Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa dan perjuangan para pahlawannya
(Bung Karno)
He who has never learned to obey cannot be a good commander.
(Ia yang tidak pernah belajar untuk taat tidak dapat menjadi seorang pemimpin yang baik)
(Aristotle)
***
Pada tanggal 10 Desember 2012, saya telah menerima undangan dari Pengurus Yayasan Rawagede untuk hadir dalam acara Peringatan Ke-65 Peristiwa Tragedi Rawagede di Karawang. Satu kehormatan tersendiri, karena peristiwa itu sebenarnya peristiwa sejarah yang dapat menjadi bukti tentang gigihnya perjuangan rakyat Karawang-Bekasi dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negara tercinta Indonesia. Tragedi Rawagede inilah yang telah mengilhami Chairil Anwar dalam menciptakan puisi yang monumental bertajuk Karawang Bekasi. Acara peringataan itu dihadiri oleh Gubernur Provinsi Jawa Barat dan Bupati Karawang, 5 (lima) saksi sejarah yang masih hidup dan keluarganya, warga masyarakat Desa Balongsari, Kecamatan Rawamerta Kabupaten Karawang, para wartawan media massa, termasuk seorang wartawan dari Negeri Belanda.
Monumen dan Taman Makam Pahlawan Sampurna Raga
Acara peringatan Tragedi Rawagede dilaksanakan di depan Monumen dan Taman Makam Pahlawan Sampurna Raga yang lokasinya berada di Desa Balongsari, Kecamatan Rawamerta, Kabupaten Karawang. Acara yang sederhana telah dilakukan. Puisi karangan Bapak Sukarman, Ketua Yayasan Rawagede, dan puisi karangan Chairil Anwar telah dibacakan oleh siswa SMP di daerah ini. Suara heroik yang telah dilantunkan oleh siswa SMP itu telah membuat mata saya berkaca-kaca, karena membayangkan kegigihan para pejuang rakyat dalam ikut membela dan mempertahankan kemerdekaan tanah air. Sejarah singkat tentang peristiwa Rawagede telah dijelaskan oleh Bapak Sukarman, termasuk upaya untuk menggugat pemerintah Belanda untuk mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, dan meminta maaf atas pelanggaran HAM terhadap 431 orang warga Rawagede yang telah dibantai oleh tentara Belanda pada tanggal 9 Desember 1947, yang dikenal dengan peristiwa Subuh Berdarah di Rawa Gede.
Subuh Berdarah di Rawa Gede
Peristiwa Subuh Berdasar di Rawageda telah ditulis oleh Nano Tresna Artama pada Bulan September 2004. Tulisan itu telah menjelaskan jejak sejarah sebagai berikut:
Pertama, peristiwa Subuh Berdarah di Rawagede terjadi pada Hari Selasa, subuh, tanggal 9 Desember 1947. Pada saat itu hujan turun dengan derasnya bak dicurahkan dari langit membasahi bumi Rawa Gede, seakan bumi telah mengeluarkan air matanya, menangisi terjadinya peristiwa berdarah ini di desa itu.
Tatkala itu, Nyonya Kesah masih tertidur lelap bersama suaminya, bernama Sangkim. Tiba-tiba, terdengar suara letusan senjata beberapa kali. Letusan yang mula-mula terdengar pelan, lama-kelamaan telah terdengar semakin kerap dengan suara yang semakin keras, sehingga Kesah langsung bangun bersama suaminya, untuk mengetahui tentang apa yang terjadi di luar rumahnya. Secara berbisik lirih, suaminya menjelaskan kepada Kesah, mungkin ada pertempuran antara pejuang Badan Keamanan Rakyat (BKR) dengan serdadu Belanda.
Suara letusan senjata terdengar semakin dekat dengan rumah Nyonya Kesah. Pada saat itu pula, Nyonya Kesah dan suaminya telah mendengar suara percakapan, ucapan, maupun teriakan-teriakan orang menggunakan Bahasa Belanda, yang terdengar tak jauh dari rumahnya. Karena ingin mengetahui keadaan di luar rumah, Nyonya Kesah mencoba mengintip dari dalam rumah. Ia benar-benar kaget ketika melihat puluhan serdadu Belanda telah berada dekat dengan rumahnya. Nyonya Kesah merasakan, bakal ada kejadian besar di desanya.
Mencari Lukas Kustaryo
Suasanya Desa Rawa Gede yang semula tenang telah berubah total menjadi ramai akibat suara letusan senjata dan ratusan serdadu Belanda yang datang di desa itu. Selanjutnya, para serdadu Belanda menggedor keras-keras setiap pintu rumah penduduk, termasuk rumah Nyonya Kesah. Tentu saja, semua penghuni rumah ketakutan. Serdadu-serdadu Belanda itu berteriak keras dan bertanya, apakah ada yang tahu dimana Lukas berada. Namun, tak seorang pun di antara penduduk yang memberitahu keberadaan Lukas Kustaryo. Kalaupun ada yang tahu dimana Lukas, mereka tetap tidak akan memberitahu kepada Belanda, karena mereka ingin menunjukkan sikap mereka sebagai pejuang sejati.
Karena tidak seorang pun penduduk yang tahu di mana Lukas Kustaryo berada, pasukan Belanda menjadi marah dan terus memaki-maki para penduduk. Tindakan kasar serdadu Belanda tidak hanya itu. Serdadu Belanda juga menggeledah seluruh isi rumah, serta memaksa kaum lelaki keluar dari rumah masing-masing, meski hujan belum juga reda. Kaum lelaki yang keluar rumah berusia sekitar 15 hingga 55 tahun. Kelau mereka tidak keluar rumah, pihak Belanda tak segan-segan menyiksa, menganiaya hingga membunuh mereka di dalam rumah, meskipun saat itu serdadu-serdadu Belanda tidak menyerang kaum perempuan dan anak-anak di bawah umur.
Saat itu Nyonya Kesah jelas sekali mendengar suara tembakan dan jeritan orang di beberapa rumah tetangganya, yang dibunuh oleh Belanda karena tidak mau keluar rumah. Bahkan ia melihat sendiri, ada lelaki yang diseret-seret keluar rumah, serta dipukul dan ditendang oleh serdadu Belanda yang sebagian besar memakai topi jingle pat, serta memegang bedil lengkap dengan bayonetnya. Pada saat itu, para serdadu Belanda itu juga membawa sejumlah anjing herder, yang siap mengejar dan memangsa mereka yang lari dari cengkeraman Belanda.
Pagi itu, Sangkim, suami Nyonya Kesah, terpaksa harus keluar rumah mengikuti kemauan serdadu Belanda. Tak berselang lama, ratusan lelaki penduduk Rawa Gede berkumpul di jalanan, menanti apa yang akan diputuskan serdadu Belanda. Semula Nyonya Kesah mengira, suaminya hanya akan ditanya pejuang yang sedang dicari Belanda. Ternyata tidak. Dari dalam rumahnya, Nyonya Kesah mendengar teriakan, hardikan kasar serdadu-serdadu Belanda terhadap suaminya dan beberapa lelaki lainnya. Nampaknya, pihak Belanda meminta suaminya serta laki-laki lainnya berjalan menuju sebuah lokasi.
Selama lima jam lamanya, serdadu-serdadu Belanda telah menduduki Desa Rawa Gede. Suasana Rawa Gede saat itu benar-benar mencekam. Suara letusan senjata, jeritan ketakutan, dan tangisan menggema di mana-mana. Semua kejadian itu sudah menyatu, diiringi tetes air hujan yang turun terus menerus. Saat itu tak seorang pun berani keluar rumah. Semua yang ada dalam rumah dihinggapi perasaan takut terhadap Belanda. Tak lama kemudian, sebagian serdadu Belanda pergi meninggalkan Rawa Gede, setelah mereka tidak menemukan Lukas Kustaryo yang mereka cari. Sedangkan sebagian serdadu Belanda lainnya tetap berada di seputar Rawa Gede dengan tempat yang berpencar-pencar.
Ketika hujan sudah reda, sebagian besar penduduk telah keluar dari rumah, termasuk Nyonya Kesah. Mereka semua tentunya ingin segera mencari keluarganya yang dibawa Belanda.
Dalam situasi seperti itu, memang tidak mudah untuk menemukan kerabat dekat yang ditangkap Belanda. Sampai sore hari, barulah ada beberapa wanita yang berhasil menemukan suaminya, tapi sudah menjadi mayat. Para wanita itu tentu saja menangis sedih menyaksikan mayat sang suami.
Bagaimana dengan Nyonya Kesah? Untuk dapat menemukan suaminya, Nyonya Kesah terus menelusuri setiap pelosok Rawa Gede. Hingga Selasa malam, 9 Desember 1947, Kesah belum juga menemukan suaminya. Pada hari Rabu pagi, 10 Desember 1947, Nyonya Kesah telah menemukan banyak mayat bergelimpangan di sebuah tempat, penuh darah bekas luka tembak. Ia amati satu per satu mayat yang telah dibantai sadis oleh Belanda itu.
Akhirnya, Nyonya Kesah sangat terkejut begitu melihat bahwa salah satu mayat itu ternyata adalah mayat suaminya. Saat itulah ia menangis sejadi-jadinya. “Saya sedih sekali kalau ingat kejadian itu. Karena suami saya ikut dibunuh Belanda”, ujarnya mengenang kejadian mengenaskan itu. Hari itu menjadi hari yang paling menyedihkan kaum wanita Rawa Gede. Bayangkan, ratusan mayat lelaki bergelimpangan di 9 (sembilan) lokasi Desa Rawa Gede. Jumlah korban mencapai lebih dari 400-an orang pejuang yang telah dibunuh oleh militer Belanda, di samping warga masyarakat yang hilang ditelan banjir sungai. Salah satu lokasi yang banyak terjadi pembunuhan masal oleh Belanda adalah di daerah Sepur, sebuah lokasi yang di kawasan rel kereta api yang terletak di atas sungai Rawa Gede. Ratap tangis dan perasaan sedih para istri dan ibu bagitu menyayat. Sebab banyak di antara istri dan ibu-ibu itu yang kehilangan suami, ayah, saudara laki-laki, maupun anak-anak remajanya.
Menguburkan Mayat-Mayat di Pekarangan dan di Samping Rumah
Dalam kesedihan yang sangat memilukan itu, hampir semua wanita dan kerabat dekatnya menggotong mayat-mayat yang mati dibunuh Belanda, seraya menangis sejadi-jadinya di sepanjang jalan. Nyonya Kesah pun menggotong sendiri mayat suaminya. Sampai di rumah masing-masing, yang pertama-tama harus dikerjakan adalah menguburkan mayat-mayat itu. Karena situasi yang tegang, sedih dan perasaan takut ketahuan Belanda, mereka terpaksa bertindak serba darurat. Keadaan itu menyebabkan para penduduk menguburkan bayat di pekarangan rumah dan samping rumah, dengan kedalaman kuburan 50 sentimeter. Di samping itu, untuk penutup liang lahat, digunakan daun jendela, daun pintu, atau papan dipan karena keadaan darurat tersebut. Pada saat itu pula, mereka harus cepat-cepat menguburkan mayat, jangan sampai terlihat oleh serdadu Belanda. Sebab mereka kuatir, Belanda juga akan membunuh keluarga korban. Dalam kejadian itu, memang ada lelaki yang selamat. Hal itu dialami Sarkidan, orangtua Cakra. Sebagai saksi hidup, Cakra yang pada berusia 60 tahun, menuturkan bagaimana ayahnya menyelamatkan diri dari serangan Belanda. Saat Belanda menggedor pintu rumahnya, tutur Cakra, ayahnya tidak cepat panik. Kala itu ayah dan ibunya cepat mengambil inisiatif masuk ke lumbung padi. Keduanya akhirnya masuk ke dalam tumpukan gabah-gabah, sehingga tidak terlihat serdadu Belanda. Ketika Belanda menanyakan, kemana ayahnya, Cakra mengatakan tidak tahu. Untunglah Belanda tidak membunuh Cakra, karena saat itu usianya baru 7 tahun. Selain ayah kandung Cakra, ternyata ada juga beberapa lelaki yang lolos dari sergapan Belanda. Beberapa hari setelah kejadian itu, mereka pulang kembali ke Desa Rawa Gede. Sebagian besar dari mereka bersembunyi di Desa Pasir Awi, salah satu desa yang terdekat dengan Rawa Gede. Salah satu dari mereka bernama Surya Suhanda, yang saat itu masuh berumur 29 tahun.
Kisah Surya Suhanda
Bagi Surya Suhanda (82), pembantaian yang terjadi di Desa Rawa Gede, menjadi kisah tersendiri buatnya. Pagi itu, seperti penduduk lainnya, rumahnya digedor-gedor serdadu Belanda. Serta merta ia dan istrinya, Warni, langsung bangun, kemudian kaluar dari rumahnya. Mereka kaget karena yang datang adalah serdadu Belanda yang menanyakan keberadaan Lukas Kustaryo. Tetapi, meski Belanda sudah mendesak, memaksa mereka untuk bicara, mereka tetap mengatakan tidak mengetahui keberadaan Lukas Kustaryo.
Karena itulah, beberapa serdadu Belanda segera memaksa Surya keluar rumah. Sedangkan istrinya tetap di rumah, menanti harap-harap cemas soal nasib suaminya. Dalam guyuran hujan yang cukup lebat, Surya dan beberapa lelaki lain segera dibawa ke sebuah lokasi yang agak jauh dari pusat desa. Ia ingat, lokasi itu berada di dekat pepohonan dan semak-semak, yang jaraknya sekitar 100 meter dari sungai Rawa Gede. Surya Suhanda menuturkan bahwa di sana ia dibariskan dengan 8 lelaki lain. Pihak Belanda kemudian menanyakan satu per satu dari sembilan orang itu, soal Lukas Kustaryo. Namun, tak seorang pun yang mengetahui di mana Lukas. Saat itulah, salah seorang serdadu Belanda membisikkan sesuatu kepada serdadu Belanda lainnya. Nampaknya, ada rencana busuk di antara tentara Belanda itu. Ternyata dugaan Surya Suhanda benar. Seorang serdadu Belanda berteriak keras bahwa akan diadakan penembakan terhadap mereka. Mendengar hal itu, semuanya menjadi lemas, termasuk Surya. Pada saat akan diadakan eksekusi, prosisi Surya berada paling ujung dan terjauh dari serdadu Belanda. Tak lama, bencana itu pun terjadi. Dari jarak tujuh meter, Belanda menembak lelaki yang terdekat, dengan hitungan satu sampai tiga. Lelaki itu langsung tewas di tempat. Selanjutnya, giliran lelaki di sebelahnya, juga dengan hitungan satu hingga tiga. Nah, pada waktu itulah Surya tetap tenang dan tidak gugub. Saat Belanda tengah menghitung dan siap menembak lelaki di sebelahnya, dengan keberanian luar biasa, Surya nekat untuk lari dari rencana eksekusi Belanda. Meski Belanda sudah menembak beberapa kali ke arahnya, Surya luput dari tembakan. Karena diliputi rasa takut yang tinggi, Surya lari seperti dikejar-kejar bantu. Ia menelusuri sawah, semak belukar, serta beberapa rumah penduduk. “Malah tanpa sadar saya bisa meloncati pagar bambu satu setengah meter. “Kalau dalam keadaan sadar, tidak mungkin saya melewati pagar setinggi itu”, jelas Surya. Setelah melalui berbagai jalan, secepatnya ia menyebur ke sungai yang saat itu tengah banjir. Serdadu Belanda terus mengejar Surya seraya menembak ke arah sungai. Tapi, Tuhan telah menyelamatkan Surya, ia tidak terkena tembakan Balanda.
Saat itu Surya sudah menyelam ke dalam sungai. Namun serdadu-serdadu Belanda tetap penasaran mencari-cari Surya. Mereka terus menelusuri pinggir sungai, sambil melihat-lihat apakah Surya ada di dalam air. Sampai setengah jam lamanya, mereka tidak berhasil menemukan Surya. Pada waktu itu pihak Belanda jusru melihat banyak mayat-mayat lelaki yang hanyut di Sungai Rawa Gede. Pembantaian massal rupanya telah terjadi di rel kereta api di atas sungai Rawa Gede. Daerah itu biasa disebut dengan nama Sepur. Lantas di mana Surya? Menurut pengakuan Surya, pada waktu itu ia berhasil mengelabuhi Belanda dengan bersembunyi di atara encng gondok. Jadi, pada saat serdadu Belanda menembaki Surya ke tengah sungai, Surya dengan cepat menyelam ke bawah tanaman enceng gondok dekat pinggir sungai. Beruntung kala itu serdadu Belanda tidak melihatnya di antara enceng gondok. Beberapa jam lamanya, Surya berada di bawah enceng gondok, sambil sesekali mengintip ke permukaan tanah. Setelah merasa aman dan tidak ada lagi serdadu Belanda dekat sungai, Surya akhirnya keluar dari sungai. Ia kemudian mengungsi ke daerah pinggiran desa Rawa Gede. Di sana, ia menginap di rumah salah seorang penduduk, untuk beberapa hari. Ketika itu Surya memang belum berani pulang ke rumahnya. Sebab ia kuatir sewaktu-waktu Belanda akan datang lagi ke Rawa Gede.
Sekitar empat hari, Surya tidak pulang ke rumahnya. Karena melihat situasi sudah cukup aman dan rindu dengan istrinya, akhirnya Surya memberanikan diri pulan ke rumah. Sampai di rumah, istrinya langsung memeluknya penuh rasa haru. Istrinya tak mengira Surya masih hidup. Karena sebagian besar lelaki yang ditangkap Belanda, pulang-pulang sudah menjadi mayat, sebagaimana 431 rakyat yang telah dibantai oleh tentara Belanda di Rawagede.
Demikianlah sekelumit kisah sejarah yang terjadi di Rawagede pada tanggal 9 Desember 1947. Kisah sejarah itu telah terukir dalam Monumen dan Taman Makam Pahlawan Sampurna Raga di Rawagede, yang sekali lagi telah mengilhami penyair Chairil Anwar menulis puisi Karawang Bekasi. Sepenggal kisah tersebut diharapkan dapat dituturkan kembali dalam buku Jejak Sejarah Perjuangan Rakyat Karawang – Bekasi dalam Membela dan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.
Siapa Yang Telah Mengukir Sejarah?
Kehidupan adalah pilihan. Allah SWT telah memberikan peluang-peluang sebagai pilihan, apakah kita akan mengukir sejarah yang gilang-gemilang, ataukah sejarah yang suram. Dengan peluang-peluang sebagai pilihan tersebut, maka kitalah sesungguhnya yang telah dan akan mengukir sejarah. Jika kemudian 431 rakyat Karawang – Bekasi telah menentukan “lebih baik mati berkalang tanah, daripada harus mengikuti perintah tentara Belanda” Itulah pilihan yang telah menjadi ketetapan rayat Karawang – Bekasi pada tanggal 9 Desember 1947. Dengan demikian rakyat Karawang – Bekasi telah mengukir sejarah gemilang, yang dikagumi dan dihormati oleh seluruh anak bangsa di negeri ini. Kini jejak sejarah yang telah diukir oleh rakyat Karawang – Bekasi telah diperingati oleh anak-anak bangsa sebagai satu peristiwa sejarah yang gemilang, yang telah mengorbankan 431 orang rakyat yang telah rela mengorbankan nyawanya untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Refleksi
Setelah menghadiri peringatan pembantaian 431 rakyat Karawang – Bekasi oleh tentara kolonial Belanda, yang kini telah disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Sampurna Raga tersebut, sebagai anak bangsa yang telah menikmati berkah kemerdekaan sebagai hasil dari perjuangan dari para pahlawan, sudah barang tentu kita dapat mengambil pelajaran apakah kita akan mengukir sejarah sebagai pejuang ataukah sebagai pecundang. Kita sendirilah yang harus memilihnya, karena kita sendiri pulalah nanti di hari esok yang akan mempertanggung-jawabkannya. Insyaallah.
Depok, 15 Desember 2012.