ArtikelPendidikan

Program Besar Pasca Standar Nasional Pendidikan

842 views
Tidak ada komentar

Oleh Suparlan *)

Sumber penyebab masalah yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini adalah karena lemahnya kejujuran, terutama dalam dunia pendidikan. Dari kepala sekolah, guru, sampai dengan stakeholder pendidikan pun banyak yang terlibat dalam ketidakjujuran
(Indra Jati Sidi, sopyan_mk@yahoo.com)

Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia
(Pasal 1 Butir 1 PP Nomor 19 Tahun 2005)

Standar nasonal pendidikan berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu
(Pasal 3 PP Nomor 19 Tahun 2005)

Pengantar

Saban malam hari penulis menyempatkan diri untuk membuka dan membalas atau mengomentari e-mail. Ada ratusan e-mail telah masuk ke e-mail penulis, bahkan ribuan jumlahnya. Banyak e-mail yang memang layak untuk di-delete atau malah di-spam saja. Namun banyak pula e-mail yang menurut pandangan penulis masuk dalam kategori baik dan bahkan sangat baik. Salah satu e-mail yang baik tersebut antara lain dikirim oleh sopyan_mk@yahoo.com, yang kemudian penulis kutip berikut ini.

“Tadi siang bertemu dengan para tokoh dan pakar pendidikan di Indonesia. Tak lama, datanglah salah seorang tokoh pendidikan, mantan Dirjen Dikdasmen, Bapak Indra Jati Sidi. Obrolan beralih untuk mendengarkan ide-ide beliau yang selalu bersemangat kalau membicarakan dunia pendidikan. Salah satu topik yang beliau bicarakan adalah mengenai kemunduran bangsa Indonesia. Menurut beliau, pada saat ini Indonesia tidak perlu lagi diganggu oleh Malaysia, China, Singapura, apalagi Amerika. Karena tanpa ada gangguan pun bangsa ini sudah mengarah kepada kehancuran. Menurut beliau, hal ini disebabkan oleh semakin lunturnya kejujuran, terutama dalam dunia pendidikan. Menurut beliau ada beberapa hal yang saat ini sangat jelas terlihat mengenai lemahnya kejujuran. Dari guru, kepala sekolah, murid, serta stake holder pun banyak yang terlibat dalam ketidak jujuran. Akibatnya kualitas pendidikan setinggi apapun masih bisa dipertanyakan. Bahkan beliau bercerita mengenai output suatu provinsi yang berdasarkan penelitian 47% siswanya lulus dengan cara yang ….”.

Makalah ini secara khusus idak akan membahas tentang masalah rendahnya kejujuran itu sendiri, tetapi malah ingin mencoba membuka jalan untuk menerapkannya melalui proses awal perencanaan pendidikan di negeri tercinta Indonesia. Jadi bukan teori tetapi tentang praktik kejujuran dalam perencanaan pendidikan, mencari data yang akurat untuk perencanaan pasca standar nasional pendidikan.

Terus terang, penulis dapat menyatakan bahwa proses penyusunan rencana dan program pembangunan pendidikan dewasa ini memang belum sepenuhnya tersentuh roda reformasi. Kasus percaloan anggaran adalah salah satu contoh yang menunjukkan belum adanya kejujuran sebagaimana dikemukakan oleh Indra Jati Sidi tersebut. Itu dilakukan oleh oknum merupakan dalih yang selalu menjadi tameng oleh ketidakjujuran itu. Jika pada tingkat suprasistem — pengemban fungsi budgeting — masih terjadi ketidakjujuran dalam proses penyusunan anggaran, apatah lagi di tingkat yang lebih rendah lagi. Pada tingkat pembahasan program dan anggaran, sebagai contoh lagi, sampai dengan di tingkat pelaksanaannya — sebagaimana telah disebutkan Indra Jati Sidi —, kondisinya kurang lebih juga masih setali tiga uang, alias sama saja, yakni menurunnya tingkat kejujuran. Tanpa harus menunggu lahirnya sistem yang akan mengatur semua itu, sudah barang tentu kita tidak harus berhenti untuk melahirkan program-program pendidikan diperlukan untuk membangun pendidikan, baik di tingkat nasional maupun di level yang lebih rendah.

Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan Standar Pelayanan Minimal (SPM)

PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang SNP menegaskan bahwa ”standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan nasional di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Standar inilah harus dicapai dalam pelaksanaan urusan pemerintahan bidang pendidikan. Adalah menjadi kewajiban pemerintah (pusat dan daerah) untuk memenuhi standar nasional tersebut. Tidak ada kecualinya. Kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan pendidikan di tanah air harus mengarah kepada tercapainya standar minimal tersebut. Akan lebih bagus jika ada pembagian tugas yang jelas tentang usaha pencapaian standar nasional tersebut. Sebagai ilustrasi, usaha pencapaian standar minimal sepenuhnya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah, sedang usaha penyelenggaraan pendidikan melebihi standar minimal menjadi kewajiban masyarakat, karena kita sama sekali tidak dilarang untuk mengusahakan urusan pendidikan melebihi dari standar minimal tersebut. Usaha penyelenggaraan pendidikan yang melebihi standar diusahakan oleh masyarakat, termasuk dunia usaha dan dunia industri (DUDI), dengan mengikuti model-model lembaga pendidikan yang telah dibangun oleh pemerintah (pusat dan daerah) yang dapat dijadikan contoh, seperti Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) sebagaimana diamanatkan dalam PP tersebut.

Sementara itu, SPM yang sebenarnya telah lahir jauh sebelum SNP, sebenarnya merupakan ketentuan tentang standar layanan minimal yang harus diupayakan oleh pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dan satuan pendidikan, yang tidak lain menjadi prasyarat untuk mencapai SNP. Adapun SNP yang telah ditetapkan dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 meliputi delapan aspek pendidikan sebagai berikut:

  1. standar isi;
  2. standar proses;
  3. standar kompetensi lulusan;
  4. standar pendidi dan tenaga kependidikan;
  5. standar sarana dan prasarana;
  6. standar pengelolaan;
  7. standar pembiayaan; dan
  8. standar penilaian pendidikan.

Semua SNP tersebut pada saat ini bahkan telah diterbitkan Permendiknasnya, misalnya Permendiknas Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses, Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan, dan permendiknas-permendiknas yang lainnya.

Di samping itu, PP Nomor 19 Tahun 2005 dengan tegas telah menjelaskan bahwa fungsi SNP adalah ”sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu” (Pasal 3) Fungsi inilah yang justru menjadi tantangan besar di masa depan untuk pegiat pendidikan, baik dari unsur birokrasi (dinas pendidikan) maupun dari unsur masyarakat (dewan pendidikan dan komite sekolah). Semua kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan pendidikan yang dirumuskan harus berdasarkan SNP. Berapa unit sekolah baru yang akan dibangun pada tahun ini, sebagai misal, juga harus berdasarkan data kesenjangan antara data yang akurat di lapangan dengan standar minimal yang diharuskan. Berapa ruang laboratorium sains yang harus dibangun, sebagai contoh yang lain, sudah barang tentu juga harus berdasarkan data akurat kesenjangan antara kondisi yang ada di lapangan dengan SNP yang diharapkan. Demikian seterusnya. Tidak ada kebijakan, program, dan kegiatan yang dimasukkan ke dalam RK-AKL (rencana kerja dan anggaran lembaga pemerintah) di setiap satuan kerja dalam lingkungan pembinaan Departemen Pendidikan Nasional.

Antara harapan dan kenyataan biasanya memang sering terjadi kesenjangan. Jika SPN merupakan harapan, maka kondisi sekolah pada saat ini adalah kenyataan yang ada lapangan. Kondisi satuan pendidikan di Indonesia dewasa ini sangat bervariasi. Beberapa di antara satuan pendidikan di Indonesia ada yang telah jauh melejit melampaui standar nasional, dan oleh karena itu satuan pendidikan seperti ini dapat disebut sebagai sekolah berstandar nasional, atau bahkan menuju standar internasional. Namun kebanyakan satuan pendidikan di negara kita justru masih jauh dari standar minimal yang telah ditetapkan. Ibarat berlari, untuk memenuhi standar minimal, sekolah ini terpaksa harus bernafas yang terengah-engah.

Gerakan Nasional SNP

Agar kita memiliki data yang akurat tentang kesenjangan antara SNP dan kondisi pendidikan kita di lapangan, maka pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, sebaiknya segera melakukan semacam gerakan nasional pemetaan atau pendataan kesenjangan antara kondisi satuan pendidikan kita dengan SNP yang harus dicapai. Gerakan nasional ini dapat menjadi semacam sensus standar nasional pendidikan, yang akan dijadikan data akurat secara nasional untuk mengubah kondisi pendidikan nasional menjadi pendidikan nasional yang diharapkan. Setiap Dinas Pendidikan di kabupaten/kota harus dapat menjadi leading sector dalam gerakan nasional ini. Penulis banyak memperoleh informasi dari daerah tentang contoh-contoh penerapan otonomi daerah yang sungguh sangat menggelikan. Ada camat yang diangkat dari kepala sekolah. Dengan demikian, sehabis menghadiri rapat di kecamatan, sekretaris kecamatan dan para pegawainya menjadi tertawa ”cekikikan” lantaran seakan menjadi siswa SMA kembali, karena rapat di kecamatan kali ini dipimpin oleh camat yang berasal dari mantan kepala sekolah. Sebaliknya, ada pula kepala dinas pendidikan yang berasal dari kepala dinas sosial. Para pegawai dinas pendidikan terasa aneh karena telah diberlakukan sebagai pengurus panti asuhan. Itulah beberapa contoh otonomi daerah yang disebut ”kebablasan”. Satu contoh lagi, konon BSNP telah mengirimkan analisis hasil UN kepada para kepala dinas pendidikan. Ternyata, data itu hanya menjadi dokumen yang mati di dalam laci. Ternyata, dokumen penting itu harus segera dikomunikasikan dan disosialisasikan oleh dinas penddiikan kepada semua sekolah, sehinga kepala sekolah menggunakannya sebagai alat evaluasi untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.

Kembali kepada gerakan nasional pemetaan dan pendataan kesenjangan antara SNP dengan kondisi di lapangan, dinas pendidikan harus didorong untuk melaksanakan kegiatan itu. Data dan informasi yang dihasilkan oleh dinas pendidikan kabupaten/kota menjadi bahan utama penyusunan RPDK (Rencana Pembangunan Dikdasmen tingkat Kabupaten) yang sekarang ini menjadi pola penyusunan rencana dan program di Sekretariat Direktorat Jenderal Manajemen Dikdasmen. Pekerjaan besar ini sudah barang tentu memerlukan bantuan dan dukungan dari semua pemangku kepentingan, antara lain adalah dengan dewan pendidikan dan komite sekolah.

Peran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah

Salah satu peran Dewan Pendidikan yang harus diemban dalam meningkatkan layanan pendidikan adalah memberikan pertimbangan kepada pemerintah daerah. Demikian juga halnya dengan Komite Sekolah yang juga memiliki peran yang sama untuk memberikan pertimbangan kepada sekolah. Pertanyaannya, apa yang harus diberikan pertimbangan, jika mereka tidak memiliki substansi yang harus disampaikan kepada pemerintah daerah atau sekolah? Substansi itu antara lain adalah tentang data dan informasi tentang kondisi pendidikan di daerahnya?

Apa yang harus kita lakukan jika diketahui bahwa banyak pejabat sruktural di dinas pendidikan ternyata tidak memiliki kualifikasi akademis “pendidikan”. Apa yang harus kita lakukan jika kemudian diketahui bahwa sebagian besar jumlah siswa setiap kelas ternyata lebih dari 40 orang? Berapa, dimana, dan seterusnya. Semua itu terkait dengan data dan informasi yang akurat. Gerakan nasional inilah yang kita maksudkan untuk mengetahui kesenjangan antara kondisi di lapangan dengan SNP yang diharapkan.Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah harus dapat menjadi bagian yang tak terpisahkan dari usaha besar ini.

Pemerintah daerah kabupaten/kota harus membentuk kelompok kerja (pokja) pemetaan dan pendataan kesejanjangan kondisi pendidikan dengan SPN, yang anggotanya adalah semua pemangku kepentingan di tingkat kabupaten/kota, yaitu: (1) Dinas Pendidikan, (2) Bappeda, (3) DPRD, (4) BPS, dan (5) Dewan Pendidikan. Sementara pemerintah daerah provinsi melakukan hal yang sama sesuai dengan kewenangannya, setidaknya bersifat koordinatif yakni untuk membuat rekapitulasi data yang telah diperoleh oleh kelompok kerja tingkat kabupaten/kota. Sedangkan di tingkat satuan pendidikan sekolah/madrasah, kelompok kerjanya meliputi pemangku kepentingan, yaitu: (1) kepala sekolah dan tenaga kependidikan, (2) dewan pendidik, dan (3) komite sekolah. Semua pemangku kepentingan tersebut harus dilibatakan dalam usaha besar untuk mengadakan kegiatan pemetaan dan pendataan kesenjangan kondisi pendidikan dengan standar nasional pendidikan. Tugas pokja tersebut antara lain adalah: (1) menyusun desain dan format-format pemetaan dan pendataaan, (2) menyusun instrumen pendataan, (3) melaksanakan pendataan, (3) melakukan pengolahan data, dan (4) melaporkan hasil pendataan kepada institusi yang terkait, termasuk kepada Ditjen Mandikdasmen Depdiknas dan juga kepada publik, sebagai bentuk akuntabilitas publik.

Format Pemetaan Standar Pendidikan Nasional

Berikut ini dilampirkan 2 (dua) contoh format pemetaan standar pada satuan pendidikan sekolah dasar dan menengah, yaitu: (1) contoh format pemetaan standar kesenjangan standar proses, (2) contoh format pemetaan standar kesenjangan standar kepala sekolah sebagaimana terlampir. Format-format lainnya dapat dikembangkan lebih lanjut untuk standar-standar yang lain.

Pasca Standar Nasional Pendidikan

Kelahiran SNP harus kita sambut dengan semangat baru untuk siap melaksanakan tugas-tugas besar yang menghadang di hadapan kita. Depdiknas, dinas pendidikan, dan semua pemangku kepentingan pendidikan, termasuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tidak hanya menunggu bola, tetapi harus secara proaktif berdiri di garis terdepan untuk meningkatkan mutu pendidikan di tanah air. Perlu difahami bahwa SPN bukan barang mati yang tidak berubah, karena SPN juga harus disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global (Pasal 2).

Tujuan pemberlakuan SNP pada hakikatnya adalah menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.(Pasal 4). Perumusan SNP memang berat dan telah dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama, bahkan melebihi waktu yang ditentukan dalam PP, yakni dua tahun (Pasal 96). Pelaksanaan PP akan jauh lebih berat dan lebih lama lagi. Itulah sebabnya, maka pasca standar nasional pendidikan semua pemangku kepentingan, termasuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah mempunyai tugas berat, yakni mengadakan segera kegiatan pemetaan dan pendataan kesenjangan kondisi pendidikan dengan SNP, sebagai dasar untuk merencanakan pembangunan pendidikan di masa mendatang.

Refleksi

Upaya untuk memeuhi standar nasional pendidikan menjadi kewajiban pemerintah (pusat dan daerah), tidak terkecuali semua pemangku kepentingan pendidikan, termasuk Dewan Pendidikan Sesuai dengan perannya, Dewan Pendidikan tidak bisa hanya berpangku tangan terkait dengan terbitnya semua Permendiknas tentang standar nasional pendidikan. Dewan Pendidikan memang harus menyingsingkan lengan baju dan saling bergandengan tangan institusi terkait, khususnya Dinas Pendidikan untuk melaksanakan amanat bangsa dan negara untuk mencerdaskan kehidupan.

*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.

Download Lampiran

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts

Artikel

Penumbuhan Budi Pekerti

Oleh: Suparlan *)   Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa, “Pendidikan nasional berfungsi…