Oleh Suparlan *)
Teaching and learning should focus on the particular intelligence of each individual, who should be encouraged to develop this particular ability
(Howard Gardner, 1983, 1993)Satu-satunya sumbangan paling penting untuk perkembangan anak adalah membantunya untuk menemukan bidang yang paling cocok dengan bakatnya, yang akan membuatnya puas dan kompeten
(Daniel Goleman, 2002: 49)Anak-anak di dalam kelas kita mutlak lebih penting daripada pelajaran yang kita ajarkan kepada mereka
(Meladee McCarty).
Manusia diciptakan unik. Tidak seorang pun manusia di dunia ini yang diciptakan sama, meski kembar sekalipun. Inilah yang sejak lama dalam ilmu pendidikan dikenal dengan konsep perbedaan individual (individual differences). Oleh karena itu, sistem klasikal sebenarnya tidak sesuai dengan konsep perbedaan individual, karena sistem klasikal menganggap semua siswa yang ada di kelas itu dalam banyak aspek dipandang homogin (sama).
Kondisi ini lebih diperparah lagi dengan penggunaan metode ceramah dalam proses belajar mengajar. Dengan metode ceramah, materi yang diajarkan sama, prasyarat kemampuan yang dimiliki siswa (prerekuisit) siswa dianggap sama, tugas-tugas yang diberikan kepada siswa juga sama, dan media dan alat peraga yang digunakan juga sama. Akhirnya, hasil akhir pengetahuan, sikap, dan keterampilan atau yang disebut sebagai tujuan instruksional yang diharapkan juga sama. Bahkan tes hasil belajar yang digunakan untuk mengukur kompetensi siswa juga sama. Itulah karakteristik sistem klasikal dalam proses pembelajaran.
Pelaksanaan sistem itulah yang kemudian memperoleh kritik dari banyak pakar yang berpihak kepada sistem pendidikan individual. Salah satunya adalah Howard Gardner, seorang professor ilmu syaraf (neurology) dari Universitas Harvard pada tahun 1984 (Suparlan, 2004: 198). Kontribusi Gardner yang sangat besar dalam ilmu pendidikan dan ilmu pengetahuan pada umumnya adalah teori tentang kecerdasan ganda, sebagaimana tertuang dalam bukunya bertajuk Frame of Mind: The Theory of Multiple Intelligence yang menyebutkan tujuh tipe kecerdasan manusia, yakni:
- linguistic intelligence atau kecerdasan linguistik (bahasa).
- musical intelligence atau kecerdasan musikal
- logical-mathematical intelligence atau kecerdasan logical-matematikal
- visual/spatial intelligence atau kecerdasan visual/spasial
- body/kinesthetic intelligence atau kecerdasan ragawi/kinestetis
- intrapersonal intelligence atau kecerdasan intrapersonal
- interpersonal intelligence atau kecerdasan interpersonal.
Menurut Gardner, jenis pekerjaan, karir, atau profesi tertentu akan melibatkan kombinasi dari beberapa macam kecerdasan. Jarang sekali jenis pekerjaan tertentu itu yang hanya memerlukan satu dari ketujuh kecerdasan tersebut. Namun, dapat juga dipastikan bahwa jenis pekerjaan tersebut akan memerlukan satu kecerdasan yang sangat dominan. Sebagai missal, jenis pekerjaan wartawan atau penulis, pasti akan memerlukan kecerdasan bahasa. Selain itu, jenis pekerjaan itu pasti akan memerlukan kecerdasan interpersonal, yakni satu tipe kecerdasan yang membutuhkan keahlian dalam berkomunikasi dengan orang lain. Seorang pelaut, seperti orang Puluwat yang tinggal di Pulau Caroline yang memiliki kemahiran dalam mendayung kano di laut bebas, atau bandingkan dengan orang Raas di Kepulauan Kangean, Madura, Provinsi Jawa Timur yang konon memiliki kemahiran dalam menyelam sampai beberapa jam untuk mencari kerang di laut dalam. Mereka pasti harus memiliki satu kecerdasan yang dominan, yakni kecerdasan ragawi atau kinestetis dan juga kecerdasan spasial. Namun demikian, mereka juga pasti akan memiliki paduan dengan tipe kecerdasan yang lainnya.
Peran Pendidikan Dalam Mengasah Kecerdasan Ganda
Tipe kecerdasan tidak hanya satu. Setiap orang memiliki gaya belajar yang unik, sama halnya dengan sidik jari. Oleh karena itu, sekolah yang efektif harus dapat mengenali secara dini kecerdasan masing-masing peserta didik, dan kemudian memberikan layanan yang sesuai dengan tipe kecerdasan yang mereka miliki. Peran penting pendidikan dalam mengembangkan kecerdasan minimal ada dua macam. Pertama, mengenalinya secara dini tipe kecerdasan setiap peserta didik, (2) memberikan model layanan pendidikan yang sesuai dengan kecerdasan tersebut, (3) mengasah dan mengembangkan kecerdasan semua peserta didik secara optimal.
Dengan demikian, peserta didik yang dikenali memiliki kecerdasan bahasa, sebagai misal, harus diberikan kesempatan untuk dapat membaca, menulis, dan mendengarkan kata-kata yang terkait dengan topik mata pelajaran yang diajarkan. Siswa yang dikenali memiliki kecerdasan logis-matematis, harus diberikan lebih banyak kesempatan untuk mempelajari prinsip-prinsip matematika, seperti operasi hitung, dan lain sebagainya. Demikian juga dengan siswa yang telah dikenali memiliki kecerdasan ganda ragawi-kinestetik, atau satu jenis kecerdasan musikal, yang ternyata jika dikembangkan secara optimal, peserta didik diharapkan mampu menekuni pekerjaan sebagai olahragawan, atau penari terkenal, bukan hanya di tingkat lokal, tetapi juga nasional, dan bahkan internasional.
Dalam proses belajar mengajar, pendidik setidaknya harus memperhatikan kecenderungan kecerdasan potensial masing-masing peserta didik. Peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan logis-matematis pasti akan memiliki gaya belajar (learning style) yang berbeda dengan peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan linguistik, bahkan dengan peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan ragawi-kinestetis. Peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan ragawi-kinestetis akan merasa lega jika diberikan kesempatan untuk terjun ke lapangan olahraga atau ke tempat latihan tari-menari. Demikian juga dengan peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan yang lainnya. Pada prinsipnya, ada tiga gaya mengajar yang paling umum dapat diamati oleh pendidik. Pertama, gaya visual (visual learning), yakni gaya belajar yang lebih suka menggunakan gambar-gambar, bahan bacaan yang dapat dilihat. Kedua, tipe audio, yang lebih suka mendengarkan, misalnya mendengarkan ceramah atau penjelasan dari gurunya, atau mendengarkan bahan audio seperti radio kaset, dan sebagainya. Ketiga, tipa taktil, yang lebih suka menggunakan tangan dan badannya. Peserta didik tipe taktil akan tidak suka diminta duduk manis untuk mendengarkan ceramah guru seperti yang disukai oleh peserta didik yang memiliki gaya audio. Peserta didik gaya taktil akan senang untuk diminta untuk mengerjakan pekerjaan tangan atau mengotak-atik mesin perkakas. Demikianlah keragaman potensi kecerdasan ganda dan gaya belajar peserta didik yang harus medapatkan perhatian pendidik secara seimbang, tidak pilih kasih, tidak diskriminatif.
Masalah
Dapatkah sekolah dan gurunya memenuhi semua fasilitas untuk kepentingan mengasah kecerdasan ganda dan sesuai dengan gaya belajar secara proporsional? Itulah masalahnya. Sekolah yang besar, seperti di negeri Cina yang menurut mantan Direktur Pembinaan TK dan SD, memang dapat menyediakan segala macam fasilitas pendidikan yang diperlukan oleh peserta didik. Fasilitas olahraga yang diperlukan oleh sekian cabang olahraga, seperti senam, sudah tentu bulutangkis, atletik, permainan kecil, permainan besar, sampai dengan kolam renang dengan standar internasional. Setiap hari peserta didik melakukan kegiatan fisik seperti berlari secara rutin. Itulah sebabnya pemain olahraga dari Cina umumnya memiliki stamina yang prima. Juga segala macam fasilitas kesenian, baik seni lukis, seni tari, sampai dengan seni kontemporer. Demikian juga dengan fasilitas perpustakaan dengan koleksi yang lengkap untuk semua cabang ilmu pengetahuan dan teknologi. Belum lagi dengan guru-guru yang memiliki kompetensi sesuai dengan bidang kecerdasannya masing-masing. Inilah masalah terbesar untuk menerapkan konsep kecerdasan ganda dari segi proses belajar mengajar. Pemenuhan fasilitas yang diperlukan untuk mengembangkan potensi kecerdasan itu sudah tentu akan memerlukan anggaran yang teramat besar bagi pemerintah, khususnya juga bagi sekolah.
Di samping itu, dari segi pengalaman lapangan belum diperoleh data yang lengkap tentang kemampuan sekolah dan guru untuk dapat memberikan layanan bagi peserta didik sesuai dengan kecerdasan gandanya. Lagi pula, jika peserta didik hanya diberikan layanan untuk satu kecerdasan ganda yang mungkin dimilikinya, maka ada kekhawatiran peserta didik itu justru tidak memperoleh layanan untuk mengembangkan kecerdasan lainnya, karena hanya mementingkan satu atau dua kecerdasan. Padahal, kecerdasan yang tidak diberikan layanan itu ternyata justru merupakan kecerdasan yang sangat diperlukan untuk bekal hidup kelak.
Bertolak dari permasalahan tersebut, maka penerapan konsep kecerdasan ganda mungkin dapat diterapkan untuk sekolah-sekolah yang sudah mapan dari segi fasilitas pendidikan, memiliki guru yang sudah kompeten untuk menerapkannya. Sementara untuk sekolah-sekolah yang belum sepenuhnya dapat menerapkan, setidaknya sudah ada kesadaran dari sekolah dan para pendidik bahwa peserta didik adalah manusia unik, yang telah memiliki potensi kecerdasan ganda. Potensi kecerdasan itulah yang harus memperoleh perhatian dari sekolah dan para pendidik, sehingga penyelenggaraan pendidikan benar-benar mampu mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan tipe kecerdasan yang dimilikinya. Bukan mengabaikan, atau bahkan mematikannya. Education should allow children to reach their fullest potential in terms of cognitives, emotional and creative capacities (UNESCO). Pendidikan harus dapat memberikan kesempatan kepada peserta dididk untuk mencapai potensi tertingginya, baik dalam bidang kognitif, emonsional, dan kemampuan kreatifnya.
Refleksi
Teori Howard Gardner tentang kecerdasan ganda memang masih memerlukan kajian dan banyak pengalaman lapangan. Namun, setidaknya teori ini telah banyak mengingatkan kepada kita bahwa manusia memang diciptakan unik, dan oleh karena itu peserta didik harus memperoleh layanan pendidikan yang sesusai dengan tipe kecerdasannya. Sejak awal, para pakar telah mengingatkan bahwa peserta didik bukanlah “botol kosong” yang siap untuk diisi dengan semua macam ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan untuk meneruskan kehidupan di masa mendatang. Pendidikan dengan model “banking system” menurut istilah Paulo Freire ini memang telah menjadi kritik tajam terhadap model pendidikan sekolah dengan sistem klasikalnya. Demikian juga dengan metode ceramah, yang dewasa ini memang masih amat mendominasi metode dan pendekatan pembelajaran yang digunakan oleh para pendidik di negeri ini. Kata kuncinya adalah “kita tidak alergi dengan perubahan” selama perubahan itu untuk kemajuan dan perbaikan. Mudah-mudahan.
Tanggapan, saran, dan masukan terhadap tulisan tersebut dapat Anda sampaikan melalui e-mail me [at] suparlan [dot] com, atau website www.suparlan.com.
Bahan Bacaan:
- Marion J. Rice. 1986. Modul-modul Ilmu Pengetahuan Sosial Untuk Kurikulum dan Pengajaran. Malang: P3TK
- Muijs, Daniel dan Reynolds, David. 2001. Effective Teaching, Evidence and Practice. London: Paul Chapman Publishing.
- Suparlan. 2004. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Dari Konsepsi Sampai Dengan Implementasi. Yogyakarta: Hikayat.
*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com. Mantan Kepala Sekolah Indonesia Kuala Lumpu; mantan Kepala Bidang Pelayanan Teknis PPPG Matematika Yogyakarta (sekarang P4TK Matematika Yogyakarta).
Depok, Mei 2007