Oleh Suparlan *)
Football is like life – it requires perseverance, hard work, sacrifice, dedication and respect for authority
Sepak bola adalah seperti kehidupan – ia memerlukan ketekunan, kerja keras, pengorbanan, dedikasi dan menghormati otoritas
(Vince Lombardi)Passion comes first, then success
(Anoname)
Di penghujung tahun 2010 ini, hampir semua orang Indonesia sibuk membicarakan sepak bola. Semua televisi tidak henti-hentinya menyiarkan berita kemenangan tim nasional sepak bola Indonesia atas tim sepak bola Filipina, yang selama ini Indonesia belum pernah menang. Luar biasa. Indonesia telah menang 1 – 0 berkat tendangan maut jarak jauh kaki kiri Kristian Gonzales, yang tidak lain adalah pemain naturalisasi asal Uruguai.
Memang benar. Sepak bola telah menjadi euforia di kalangan masyarakat. Ketika saya bertemu mantan Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Bapak Indrajati Sidi di BNI Senayan, pembicaraan ke arah olah raga karena beliau memakai sepatu dan jaket olah raga. Saya langsung mengemukakan tentang kehebatan Gonzales karena tendangan pisangnya dari jarak jauh, yang menjadi kunci kemenangan tim Indonesia atas Filipina. Beliau pun menjawabnya langsung “dengan kaki kiri lagi”. Saya pun terkekeh-kekeh, karena saya menjadi tahu bahwa beliau pun telah menonton juga pertandingan Timnas Indonesia melawan Filipina itu. Itulah sebabnya, saya yakin kemenangan tim nasional Indonesia benar-benar telah menjadi kebanggaan kita semua.
Sepak Bola dan Nasionalisme
Sepak bola ternyata mempunyai hubungan erat dengan upaya membangun nasionalisme. Semua orang mengaku menjadi orang Indonesia, dan menunjukkan dirinya sebagai orang Indonesia. Kaos dan jaket merah putih dengan lambang garuda laku keras terjual di pintu masuk Gelora Bung Karno. Semua penonton Indonesia telah mengukir garuda di dadanya. Hebatnya, setelah melepaskan tendangan pisangnya, secara spontan Kristian Ginzales mengacung-ngacungkan tangannya dan mencium lambang garuda di dadanya. Wuah! Hebat. Semangat nasionalismenya berada pada puncak yang tertinggi. Demikian juga para penonton dan seluruh warga negara Indonesia lainnya.
Euforia sepak bola ini memang sungguh luar biasa. Konon, karcis masuk Gelora Bung Karno telah ludes beberapa hari sebelum pertandingan final dimulai. Pembeli karcis antri empat sampai lima saf kira-kira sepanjang satu kilomenter. Padahal harga karcisnya telah dinaikkan harganya dua kali lipat. Sampai tulisan ini diturunkan, kita belum tahu apa yang harus dilakukan PSSI untuk memenuhi keinginan warga yang tidak dapat membeli karcis. Ini tidak main-main, karena para penonton adalah pendukung kemenangan tim nasional sepak bola Indonesia.
Tidak hanya itu. Pesantren As-Sidiqiyah Jakarta pun ikut mendukung kemenangan tim nasional. Pesantren ini telah mengadakan istighotsah akbar untuk mendukung kemenangan tim nasional ini. Ya, itulah. Semua komponen masyarakat Indonesia telah menunjukkan dukungannya demi kemenangan tim nasional sepak bola Indonesia. Sungguh, sepak bola telah menjadi alat persatuan bangsa.
Sebelas dari Dua Ratus Juta Penduduk Indonesia
Indonesia merupakan negara terbesar keempat di dunia setelah RRC, India, dan Amerika Serikat (www.indonesia.go.id). Menurut BPS, pada tahun 2010 ini Indonesia telah memiliki 235 juta jiwa. Kita pernah kesal, karena begitu susah memilih pemain sepak bola yang hanya berjumlah sebelas orang itu dari 235 juta penduduk itu. Yah, itulah yang namanya kekesalan. Maunya hanya menyalahkan, dan tidak mau mencoba melihat pelbagai aspek yang mempengaruhinya. Sebelas dari 235 juta adalah masalah kuantitatif, dan bukan hal yang bersifat kualitas. Sementara sebelas orang itu adalah mereka yang ditinjau dari aspek kualitasnya, masalah kecerdasan bodily kinesthetic menurut Howard Gardner dalam tuliasnnya tentang Multiple Intellegence. Pendidikan nasional kita pada saat ini memang masih mementingkan aspek kecerdasan intelektual, belum sampai kepada kecerdasan komprehensif sebagaimana visi Kementerian Pendidikan Nasional. Para pemain sepak bola yang hebat-hebat itu sebenarnya harus kita masukkan sebagai manusia yang cerdas, dari aspek bodily kinesthetic-nya. Sudah tentu didukung pula dengan kecerdasan dari aspek yang lainnya, yaitu kecerdasan spatial, kecerdasan emoosional, kecerdasan sosial, kecerdasan spiritual, dan sebagainya.
Jadi, memilih sebelas orang dari 235 juta penduduk Indonesia sudah tentu memerlukan proses yang terencana. Bahkan termasuk dalam proses pembangunan karakter bangsa, yang sekarang ini kita baru dibangunkan kembali untuk memperhatikan pendidikan karakter (character education), setelah kita menyadari bahwa bangsa ini telah demikian kacau akibat hilangnya nilai-nilai kejujuran pada sebagian anak bangsa.
Dalam hal nasionalime, kita diingatkan oleh kelahiran satu generasi hasil dari naturalisasi, yang karena kualitasnya dapat mengangkat martabat bangsa dengan sepak bola. Ketika generasi hasil dari naturalisasi ini mengenakan dan mencium garuda di dadanya, maka semua anak bangsa bergegas ingin mengenakan dan menciumnya juga.
Akhir Kata
Ya, sejak dahulu kita memang bhinneka tunggal ika. Berbeda itu, satu itu. Demikian arti harfiah motto atau cogan kata dalam pita yang digenggam erat oleh Sang Garuda. Kita diingatkan oleh Vince Lombardi bahwa “sepak bola adalah seperti kehidupan – ia memerlukan ketekunan, kerja keras, pengorbanan, dedikasi dan menghormati otoritas”.
*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.
Depok, 22 Desember 2010.