ArtikelLingkungan Hidup

Gerakan Nasional Biopori

5 views
Tidak ada komentar

Oleh Suparlan *)

Hanya ada dua kata yang menuntun Anda pada kesuksesan. Kata-kata itu adalah “ya” dan “tidak”. Tidak diragukan. Anda telah sangat ahli untuk berkata “ya”. Sekarang, berlatihlah berkata “tidak”, Cita-cita Anda bergantung padanya
(Jack Canfield, penulis seri buku laris “Chicken Soup for The Soul”)

Alam tidak pernah bercanda. Alam selalu menunjukkan kebenaran. Alam selalu serius, selalu tegas. Alam selalu benar, dan kesalahan-kesalahan serta kelaian-kelalaian yang ada pastilah ulah manusia
(Johann Wolfgang von Goethe)

Inovasi membedakan antara pemimpin dan pengekor
(Steve Jobs, pendiri Apple Computer)

Untuk memecahkan berbagai masalah dalam kehidupannya, manusia memerlukan inovasi. Tidak boleh tidak. Termasuk untuk memecahkan masalah perubahan iklim yang kini telah lama dirasakan dalam panggung sejarah umat manusia. Steve Jobs, seorang pendiri perusahaan Apple Computer, menyatakan bahwa inovasi membedakan antara pemimpin dan pengekor.

Tentu kita ingin menjadi pemimpin, tidak sekedar menjadi pengekor. Itulah sebabnya maka pembuatan biopori harus dipandang sebagai salah satu inovasi yang patut mendapatkan perhatian semua orang, terutama dari para pemimpinnya. Inovasi tidak akan banyak berarti jika tidak diterapkan dalam praktik hidup sehari-hari. Termasuk teknologi biopori. Gerakan membuat biopori perlu dilakukan oleh semua elemen pemerintah dan rakyat Indonesia secara nasional sebagai langkah nyata untuk mengawal perubahan iklim di dunia.

Lubang Sampah dan Biopori

Penemuan biopori mengingatkan penulis kepada masa kecil di kampung halaman. Kakek mengayunkan cangkulnya untuk membuat lubang tempat membuang sampah di sebelah rumah. Lubang berdiamater satu meter dengan kedalaman satu setengah meter itu dibuat untuk tempat membuang sampah. Ketika itu, sampah yang dihasilkan rumah tangga pada umumnya memang berupa sampah organik. Dalam jangka beberapa bulan, lubang itu pun penuh dengan sampah organik. Kemudian kakek menutup lubang itu. Sebagian dari sisa tanah sebelumnya, dan lainnya berasal dari pembuatan lubang sampah yang baru yang letaknya tidak jauh dari lubang sebelumnya. Bekas lubang sampah yang ditutup kemudian ditanami tanaman, seperti pisang atau tanaman produktif lainnya. Demikianlah siklus pengelolaan sampah yang selama ini dilakukan oleh penduduk di desa penulis.

Kehidupan memang telah mengalami perubahan dan perkembangan. Sampah organik saat ini banyak dipenuhi oleh limbah plastik, seperti kemasan barang yang dibeli dari toko dan mall. Bahkan, kemasan barang yang dibeli dari pasar tradisional pun telah menggunakan plastik sebagai pembungkusnya. Maka menumpuklah sampah plastik di rumah kita. Untuk ini, maka teknik recycling (pengolahan kembali) limbah menjadi sangat penting.  Secara sederhana, istri penulis mengumpulkan kantong-kantong plastik yang menumpuk di rumah bukan hanya dengan cara membuangnya di tempat sampah di depan rumah, tetapi melipat-lipatnya dengan teknik tertentu untuk kemudian digunakan kembali jika diperlukan, atau memberikan plastik-plastik itu ke pedagang sayur di pasar tradisional. Yang sangat perlu dilakukan oleh masyarakat adalah memisahkan jenis limbah rumah ke dalam minimal dua macam sampah. Pertama, limbah organik. Kedua, limbah anorganik. Kebiasaan penduduk untuk memisahkan limbah rumahnya sama sekali belum menjadi pemerintah, termasuk Kementerian Lingkungan Hidupnya. Kalau masalah kecil ini tidak menjadi perhatian pemerintah, pusat dan daerah, lalu siapa lagi?

Penulis mempunyai pengalaman yang sangat berharga selama menjadi Kepala Sekolah Indonesia Kuala Lumpur di Malaysia. Ketika itu, anak-anak Pramuka akan mengadakan acara Persami (Perkemahan Sabtu Minggu). Ternyata menjadi kayu bakar tidak dilakukan. Maka dicarilah jalan praktis dengan menggunakan batu bata yang dicelup dengan minyak tanah untuk dibakar. Acara pun dilaksanakan sesuai dengan rencana, termasuk acara api unggun dengan menggunakan batu bata tersebut.

Apa yang terjadi kemudian. Dengan tidak disangka sebelumnya, sekolah telah menerima surat dari Kementerian Lingkungan, yang telah memperoleh pengaduan dari masyarakat sekitar tentang asap yang mengepul akibat api unggun yang diadakan pada saat Persami. Sekolah harus memberikan respon terhadap surat Kementerian Lingkungan itu. Kalau tidak, maka sekolah akan dikenai denda yang tidak sedikit. Pelajaran apa yang dapat kita tarik dari pengalaman tersebut? Pemerintah dan masyarakat Malaysia ternyata sangat peduli terhadap masalah lingkungan hidup. Sementara kita belum, atau bahkan tidak?

Teknologi biopori bagi penulis merupakan penemuan kembali teknologi tradisional lubang sampah yang pernah dilakukan kakek tempo dulu. Teknologi biopori lahir dari kepedulian seorang ahli ilmu tanah Ir. Kamir R. Brata, MS dari Institut Pertanian Bogor terhadap masalah lingkungan hidup kita. Di antara sekian banyak penduduk yang memang belum mengetahui seluk-beluk masalah lingkungan, masih ada beberapa orang yang memiliki kepedulian tinggi terhadap masalah lingkungan hidup. Teknologi lubang serapan biopori dapat dibuat dengan sangat mudah. Yang penting ada kemauan untuk membuatnya. Biopori adalah lubang digali di tanah dengan diameter 10 – 20 cm dengan kedalaman 80 – 100 cm, yang kemudian dimasuki sampah organik di dalamnya. Lebih bagus kalau sampah organik itu sudah mulai lapuk. Atau kelau masih baru, sampah organik itu perlu  dipotong-potong kecil terlebih dahulu, sehinnga lubang sebesar dan sedalam itu mampu menampung sekitar lima kilogram sampah organik. Yang lebih penting, jangan sekali-kali memasukkan sampah anorganik ke dalamnya, karena selain akan membuat bau yang tidak sedap, maka lubang biopori itu tidak akan dapat berfungsi sebagai penyerap air, atau tidak akan dapat menyuburkan tanah. Dalam jangka waktu sekitar tiga bulan, sampah organik baru yang telah dimasukkan ke dalam biopori akan menjadi kompos, yang dapat kita ambil untuk memupuk tanaman, atau kita biarkan saja di situ, lalu kita buat lagi biopori lain di tempat lain atau di sebelah biopori yang sudah penuh itu. Dengan demikian, kita akan memiliki banyak biopori di halaman kita, atau kebun kita, atau di tepi-tepi jalan, atau di jalur hijau di jalan-jalan raya. Dalam hal ini, Departemen Pendidikan Nasional telah memberikan contoh kepada para pegawai dan masyarakat dengan membuat biopori di tepi gedung bertingkat, di taman-taman di kawasan halaman kantor Depdiknas. Kalau pembuatan biopori dapat dimulai dari halaman Istana Presiden, kantor gubernur, kantor bupati dan walikota, kantor camat, kantor desa, sampai dengan kantor RT dan RW, maka seluruh rumah penduduk di negeri tercinta ini akan memiliki biopori. Dengan demikian, dapat negeri ini akan memperoleh manfaat yang luar biasa.

Pertama, secara bertahap akan mengurangi terjadinya bahaya banjir, karena air hujan dan air limbah rumah tangga akan diserap oleh bumi melalui lubang biopori.

Kedua, secara bertahap akan mengurangi bahaya kekeringan, karena bumi kita akan menyimpan air tanah dari proses penyerapan melalui biopori. Lebih dari itu, kita akan memperoleh sumber air dari mata air yang jernih dari tanah kita. Sumber air di negeri ini telah disedot dengan debit yang sangat tinggi. Sementara itu, air hujan dan air di muka bumi tidak dapat diserap kembali ke dalam tanah. Sebaliknya semua air itu terus mengalir menjadi bencana banjir dan longsor tanah.

Ketiga, bumi kita akan memiliki cadangan zat hara berupa kompos yang telah dihasilkan oleh biopori. Sampah organik tidak hanya menjadi CO2 karena telah dibakar. Kebiasaan membakar sampah organik – apalagi membakar hutan — merupakan kebiasaan yang tidak terpuji dan bahkan tidak manusiawi. Kembalikan sampah organik ke pangkuan bumi melalui biopori. Dengan demikian, tanah kita akan menjadi subur dan muda kembali. Dari tanah yang subur ini kita akan dapat menanam segala macam tumbuhan dan tanaman yang akan berguna bagi umat manusia.

Cobalah kita bayangkan. Ketika pesawat Merpati dari Denpasar mendapat di Bandara Wai Oti di Maumere, tampak nyata kegersangan tanah telah terjadi akibat pola pengolahan lahan yang dilakukan dengan cara membakar bahan organik berupa rumput dan tanaman-tanaman liar yang ada di atasnya. Mengapa mereka tidak membuat biopori di sekeliling lahan, dan mengisinya dengan bahan-bahan organik itu. Karena mereka melakukannya sesuai dengan tradisi zaman bahaeula. Mereka tidak menyadari bahwa zaman telah berubah. Penduduk telah bertambah. Hutan telah dirambah, dan sumber daya alam telah terkuras. Tidakkah kita harus berbuat sesuatu untuk melindungi alam ini? Untuk itu rakyat memerlukan keteladanan dan contoh dari para pemimpinnya. Biasanya rakyat akan mau menirunya jika contoh dan keteladanan itu telah dirasakan manfaatnya secara nyata.

Benar sekali peringatan Goethe, alam tidak pernah bercanda. Alam selalu menunjukkan kebenaran. Alam selalu serius, selalu tegas. Alam selalu benar, dan kesalahan-kesalahan serta kelalaian-kelalaian yang ada pastilah ulah manusia (Johann Wolfgang von Goethe). Bahkan, Al Quran telah mengingatkan bahwa semua kerusakan yang terjadi di darat dan di laut, tidak lain dan tidak bukan adalah hasil ulah tangan-tangan manusia.

Kerusakan Alam

Kerusakan alam telah mengancam umat manusia secara dramatis. Beberapa dari banyak kerusakan alam itu antara lain adalah sebagai berikut.

Pertama, tanah gambut di pantai Timur Sumatera dan pedalaman Kalimantan telah hampir habis terbakar setiap tahun.

Kedua, hutan bakau di bibir pantai telah disulap menjadi kawasan industri dan perumahan mewah. Karena itu, abrasi telah terjadi di sepanjang garis pantai di negeri ini. Intrusi air laut telah merembes ke tengah-tengah kota. Pasang air laut telah menjadi agenda sehari-hari penduduk pantai.

Ketiga, hutan hujan tropis (tropical rain forest) telah banyak ditebang dan dibakar. Illegal loging atau pembalakan liar (istilah Malaysia) telah menjadi isu yang amat mengerikan. Dalam hal ini, Emha Ainun Najib, menyindir keras, kalau tusuk gigi yang diambil Pak Kyai tanpa permisi dari pagar orang dapat menimbulkan dosa-dosa yang sulit diampuni oleh Allah SWT, apatah lagi dengan batang-batang kayu dari illegal loging itu. Wow, dosa yang amat besar.

Keempat, industri air mineral telah menguras tuntas air tanah. Konon harga air mineral telah menjadi jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga BBM. Cerita dari mulit ke mulit menyatakan bahwa industri air mineral di kawasan Jawa Barat telah mematikan sumber air bersih yang sebelumnya diambil dengan gratis oleh penduduk. Sementara untuk membeli air mineral sudah barang tentu penduduk harus mengeluarkan uang dari sakunya.

Kelima, industri perumahan telah merambah setu atau danau, yang dahulu dahulu menjadi daerah serapan air yang amat potensial untuk mengendalikan banjir. Kalau kawasan penampung air itu telah menjadi tempat hunian penduduk, lalu kemana air hujan harus disalurkan?

Keenam,
Puncak-puncak bukit telah dijadikan kawasan perumahan mewah. Kawasan hutan lindung dan konservasi hutan banyak yang merana karena ulah manusia. Dan masih banyak lagi indikasi kerusakan alam yang dapat ditunjukkan.

Katakan Tidak

Seorang penulis buku laris bertajuk Chicken Soup for The Teacher’s Soul, Jack Canfield, menyakatan bahwa ”hanya ada dua kata yang menuntun Anda pada kesuksesan. Kata-kata itu adalah “ya” dan “tidak”. Tidak diragukan. Anda telah sangat ahli untuk berkata “ya”. Sekarang, berlatihlah berkata “tidak”. Cita-cita Anda bergantung padanya”. Nah, jika selama ini kita banyak melakukan ”ya”, seperti memberikan HPK kepada perusahaan tertentu untuk menebang hutan, atau kalau kebanyakan penduduk juga membuang puntung rokok sembarangan yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan, atau kalau selama ini penduduk juga masih melakukan pembakaran sampah organik, atau bahkan masih terbiasa dengan membuang sampah di sembarang tempat, termasuk membuang sampah di parit dan sungai, maka cobalah sekarang semua kita TIDAK melakukan itu semua. Cobalah kita melakukan YA yang bersifat positif, seperti membuat biopori di rumah-rumah kita, memisah-misahkan sampah antara sampah organik dan sampah anorganik, ikut menanam sejuta pohon di lingkungan kita, dan masih banyak kebiasaan lain yang dapat kita lakukan, sebagai dukungan kita terhadap gerakan nasional untuk membuat biopori di lingkungan kita masing-masing.

Akhir Kata

Penulis sering meminjam kata-kata Aa Gym untuk menutup ceramah. Dalam tulisan ini, tidak ada salahnya jika 3 M dari Aa Gym itu dapat diingatkan kembali. Pertama, kita perlu memulai dari diri sendiri. Termasuk membuat lubang serapan biopori ini. Mari kita buat biopori di halaman rumah kita masing-masing, di jalur hijau di jalan di depan atau di samping rumah kita. Kedua, mulailah dari yang kecil-kecil. Tidak usah membuat biopori sampai puluhan, atau bahkan sampai ratusan. Buatlah satu, dua buah saja. Itu cukup untuk pembelajaran awal bagi kita. Cobalah kita memisahkan sampah dari rumah kita, antara sampah organik dan sampah anorganik, serta jangan campurkan kedua macam sampah itu. Ini tidak harus kita lakukan sendiri, tetapi dapat dilakukan istri kita, anak-anak kita, atau pembantu yang bekerja di rumah kita. Ketiga, kapan semua itu harus dimulai? Jangan tunggu besok. Lakukanlah sekarang juga. Mari kita lakukan saat ini juga!!!!! Menunda pekerjaan pada hakikatnya adalah membuang kesempatan.

Mudah-mudahan tulisan ini banyak dibaca orang. Lebih dari itu, banyak difamahami, dan akhirnya banyak dicoba dan dilaksanakan oleh banyak orang. Wallahu alam bishawab.

*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.

Maumere, Desember 2007

Tags: Biopori, Lingkungan Hidup

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts

Artikel, Dunia Islam

Kultum 2: Amal

1. Puasa hari pertama tahun 2014 ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Bapak Muhammad Nuh, berkenan menyampaikan taushiah. Ada…