baiknya jika Pak Hasan melakukan pendekatan kepada istri dan anak. Untuk apa sih di Jakarta mencari uang, jika hasilnya pisah dan tidak rukun dengan istri dan anak-anak. Prioritas yang terpenting apa? Kembali ke istri dan anak. Darah anak Bapak itu adalah darah Bapak. Ini saja langkah yang harus dilakukan. Pertama, carilah informasi apakah ada pihak ketiga yang telah memisahkan Bapak dengan istri dan anak Bapak. Syukur kalau tidak ada pihak ketiga. Kalau pun ada tetaplah adakan pendekatan dengannya. Hati Bapak sebenarnya masih cinta nggak ya dengan istri dan anak Bapak? Dekatilah anak Bapak dengan hadiah istimewa. Anak Bapak perempuan. Yang menjadi walinya kelak adalah Bapak.
“Apakah boleh saya paksa saja anak saya supaya ikut saya? Juga dengan paksa kepada istri saya? ” tanyanya.
“Oh jangan! Sama sekali jangan. Tujuan yang baik jangan dilakukan dengan cara yang tidak baik. Hasilnya akan menjadi kontra produktif. Lakukanlah dengan cara lemah lembut. Dengan cinta, bukan dengan cara kekerasan. Meski hasilnya pada awalnya belum dapat dilihat hasilnya. Ya, mungkin istri Bapak menolak. Atau anak bapak akan menolak mentah-mentah, maka itulah resiku kesalahan Bapak meninggalkan mereka ke Jakarta tanpa seizing istri dan anak Bapak. Itulah resiko yang harus Bapak terima dengan sabar. Tetap saja, Bapak mengajak mereka untuk bersamanya. Tanyakan apa yang harus Bapak lakukan. Tanyakan apakah yang mereka inginkan? Seterusnya lakukan pendekatan dengan cinta. Sekali lagi bukan dengan paksaan. Dengan berdoa dan bersabarlah menghadapinya. Allah mencintai orang-orang yang sabar. Istri dan anak Bapak tetap sebagai manusia, yang punya hati dan pikiran yang jernih. Mudah-mudahan berhasil. Insya Allah.
Akhirul Kalam. Inilah cerita sedih Pak Hasan. Memang, Pak Hasan belum melakukan apa yang telah saya nasihatkan kepadanya. Usaha tetap sebagai usaha. Allah jualah yang maha mengaturnya. Kita ikut berdoa mudah-mudahan usaha Pak Hasan kelak berhasil. Amin.
*) Laman: www.suparlan.com; Surel: me@suparlan;
Depok, 17 Oktober 2015.