ArtikelPendidikan

Bagaimana Menjalin Hubungan Erat Antara Orangtua dan Sekolah

299 views
Tidak ada komentar

Oleh Suparlan *)

Parents must be given enough opportunity to feel comfortable that the school’s and teacher’s attentions are good
(Deborah Meier)

Sekolah tidak dapat lagi kita pikirkan sebagai suatu lembaga sosial yang berdiri sendiri, terlepas dari lembaga-lembaga sosial yang lain. Sekolah harus kita pandang sebagai suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang ada di sekitarnya, baik masyarakat lokal, maupun masyarakat daerah atau masyarakat nasional. Kemudian, pendidikan tidak dapat lagi kita bayangkan sebagai kegiatan yang hanya dilaksanakan oleh sekolah, dan bersifat terlepas dari kegiatan pembinaan anak yang terjadi di lingkungan keluarga serta kegiatan pengembangan diri yang dialami anak dalam lingkungan masyarakat
(Mochtar Buchori)

Sekolah-sekolah kita terletak pada jantung masyarakat. Mereka memiliki satu tradisi yang kaya tentang keikutsertaan orang tua dan masyarakat dalam pendidikan
(Menteri Pendidikan dan Pelatihan, Ontario, Kanada)

Anak perempuan saya sedang ke rumah mertuanya. Rupanya ia sedang menonton televisi. Tayangan yang menarik di televisi itu adalah tentang demo orangtua siswa kepada para guru SD di daerah Yogyakarta. Saya ditelepon untuk segera melihat tayangan itu. Rupanya tayangan itu benar adanya.

Dalam tayangan itu, warga masyarakat sedang berkumpul di depan sekolah mendemo para guru yang selalu datang terlambat masuk sekolah. Sementara para siswa telah berada di ruang kelas menunggu kedatangan gurunya. Dengan membawa spanduk antara lain berbunyi ”guru ojo turu” (guru jangan tidur), para orangtua siswa mengunci pintu masuk sekolah. Dam hasilnya, para guru menandatangani perjanjian bahwa mereka tidak akan terlambat masuk sekolah lagi.

Nah kalau sudah begitu. Mau apa lagi. Benteng terakhir disiplin dan moralitas para guru sudah ambruk. Seperti ambruknya gedung sekolah yang tidak pernah dipelihara oleh sekolah. Itulah kenyataan yang menyakitkan hati. Itulah yang kemudian mendorong saya untuk menulis tentang tajuk yang satu ini. Dorongan itu menjadi lebih kuat lagi setelah membaca buku karangan Deborah Meier bertajuk In Schools We Trust. Di Sekolah Kita Percaya. Dengan kejadian demo orangtua siswa kepada para guru yang sering terlambat masuk sekolah, lalu masih ada lagikah sosok yang kita percayai dari sebuah lembaga pendidikan yang bernama sekolah. Ada beberapa hal yang perlu kita jadikan pelajaran dari peristiwa yang menyedihkan itu. Sudah tentu ada sebab akibatnya. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Wardiman Djojonegoro, pernah menyatakan bahwa separuh persoalan guru adalah kesejahterannya. Deborah Meier lebih melihatnya secara lebih luas, dari aspek hubungan orangtua siswa dengan sekolah. Meier telah memberikan tip-tip yang cukup baik untuk membina dan menjalin erat hubungan orangtua tua siswa dengan sekolah sebagai berikut.

Pertama, schools need to be clear about their agenda. Sekolah perlu mengetahui dengan jelas agenda orangtua. Dengan kata lain, sekolah perlu mengetahui, mendengarkan, dan memahami keinginan orangtua. Untuk itu, cobalah kepala sekolah mengadakan acara pertemuan secara rutin dengan orangtua siswa, untuk mendengarkan apa keginginan dan bahkan gagasan kreatif orangtua.

Kedua, we all need to be clear how decisions are made. Kita, sekolah dan orangtua memerlukan untuk mengetahui dengan jelas bagaimana semua keputusan itu dibuat. Selama ini mungkin sudah banyak keluhan dari orangtua yang ditujukan kepada staf yang memberikan layanan kepada orangtua. Tapi apa hasilnya, mungkin orangtua tidak melihat adanya perubahan sebagaimana yang telah diusulkan oleh orangtus. Padahal persoalannya adalah karena staf sekolah yang selalu diberikan masukan itu bukanlah pihak yang memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan. Akibatnya, orangtua menjadi tidak percaya lagi kepada sekolah. Untuk itu, maka sekolah dan orangtua kembali harus saling dapat berkomunikasi secara efektif untuk menyamakan persepsi tentang pengambilan keputusan di sekolah. Satu contoh, ada kebijakan dari pusat bahwa buku pelajaran harus digunakan di sekolah minimal dalam lima tahun. Maka untuk menentukan buku pelajaran apa yang akan dipakai di sekolah, orangtua yang direpresentasikan dalam Komite Sekolah harus diajak bicara dalam menentukan buku pelajaran tersebut.

Ketiga, parents must be given enough opportunities to feel comfortable that the school’s and teacher’s intentions are good.  Berikan kesempatan kepada orangtua siswa untuk tidak merasa enggan untuk menyampaikan masalah anaknya kepada sekolah, kepada kepala sekolah dan guru. Mungkin, orangtua merasakan anaknya tidak mau belajar karena acara filem kartun menjadi tontonan yang lebih disukainya. Atau mungkin sepulang dari sekolah, banyak anak yang tidak langsung pulang ke rumah. Atau anak-anak merasakah adanya pekerjaa rumah (PR) yang terlalu banyak. Begitu banyak mungkin yang dihadapi orang tua tentang anaknya yang sedang bersekolah. Semua masalah itu, tidak boleh disimpan saja oleh orangtua. Dengan kata lain, orangtua tidak boleh merasa enggan atau malu-malu untuk menyampaikan masalah itu kepada sekolah. Jika perlu, orangtua dapat menelelepon gurunya apakah pada hari ini anaknya memperoleh pekerjaan rumah. Pola hubungan antara orangtua dengan sekolah ini biasanya menggunakan adanya ”buku penghubung”. Tetapi pola ini memang masih terlalu formal mekanistis. Padahal sebenarnya hubungan itu dapat dijalin dengan media telepon, atau bahkan kalau perlu dengan datang sendiri untuk menghadap kepala sekolah atau guru kelas untuk menyampaikan berbagai masalah yang mungkin dihadapi oleh orangtua.

Keempat, all parents need ways to make informed judgments about the professional competence of the school.  Ibarat berkonsultasi kepada dokter yang akan mengoperasinya, seorang pasien diperkenankan untuk menyampaikan pendapatnya tentang rencana operasi itu. Berikanlah pasien menyampaikan penilaian dengan perasaan enak tentang rencana operasi yang aka dilakukan oleh dokter. Demikian juga dengan orangtua siswa. Berikan kesempatan kepada orangtua untuk menyampaikan apa saja yang menurutnya masih perlu ditingkatkan oleh sekolah itu. Misalnya, berikan kesempatan orangtua untuk memberikan penilaian kepada sekolah bahwa sesungguhnya guru tidak boleh hanya memberikan tugas untuk mengerjakan Lembaran Kegiatan Siswa (LKS), dengan alasan karena proses belajar mengajar sekarang ini telah berubah dari paradigma berpusat kepada guru (teacher- centered) menjadi berpusat kepada siswa (student-centered). Guru yang mengajar hanya dengan menggunakan LKS semata-mata sama sekali tidak dapat dikatakan melaksanakan konsep berpusat kepada siswa. Orangtua dapat memberikan penilaian secara santun dan transparan kepada sekolah.

Kelima, parent-school relationships require lots of time. Seringkali orangtua merasa tidak memiliki waktu untuk dapat berkomunikasi dengan sekolah. Bahkan, sampa-sampai mengambil rapor anaknya pun tidak punya waktu. Untuk itu, untuk mengambil rapor, orangtua masih sering mewakilkan kepada pembantunya. Hal demikian sangat disayangkan. Indra Jadi Sidi, mantan Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, menceritakan bahwa ia datang sendiri ke sekolah untuk mengambil rapor putranya. Ini satu contoh yang baik sekali untuk menunjukkan adanya hubungan yang baik antara sekolah dan orangtua.

Keenam, there need to be clarify about what to do when the quiet negotiating and compromising breaks down, and the school makes decisions that feel unacceptable or wrong. Jika terdapat ketidakcocokan antara sekolah dan orangtua, maka jalan tengah harus dicari. Atau pihak ketiga harus dapat menengahi. Untuk ini maka Komite Sekolah dapat melakukan peran ini. Di sekolah yang bernama Mission Hill, tempat pengarang buku In School We Trust ini bekerja, telah memberikan contoh bahwa 16 orang anggota Board of Governors, yang terdiri dari lima orang yang mewakili orangtua siswa, lima orang yang mewakili sekolah, lima orang yang mewakili warga masyarakat, dan seorang wakit dari peserta didik, akan menjadi badan yang dapat memberikan mediasi terhadap perbedaan pendapat antara sekolah dan orangtua siswa. Dalam hal ini, orangtua siswa juga dapat mengajukan permohonan kepada pengawas sekolah (superintendent’s office) untuk dapat memecahkan masalah tersebut. Bahkan jika perlu orangtua siswa juga dapat mengajukan masalah tersebut kepada Kantor Walikota ataupun Kantor Bupatinya.

Enam tip itulah yang disarankan oleh Deborah Meier dalam bukunya bertajuk In Schools We Trust. Di Dalam Sekolah Kita Membangun Kepercayaan. Jika sistem itu dapat dilakukan oleh sekolah, tidak mustahil sekolah akan menjadi sekolah yang dipuja dan dipuji oleh orangtua dan masyarakat. Kalau masyarakat sudah percaya, maka orangtua akan sangat mudah memberikan dukungan yang diperlukan oleh sekolah. When the system is working, it makes the impossible possible. Jika sistem itu berjalan dengan baik, maka ia akan membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin. Anak-anak, peserta didik, akan tidak mudah menjadi korban dari perseteruan antara orangtua siswa dengan sekolah, tidak akan menjadi korban dari konflik yang berkepanjangan antara orangtua dan sekolah. Dengan demikian, isnyaallah tayangan televisi tentang adanya demo orangtua siswa yang menuntut agar guru tidak lagi datang terlambat tidak akan terjadi di negeri tercinta. Mudah-mudahan.

*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.

Jakarta, 6 Juni 2007

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts