Oleh Suparlan *)
Berdo’alah seakan-akan kamu akan meninggal besok, dan bekerjalah seakan-akan kamu akan hidup selamanya
(Hadis)Barang siapa yang berpuasa dan menunaikan qiyam al-layl (shalat tarawih) di malam Bulan Ramadan, niscaya dosa-dosanya terampuni
(HR Bukhary)
Tidurnya orang yang sedang berpuasa adalah ibadah. Memang ada Hadis yang menyebutkannya. Sebagai umat Muhammad, kita pasti harus percaya. Masalahnya, banyak yang kemudian menyalahgunakan makna Hadis ini untuk terlambat ke kantor, malas bekerja, dan sebagainya. “Mau kemana Fulan?”, tanya seorang teman. “Mau ibadah”, jawabnya sembil tersenyum. Maksudnya mau BBS atau bobok-bobok siang.
Memang, puasa tahun ini udara agak panas, dan setelah shalat dhuhur, rasanya akan nyaman sekali kalu badan ini dapat ditelentangkan sebentar. Take a nap, demikian kata orang Inggris. Lalu, selepas shalat dhuhur di masjid kantor bergelempanganlah dua puluh dua orang melakukan “ibadah” sebagaimana yang disebutkan oleh Hadis tersebut. Risi juga melihat pemandangan yang sungguh tidak kita harapkan itu. Lalu bagaimana produktivitas umat Islam ketika puasa tiba? Sementara konsumsinya meningkat tiga kali lipat, sedang produktivitasnya menurun drastis. Dua hal yang sangat paradog. Itukah yang diharapkan untuk menjadi manusia yang taqwa dalam Islam? Tentu kita harus malu dengan Shukor, warga negara Malaysia, yang akan tetap menunaikan ibadah berpuasa selama melakukan penerbangan di luar angkasa bersama astronot Rusia. Mereka ingin merasakan bagaimana rasanya berpuasa selama berada di luar angkasa. Mereka akan tetap menjalankan shalat selama berada di ruang hampa udara, ketika tidak lagi ada pengaruh gaya gravitasi bumi. Lalu apakah kita hanya akan ngorok, ketika kolega yang beragama lain sedang bekerja keras?
Wuahhh, tampaknya kita perlu melakukan otokritik terhadap diri kita sendiri. Itukah tingkat puasa yang diharapkan? Ada tiga macam tinggkatan puasa. Seorang ustads menyebutkan, pertama, puasa emosional. Lebih tepat jika disebut puasa fisikal atau biologikal. Kedua, puasa intelektual. Ketiga, puasa spiritual. Dalam istilah lain disebut sebagai puasa awam, puasa khusus, dan puasa sangat khusus. Jika digambarkan dalam grafik, jumlah umat yang melaksanakan tiga tingkatan puasa ini seperti grafik yang berbentuk piramid. Jumlah umat yang melaksanakan tingkatan puasa awam tentu akan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah umat yang melaksanakan tingkatan puasa khusus, demikian seterusnya dengan jumlah umat yang melaksanakan tingkatan puasa sangat khusus. Kebanyakan umat yang hanya memperoleh lapar dan dahaga ditengarai menduduki jumlah yang terbesar. Tentunya, kita semua ingin puasa kita bukan termasuk yang sekedar memperoleh lapar dan dahaga. Kita ingin agar puasa kita sebagai puasa yang lebih bermakna, untuk mengendalikan nafsu, mengasah kepedulian kita terhadap sesama, mengasah tingkat spiritualitas kita sehingga akhirnya kita dapat menjadi manusia yang bertaqwa sebagaimana diharapkan oleh Allah SWT. Puasa kita bukan hanya sekedar untuk tidak makan, minum, dan mengendalikan syahwat.
Agar kuat tidak makan dan minum, banyak pegawai di kantor yang sehabis dhuhur lalu tidur bergelempangan di masjid. Ada puluhan orang yang berperilaku seperti itu, lantaran hanya untuk kuat tidak makan dan minum. Alasan klasiknya, toh tidurnya orang berpuasa kan ibadah. Itu memang tidak salah. Apalagi jika dengan bekerja, maka ibadahnya akan lebih bermakna. Masalahnya menjadi semakin kompleks, jika dikaitkan dengan kinerja para pegawai kita, yang nota bene beragama Islam, dan nota bene mereka menunaikan ibadah puasa. Tidak berpuasa saja mereka banyak yang mangkir kerja, banyak yang tidak masuk kerja, mereka banyak yang kerjanya hanya kalau ada proyek. Lagi-lagi, itulah kinerja para pegawai di negeri ini. Apalagi dengan berpuasa. Maka bergelempanganlah mereka tidur di masjid. Akan lebih baik jika puasa itu tidak mengurangi kinerja pegawai, justru sebaliknya puasa harus dapat meningkatkan kinerjanya.
Mudah-mudahan amal puasa hari kesembilan kita ini dapat menjadi bekal amal ibadah yang dapat meningkatkan kinerja kita. Amin, ya robbal alamin.
*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.
Depok, 20 September 2007