1. Sering kita mendengar orang yang sedang mengeluh berantai “nasib, oh nasib”. Nasib kita memang sampai segini. Nasib kita tidak dapat kita perbaiki lagi. Ya, seginilah nasib itu. Tidak ada daya dan usaha untuk memperbaikinya. Bahkan, ada sebuah lagu yang telah melantunkan lagu “Betapa malang nasibku, setelah ditinggal Ibu” dan seterusnya. Ibarat dunia sudah kiamat!
2. Oleh karena itu, timbullah pertanyaan dalam benak kepala dan hati kita! Sesungguhnya, siapakah sesungguhnya yang menentukan nasib itu?
3. Padalah Allah Swt telah mengingatkan kepada kita bahwa “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, jika kaumi itu sendiri tidak akan mengubahnya”. Inilah dalil nakhli yang menjelaskan kepada kita bahwa, sesungguhnya nasib itu ada di tangan kita sendiri. Oleh karena itu, tidak sepatutnya kita hanya suka mengeluh dan mengeluh sepanjang hari. Padahal, apa yang harus terjadi pada hari-hari itu sepenuhnya tergantung kita sendiri.
4. Setiap orang punya cerita, dan siapakah sesunggguhnya yang menulisnya? Kita sendirilah menulisnya, yang mengukirnya tentang cerita itu, apakah menjadi cerita yang indah ataukah cerita yang sebaliknya.
5. Ibarat cerita yang digambarkan dalam sebuah layar lebar dunia, kita adalah tokoh atau aktor yang melaksanakan cerita drama itu. Allah Swt adalah maha pengatur cerita, dan Allah Swt maha penentu cerita, namun penentuan cerita itu sesungguhnya kita sendiri yang melakukannya. Sekali lagi, kembali kepada dalil nakhli tersebut, Allah mengingatkan kepada kita bahwa “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, jika kaum itu tidak mengubahnya sendiri’.
6. Kata “tidak akan” dalam kalimat tersebut dapat dimaknai bahwa sebenarnya nasib itu ada di tangan kita sendiri. Bukan oleh orang lain, meski Ibu dan Ayah kita sendiri. Apalagi oleh orang lain lagi.
7. Berdasarkan dalil nakhli itu sudah sepatutnya bahwa setiap kita memiliki rasa percaya yang tinggi bahwa kita sendirilah yang harus membuat nasib kita. Saking percaya dirinya ini, orang Korea malah memiliki kepercayaan dalam kata-kata bijaknya bahwa “Orang sukses tidak santai, orang santai tidak sukses” yang dalam Bahasa Korea disebutkan “Cheng Ren Bu Zi Zei, Zi Zei Bu Cheng Ren”.
8. Kenapa judul “Nasib” ini dikaitkan dengan pepatah Korea? Belajar dari mana pun tidak ada salahnya. Bukankah kita wajib menuntut ilmu, meski ke negara Cina sekali pun.
9. Dalam kaitan ini, umat Islam sesungguhnya telah memiliki fondasi yang kuat tentang apa sesungguhnya nasib tersebut. Namun, yang benar-benar telah melaksanakannya sesungguhnya umat lain. Untuk ini, maka refleksi diri (muashabah) harus menjadi bagian penting untuk melaksanakan syariat yang sebenarnya. Amin.
Popular Posts
Other Posts
Sudahkan Kita Ber-Idul Adha?
SUDAHKAN KITA BER-IDUL ADHA? Oleh Suparlan*) Setiap kali memperingati Idul Qurban, Takbir sudah dikumandangkan,…
Wow, Dosen, Wow
Akhirnya menjadi dosen. Inilah yang barangkali harus penulis tekuni saat…
Warung Kejujuran dan Kelahiran Inovasi
Ketika penulis menjadi guru di Pamekasan, Madura, pada tahun 70-an,…
Puisi Untuk Guru
*** Mengajar berarti belajar lagi (Oliver Wendell Holmes) Guru biasa memberitahukan Guru baik menjelaskan Guru ulung memeragakan Guru…
Sepuluh Unsur Karakter Utama Menurut Orang Yunani
Tulisan singkat ini dipetik dan disarikan dari artikel Sanford N.…
Kultum 2: Amal
1. Puasa hari pertama tahun 2014 ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Bapak Muhammad Nuh, berkenan menyampaikan taushiah. Ada…