Oleh Suparlan *)
Pembelajaran matematika adalah latihan mental yang terbaik untuk menyelesaikan masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari
(Plato, dalam Indra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, hal. 58)
Pelaksanaan Ujian Akhir Nasional (UAN) masih akan berlangsung beberapa bulan lagi dalam tahun pelajaran 2004 ini. Namun demikian, tanggapan tentang UAN sudah mulai sedikit memanas lagi, bak memanasnya kegiatan kampanye Pemililu 2004. Di Kalimantan para siswa turun ke jalan menuntut penundaan Kepmen No. 157 tentang standar kelulusan UAN (SCTV, 12 Maret 2004). Apa pun respon itu sudah barang tentu harus dipandang sebagai satu bentuk aspirasi dan partisipasi aktif masyarakat yang memang amat diperlukan sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan.
Tulisan singkat ini mencoba untuk membahas kembali tentang dan sekitar UAN matematika, utamanya dalam kaitannya dengan aspek nilai kejujuran, yang notabene merupakan salah satu nilai yang diharapkan lahir dari proses pembelajaran matematika.
Tentang Ujian Akhir
Ujian akhir pada hakikatnya merupakan satu bentuk tagihan proses pembelajaran yang dilaksanakan pada akhir satu satuan pendidikan tertentu, misalnya sekolah dasar (SD) sampai dengan sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK) serta yang sederajat. Satu bentuk tagihan yang bernama ujian akhir ini harus dipandang sebagai satu satuan kegiatan yang melekat pada proses pembelajaran itu sendiri. Tidak ada yang namanya pembelajaran yang tidak diikuti dengan proses penilaian pendidikan. Dari aspek guru, kompetensi ‘menilai hasil belajar’ merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh guru. Dengan demikian, sistem evaluasi pendidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pembelajaran dan sekaligus sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kompetensi guru.Tidak ada perbedaan pandangan mengenai konsep ini. Perbedaan pandangan pada umumnya terkait dengan (1) penanggung jawab pelaksanaan ujian akhir (sekolah atau negara; penyelenggaran atau institusi independent), (2) mata pelajaran apa saja yang akan diujikan (teori, praktik, atau kedua-duanya; ranah apa saja yang diuji), dan (3) standar kelulusan yang diberlakukan.
Dilema Standar Kelulusan
Terbitnya Kepmen 157 tentang standar kelulusan sebenarnya dimaksudkan sebagai upaya yang sangat positif dan inovatif untuk meningkatkan mutu lulusan. Kelulusan yang tidak ditentukan berdasakan satu standar kelulusan sama artinya dengan tidak ada ujian sama sekali. Untuk apa diadakan ujian kalau tidak menggunakan standar kelulusan? Kelulusan itu hanya berarti sebagai alat untuk mencari ijazah, bukan menguasai kompetensi mata pelajaran yang diajarkan. Itu namanya bohong belaka. Standar kelulusan ini diperlukan untuk mengukur apakah proses pembelajaran telah dapat mencapai kompetensi yang telah ditentukan. Dengan kata lain, tanpa standar kelulusan sama artinya dengan tanpa ujian. Tanpa ujian sama artinya dengan tanpa pembelajaran, karena ujian merupakan bagian yang terpisahkan dengan proses pembelajaran. Masalah yang terjadi dalam proses kelulusan adalah bukan hanya karena tidak adanya standar kelulusan, melainkan juga apakah standar kelulusan yang ada itu telah diterapkan dengan penuh kejujuran dari semua pihak. Masalah ‘katrol nilai’, ketentuan tentang satu mata pelajaran tertentu harus bernilai 6 (enam), masalah sogok menyogok nilai dan kejujuran guru dalam memberikan nilai secara adil dapat menjadi kondisi yang merusak penerapan standar kelulusan itu sendiri. Padahal dari aspek upaya peningkatan mutu pendidikan, standar kelulusan memang merupakan satu keniscayaan.
Lebih dari itu, selaras dengan konsep belajar tuntas (mastery learning), pertanyaan yang muncul adalah apakah proses pembelajarannya telah dilaksanakan secara baik, sehingga satu bentuk tagihan berupa ujian itu telah dapat dilakukan secara wajar. Kalau proses pembelajarannya belum dilaksanakan secara tuntas, maka pada hakikatnya tagihan itu sebenarnya belum wajar untuk dilaksanakan. Hal ini terkait dengan masalah orientasi pendidikan yang konon terlalu berorientasi kepada keluaran (output) dan kurang berorientasi kepada proses (process). Oleh karena itu, maka tagihan berupa ujian akhir yang akan dilaksanakan pada akhir tahun pelajaran memang menuntut adanya proses pembelajaran yang efektif. Tanpa proses pembelajaran yang efektif, standar kelulusan yang ditetapkan hanya akan menjadi bumerang bagi sekolah. Adanya anak-anak SMA yang turun ke jalan untuk menuntut penundaan penerapan standar kelulusan dapat menjadi indikasi masih belum efektifnya proses pembelajaran di sekolah. Dalam hal ini, cerita kehidupan Thomas Alva Edison dapat menjadi bahan pelajaran yang sangat baik. Thomas Alva Edison yang dianggap sebagai ‘anak yang bodoh dan malas’ di kelas oleh gurunya ternyata amat bertolak belakang dengan karya-karya hebatnya. Untuk ini, kelas jangan sampai menjadi ‘penjara bagi anak’. Sebaliknya, kelas diharapkan dapat menjadi tempat yang menyenangkan bagi peserta didik.
Jadi, penerapan standar kelulusan dapat menjadi dilema yang merugikan bagi upaya peningkatan mutu pendidikan. Di satu sisi, standar kelulusan memang menjadi keniscayaan untuk meningkatkan mutu lulusan. Namun dari sisi lain penerapan standar kelulusan yang tidak dilandasi oleh adanya pembelajaran yang efektif di sekolah juga akan menyebabkan banyaknya anak yang tidak lulus. Dengan kata lain, untuk keluar dari dilema itu perlu adanya kebijakan-kebijakan sebagai berikut: (1) adanya standar kelulusan merupakan kenicayaan, (2) penerapan standar kelulusan yang rasional dan menjadi paket yang tak terpisahkan dengan proses pembelajaran yang efektif.
Mata Pelajaran Yang Diujikan dan Standar Kelulusannya
Mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Akhir Nasional (UAN) sejak tahun 2003 yang lalu adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Kebijakan tentang tiga mata pelajaran yang diujikan secara nasional, atau dengan kata lain tidak semua mata pelajaran diujikan secara nasional, boleh jadi sebagai satu kelemahan tersendiri, karena menimbulkan kesan diskriminasi atau adanya mata pelajaran yang penting dan kurang penting. Dalam kaitan ini, muncullah usulan agar mata pelajaran sains juga diujikan dalam UAN, bahkan mungkin juga mata pelajaran yang lain, termasuk mata pelajaran Pendidikan Agama.
Ada masalah lain yang muncul dari pelaksanaan UAN ketiga mata pelajaran tersebut terkait, terutama mengenai ujian praktik untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Sementara untuk mata pelajaran Matematika tidak diadakan ujian praktik. Konon ujian praktik dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris ternyata dapat dimanfaatkan sedemikian rupa untuk mendongkrak nilai kedua mata pelajaran tersebut. Kalau ini benar, maka justru matematika perlu bersukur karena matematika masih menghargai nilai kejujuran, karena tidak ikut-ikutan mendongkrak nilai. Dalam hal ini, guru Matematika SMP yang mengikuti pelatihan di PPPG Matematika menyampaikan usulan agar penerapan standar kelulusan dapat dipertimbangkan lagi untuk ditunda atau diturunkan, yakni jangan naik secara drastis dari 3,01 menjadi 4,01, melainkan dari 3,01 menjadi 3,50 saja, dengan catatan bahwa standar kelulusan itu dapat diterapkan dengan menggunakan prisip kejujuranr. Atau mungkinkah dapat diterapkan standar ganda, yakni standar nasional yang berlaku secara nasional, dan standar daerah, yang akan diterapkan bagi sekolah-sekolah yang belum memenuhi tuntutan standar kelulusan nasional.
Bagi mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, pemberlakuan standar tersebut masih dapat dipertimbangkan karena dengan adanya ujian praktik tersebut kemingkinan telah ikut mendongkrak nilai peserta didik. Jika pelaksanaan ujian praktik tersebut dilakukan dengan benar-benar menjunjung rasa kejujuran, maka ujian praktik masih dapat dilakukan. Namun, jika sejak awal pelaksanaan ujian praktik tersebut telah dikontaminasi dengan tujuan yang tidak menjunjung rasa kejujuran, maka ujian praktik itu akan menjadi apa yang disebut dengan ‘pepesan kosong’.
Ujian dan Kecerdasan Ganda
Ujian pada hakikatnya harus dapat digunakan – setidaknya – untuk melihat potensi kecerdasan peserta didik. Dalam hal kecerdasan ganda ini, Howard Gardner mencoba membuat klasifikasi tujuh atau delapan tipe kecerdasan ganda (multiple intelligence), yang sering dibuatkan akronim SLIM n BIL, yakni: (1) spatial, (2) language, (3) interpersonal, (4) music, (5) naturalist, (6) bodily-kinesthetic, (7) intrapersonal, dan (8) logic-mathematics. Dengan demikian, maka penerapan standar kelulusan yang terlalu tinggi sudah barang tentu tidak dapat diterapkan secara umum untuk seluruh mata pelajaran. Peserta didik yang tidak memiliki kecerdasan logis-matematis, sebagai misal, akan terasa berat untuk memenuhi standar terlalu tinggi untuk matematika. Sebaliknya, mereka yang memiliki kecerdasan bahasa akan merasa terlalu mudah untuk memenuhi standar kelulusan yang rendah untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. Demikian pula dengan mata pelajaran yang lain. Jadi, penerapan standar kelulusan untuk Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika yang tinggi akan merugikan peserta didik yang memang tidak memiliki kecerdasan bahasa dan matematika. Demikian juga yang lainnya. Itulah sebabnya standar kelulusan sebaiknya ditentukan berbeda-beda sesuai jurusan atau program studinya masing-masing. Secara umum, dapat dikatakan bahwa cara penilaian yang tidak jujur, misalnya dilakukan dengan cara dongkrak nilai, merupakan satu bentuk pengingkaran adanya potensi kecerdasan yang berbeda-beda antara satu peserta didik dengan peserta didik yang lain.
Akhir Kata
Akhirnya, berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat ditarik benang merah beberapa kesimpulan sebagai berikut: (1) pelaksanaan ujian harus menggunakan standar kompetensi, (2) kejujuran merupakan prasyarat yang harus dipenuhi untuk melaksanakan ujian akhir, termasuk menerapkan standar kelulusan yang telah disepakati; terlebih-lebih untuk mata pelajaran matematika, kejujuran harus menjadi landasannya, karena salah satu nilai yang harus dihasilkkan dari proses pembelajaran adalah menghasilkan peserta didik yang jujur, selain juga mengasilkan peserta didik yang dapat berfikir kritis dan rasional, (3) penerapan standar kelulusan harus dilandasi oleh proses pembelajaran yang efektif di sekolah, (4) penerapan standar kelulusan harus dipandang sebagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan bukan sebaliknya, (5) jika dalam penerapan standar kelulusan tersebut masih belum pas untuk daerah-daerah tertentu, maka hal itu harus diselesaikan secara bijak, bukan dengan cara demo yang justru dapat menjadi pemicu rendahnya mutu pendidikan. Insyaallah.
*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com. Kepala Bidang Pelayanan Teknis, PPPG Matematika Yogyakarta.
Yogyakarta, 12 Maret 2004