Artikel

Tiga Belas Tahun Usia Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah

173 views
Tidak ada komentar

***
We trust teachers. That is very important, and it’s not easy to realize in all countries. The culture of trust we have in Finland
(Reijo Laukkanen, Finnish National Board of Education in Helsinki)
***

Tanggal 2 April 2002, tiga belas tahun yang lalu, Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah telah lahir. Oleh karena itu, tanggal 2 April dapat disebut sebagai hari kelahiran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Oleh karena itu kita sepatutnya dapat mengucapkan selamat kepada Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Lembaga representasi masyarakat dalam bidang pendidikan ini dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002. Usia tiga belas tahun bagi suatu organisasi memang belum dapat dikatakan dewasa, apalagi tua. Tetapi usia tersebut setidaknya dapat digunakan sebagai satu tonggak evaluasi tentang apa yang telah terjadi dalam usia tersebut. Tulisan singkat ini dimaksudkan sebagai evaluasi terhadap lembaga tersebut.

Sama-sama Bernama Dewan

Keberadaan Dewan Pendidikan sering dibanding-bandingkan dengan lembaga legislatif (DPR). Setidaknya sama-sama menggunakan nama “dewan”. Keberadaan Dewan Pendidikan tentu saja tidak sama dengan DPR, karena keberadaan DPR secara macro system setara dengan lembaga eksekutif (Presiden) dan lembaga yudikatif (pengadilan) dalam konsep negara demokrasi. Ketiga lembaga tersebut keberadaannya memang merupakan amanat “trias politika” dalam mengurus pemerintahan negara, setidaknya untuk membedakan sistem pemerintahan diterapkan bukan negara otoriter, tetapi negara demokrasi. Kekuasaan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Urusan pemerintahan dalam bidang pendidikan dieksekusi oleh kementerian, dengan nomenklatur bernama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Menteri yang menangani nomenklatur ini menjadi tangan kanan atau atas nama Presiden. Sedang legislatif mempunyai fungsi untuk ikut membahas anggarannya, serta mengawasi pelaksanaan anggarannya. Sementara pihak yudikatif adalah pihak yang melakukan pengadilan jika dalam pelaksanaan urusan pendidikan tersebut telah terjadi penyimpangan. Pejabat yang mengeksekusi kementerian inilah yang disebut eksekutif, dan itulah yang disebut birokrasi pemerintahan yang mengurus pendidikan dan kebudayaan.

Lalu, bagaimana dengan lembaga Dewan Pendidikan jika dibandingkan dengan ketiga lembaga tersebut? Dewan Pendidikan lahir sebagai “anak desentralisasi”, sementara itu eksekutif, legislatif, dan yudikatif lahir sebagai anak “Trias Politika”. Dengan demikian Presiden, Lesislatif (DPR), dan Yudikatif masuk kategori macro system, sementara Dewan Pendidikan masuk dalam kategori micro system, karena lahir setelah konsep desentralisasi pemerintahan untuk melaksanakan urusan pemerintahan tersebut. Memang sama-sama menangani dalam urusan pemerintahan dalam bidang pendidikan. Sebagai representasi dari masyarakat, Dewan Pendidikan memang bukan termasuk unsur birokrasi, bukan eksekutif. Meskipun bukan eksekutif, eksistensinya tidak dapat dinafikan, karena fungsi dan tugasnya untuk mewakili masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Oleh karena itu, fungsi dan tugas Dewan Pendidikan dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan dengan fungsi dan tugas sebagaimana diatur dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Lembaga nonbirokrasi ini di tingkat nasional disebut Dewan Pendidikan Nasional, di tingkat provinsi disebut Dewan Pendidikan Provinsi, dan di tingkat kabupaten/kota dinamakan Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota. Ada pun Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikan sekolah.

Itulah sebabnya, lembaga Dewan Pendidikan lahir dalam upaya implementasi penyelenggaraan urusan pemerintahan (dalam hal ini urusan pendidikan). Dewan Pendidikan menjadi representasi masyarakat dalam bidang pendidikan, di tingkat penyelenggaraan pendidikan. Sementara DPR yang menjadi representasi rakyat dalam urusan pemerintahan yang lebih luas, dalam bidang yang lebih luas, di tingkat macro system, tentu saja termasuk dalam urusan pendidikan juga.

Tentang Desentralisasi

Kebijakan desentralisasi merupakan lompatan tajam dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pemerintah dan masyarakat menjadi ujung tombaknya. Dewan Pendidikan lahir sebagai anak desentralisasi tersebut berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999. Semangat UU inilah yang telah mendorong kelahiran UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang kemudian melahirkan kebijakan Dewan Pendidikan, otonomi pendidikan di tingkat Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, yang pada gilirannya melahirkan sistem pengelolaan pendidikan menjadi manajemen berbasis sekolah (MBS), Komite Sekolah/Madrasah, dan kebijakan sejenis di tingkat satuan pendidikan sekolah.

Menurut pengamat politik dan pemerintahan, kelahiran desentralisasi tidak didasarkan pada kehendak politik (political will) yang tulus dari pemerintah, melainkan lebih karena “respon untuk meredam munculnya tuntutan dari beberapa bagian wilayah Indonesia yang hendak memisahkan diri NKRI” (Krisno Hadi, http://ilmupemerintahan.blogspot.com), padahal sebenarnya kelahiran desentralisasi dimaksudkan untuk memberikan otonomi (termasuk dalam urusan pendidikan) kepada Pemerintah, yang dalam praktiknya pemberian kewenangan lebih kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, karena kalau diberikan kepada provinsi, maka khawatir akan terjadi negara serikat. Dus, khawatir terjadi perpecahan NKRI.
Terkait dengan implementasi desentralisasi, kelahiran Dewan Pendidikan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat dalam urusan pendidikan. Itulah sebabnya saat kelahirannya Pasal 186 PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dinyatakan bahwa “Masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan melalui berbagai komponen masyarakat, pendidikan berbasis masyarakat, dewan pendidikan, dan komite sekolah”. Sejalah dengan ketentuan tersebut, maka dalam Pasal 192 (2) dijelaskan bahwa “Dewan Pendidikan berfungsi dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota”. Dalam konteks ini, maka keberadaan Dewan Pendidikan sering dibandingkan dengan keberadaan DPR. Bahkan dalam Kepmendinas Nomor 044/U/2002 Dewan Pendidikan memili empat peran yang mirip dengan peran DPR. Dalam Kepmendiknas tersebut, Dewan Pendidikan dinyatakan dengan tiga peran, bahkan empat peran, yakni 1) sebagai advisory agency (memberikan pertimbangan), 2) sebagai supporting agency (memberikan dukungan), dan 3) controlling agency (melakukan pengawasan), serta 4) mediatory agency (menjadi mediasi antara pemerintah dengan masyarakat).
Titik Balik Desentralisasi
Implementasi desentralisasi ternyata mempunyai dampak negatif yang berat. Beberapa di antaranya menjadi dampak yang serius. Misalnya Pemerintah Kabupaten/Kota telah berjalan sendiri-sendiri dan tidak “patuh” kepada Pemerintah Provinsi. Dengan nada yang serius implementasi ini sering dinyatakan sebagai terjadinya “raja-raja kecil” yang boleh jadi dapat menjadi biang terjadinya korupsi yang menggurita di berbagai level pemerintahan yang paling bawah yang kemudian ditiru oleh masyarakat secara luas. Dalam tulisannya bertajuk Evaluasi Penyelenggaraan Otonomi Daerah Pasca UU Nomor 32 Tahun 2004, Krishno Hadi menyebutnya sebagai titik balik desentralisasi (resentralisasi). Sejalan dengan menurunnya semangat desentralisasi, maka peran Dewan Pendidikan dalam Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 telah berubah menjadi fungsi dan tugas Dewan Pendidikan dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelengga-raan Pendidikan. Dalam Pasal 192 (2) disebutkan bahwa “Dewan Pendidikan berfungsi dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota”. Sebenarnya perubahan tersebut sebenarnya dari aspek istilah atau Bahasa, namun dari sisi lain dapat diartikan terjadinya penurunan semanat Dewan Pendidikan yang dinilai tidak lagi bergigi lagi. Apalagi kita ketahui bahwa Surat Keputusan Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota diterbitkan oleh Bupati/Walikota, dan Surat Keputusan Dewan Pendidikan Provinsi diterbitkan oleh Gubernur. Ketentuan SK tersebut sebenarnya tidak mengapa, asalkan masih dalam semangat kedudukan yang sederajat antara Dewan Pendidikan dengan Bupati/Walikota dan antara Dewan Pendidikan Provinsi dengan Gubernur. Namun pada umumnya orang berpendapat bahwa pihak yang mengeluarkan Surat Keputusan adalah pihak yang lebih tinggi, padahal seperti SK KPK dikeluarkan oleh Presiden, bukan berarti KPK tidak dapat memeriksa perilaku korupsi yang kemungkinan dilakukan oleh Presiden.
Terkait dengan isu titik balik desentralisasi tersebut, perlu dimaknai bahwa dampak desentralisasi memang dapat dicegah, dengan menyempurnakan mekanisme implementasi desentrasilasi secara tegas. Misalnya pemberian kewenangan yang lebih jelas antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah, dengan kendali yang kuat dari Pemerintah. Dewasa ini, titik balik desentralisasi yang semakin menguat adalah pengembalian kewenangan dalam urusan guru kepada pusat. Sudah barang tentu, pengembangan urusan pendidik dan tenaga kependidikan perlu dipertimbangkan secara seksama, karena sesungguhnya yang lebih mengetahui permasalahan pendidik dan tenaga kependidikan sebenarnya adalah Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, pemberian kewenangan kepada Dewan Pendidikan untuk ikut bersama mengawasi proses pemerataan pendidik dan tenaga kependidikan perlu dipertimbangkan secara seksama keuntungannya. Pada saat ini, meski Dewan Pendidikan telah memperoleh selempang berat dengan peran ataupun fungsi dan tugas sebagai controlling agency, namun pada kenyataannya rekomendari atau pun pertimbangan dari Dewan Pendidikan kurang memperoleh perhatian sebagaimana mestinya. Dengan kata lain titik balik desentralisasi memang benar-benar telah terjadi. Dewan Pendidikan yang diharapkan menjadi representasi masyarakat, namun kenyataannya ada fenomena yang menunjukkan masyarakat tidak lain dan tidak bukan hanya menjadi abdi dalem dari yang berkuasa. Pemerintah dan masyarakat belum menjadi pasangan ideal untuk mengatus urusan pendidikan. Jika kemudian titik balik desentralisasi ini benar-benar terjadi, maka hal ini akan menjadi set back yang akan memperberat lagi beban sentralisasi seperti masa lalu. Oleh karena itu, jalan tengan harus dapat ditempuh dengan mempertahankan sistem desentralisasi, tetapi perlu diperkuat adanya kendali desentralisasi. Tentu saja lembaga representasi masyarakat dapat difungsikan secara untuk melaksanakan fungsi dan tugasnya secara optimal. Sebagai contoh, program pemerataan guru telah diporakporandakan oleh raja-raja kecil di daerah. Dinas Pendidikan tidak mampu menahannya, karena menjadi tangan kanannya. Nah, Dewan Pendidikan sebagai representasi masyarakatlah yang semestinya harus mampu melaksanakannya.
Dewan Pendidikan Nasional
Belum adanya pasangan ideal antara Pemerintah dengan masyarakat ini ditandai oleh belum adanya kemauan politik (political will) yang kuat dari Pemerintah untuk membentuk Dewan Pendidikan Nasional. SK Nomor 232/P/2002 tentang Panitia Pemilihan Dewan Pendidikan Nasional yang telah diterbitkan oleh Muhammad Nuh belum juga menghasilkan calon anggota Dewan Pendidikan Nasional. Dengan demikian, nasib Dewan Pendidikan masih menjadi tanda tanya yang besar bagi masyarakat. Lalu dengan siapakah Pemerintah harus menjalin kemitraan dalam penyelenggaraan urusan pendidikan? Kembali kepada Trias Politika dengan menyatukan pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif, memang harus bersatu padu implementasinya dalam tataran macro system, yakni dalam level tingkat tinggi pendidikan. Tetapi secara operasional pada level yang lebih rendah, siapakah lembaga yang harus menjadi representasi masyarakat untuk membantu eksekusi penyelenggaraan pendidikan?
Dalam hal ini, proses pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, dalam tataran micro system, Pemerintah dan masyarakat harus dapat menjalin kemitraan dengan Dewan Pendidikan secara sinergis. Untuk ini, representasi masyarakat, yang dalam hal ini Dewan Pendidikan, harus dihidupkan lebih dahulu. Di tingkat, Dewan Pendidikan Nasional harus segera dibentuk, karena di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota sedang menunggu kelahiran Dewan Pendidikan di tingkat nasional tanpa ada informasi yang jelas.
MPD Provinsi dan Kabupaten di Aceh
Pada usia yang ke-13 ini, di dalam NKRI ini, ternyata memiliki Dewan Pendidikan yang dapat dikatakan “tidak bersatu”. Mengapa? Dewan Pendidikan di Provinsi Aceh tidak sama dengan Dewan Pendidikan di provinsi lain. Dewan Pendidikan di Provinsi Aceh dinamakan Majelis Pendidikan Daerah (MPD), baik untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota. Lembaga ini lahir berdasarkan Qanun keistimewaan untuk Provinsi Aceh. Memang, soal nama memang bisa berbeda-beda karena sebagai nama generik, asalkan fungsi dan tugasnya sama. Namun perbedaan itu menjadi sangat tajam, karena MPD yang susunan pengurusnya sama dengan di daerah lain, tetapi MPD memiliki sekretariat yang berfungsi untuk membantu pelaksanaan fungsi dan tugas MPD. Sekretariat MPD Provinsi adalah PNS yang ketua sekretariatnya sebagai eselon II dan untuk MPD Kabupaten/Kota, ketua sekretariatnya adalah PNS dengan eselon III.
Akankah perbedaan Dewan Pendidikan dengan Majelis Pendidikan tersebut dibiarkan terus berlanjut, sementara fungsi dan tugas Dewan Pendidikan harus dilaksanakan secara lebih optimal. MPD Aceh sudah demikian jauh dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya secara mapan, karena secara rutin telah menyampaikan rekomendasi dalam urusan pendidikan, baik kepada Gubernur dan DPRA maupun kepada Bupati/Walikota dan DPRDA. Sebagai contoh, pada tahun anggaran 2014 lalu, MPD Provinsi Aceh telah menyampaikan Pertimbangan MPD Aceh kepada Gubernur Aceh dan DPRA, dengan 12 (dua belas) materi rekomendasi tentang pendidikan, meliputi: 1) Penyelenggaraan Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2013/2014; 2) Implementasi Kebijakan Pengelolaan Beasiswa Pemerintah Aceh; 3) Penguatan Komite Sekolah/Madrasah di Aceh; 4) Percepatan Implementasi Kurikulum 2013 di Aceh; 5) Penguatan Perpustakaan MPD dan Perpustakaan Sekolah/Madrasah; 6) Hasil Evaluasi Penyelenggaraan Ujian Nasional Tahun Pelajarjan 2013/2014; 7) Pelaksanaan Pendidikan Dayah Manyang (MA’HAS’ALY) di Aceh; 8) Peningkatan Kinerja Pengawas Sekolah/Madrasah dalam Melaksanakan Supervisi Pendidikan; 9) Pengembangan SMK Aceh; 10) Penerapan Kurikulum 2013; 11) Pembinaan dan Peningkatan Kualitas Guru; 12) Peningkatan Mutu LPTK.
Akhir Kata
Terkait dengan program Mendikbud “membangun sekolah menjadi taman yang menyenangkan bagi anak”, kuncinya adalah membangun kepercayaan kepada masyarakat agar masyarakat. Kepercayaan tersebut semakin hari semakin banyak yang hilang, paling tidak telah tergadai. Percayakanlah kepada guru, dan percayakanlah kepada masyarakat agar kita dapat bersama-sama membangun sekolah sebagai taman yang menyenangkan bagi anak-anak Indonesia. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah merupakan representasi masyarakat, yang kini telah berusia tiga belas tahun, diharapkan dapat membangun kembali kepercayaan tersebut. Marilah kita mulai dari membangun kepecayaan kepada guru agar dalam memberikan penilaian tentang lulus tidaknya para peserta didiknya dalam ujian nasional mulai pada tahun ini. Insyaallah.
*) Konsultan individu Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah; E-mail: www.suparlan.com; Surel: me@suparlan.com.
Depok, 2 April 205, direvisi tanggal 13 April 2015.

Tags: Dewan Pendidikan, Komite Sekolah

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts