Oleh Suparlan *)
Our schools are at the heart of the community.
They have a rich tradition of parental and community involvement in education
(Ministry of Education and Training Ontario, Canada).Sekolah-sekolah kita ada pada jantung masyarakat. Mereka memiliki satu tradisi yang kaya tentang keikutsertaan orang tua dan masyarakat dalam pendidikan.
(Kementerian Pendidikan dan Pelatihan Ontario, Kanada)
Terus terang, penulis tidak mengetahui secara mendetail asal usul program yang cukup bagus ini. Apalagi kalau ditanya tentang studi kelayakannya, siapa tim atau kelompok kerja yang telah menghasilkan program ini, dan seberapa jauh studi kelayakan itu telah dilaporkan kepada khalayak, termasuk bagaimana respon masyarakat terhadap hasil studi tersebut. Tetapi sekali lagi, secara sepintas, kita melihat bahwa kebijakan seperti ini dapat dinilai sebagai kebijakan inovatif, yang memiliki nilai strategis untuk menghilangkan, atau setidaknya mengurangi, disparitas mutu pendidikan di negeri ini.
Sekitar proses kelahiran kebijakan pendidikan
Untuk mengawali tulisan ini, kita perlu melihat kembali tentang proses kelahiran kebijakan pendidikan selama ini. Selama ini, terus terang ada kesan bahwa banyak kebijakan pendidikan yang lahir secara ‘tiba-tiba’, tanpa melalui proses studi kelayakan yang cukup mendalam. Di samping itu ada pula kebijakan pendidikan yang dilandasi oleh studi kelayakan yang mendalam, namun justru dianulasi secara tiba-tiba pula tanpa melalui proses evaluasi terlebih dahulu. Sebagai contoh, kebijakan ‘link and match dan SLTP Keterampilan’ lahir secara tiba-tiba dan berhenti dengan tiba-tiba pula. Sebaliknya, kebijakan ‘sekolah pembangunan’ termasuk kebijakan yang lahir berdasarkan studi yang cukup mendalam yang dilakukan oleh tim yang dibentuk khusus untuk itu, tetapi diberhentikan secara tiba-tiba. Contoh lain mungkin dapat disebutkan satu persatu. Namun hal ini sama sekali bukan berarti sebagai satu sikap ‘menolak perubahan’. Mantan Mendikbud, Bapak Fuad Hassan, mengingatkan kepada kita bahwa perubahan yang kita lakukan ‘bukan hanya sekedar perubahan’, melainkan ‘perubahan untuk perbaikan’. Untuk itu, kebijakan yang akan diluncurkan benar-benar kebijakan yang lahir dari proses studi kelayakan secara mendalam. Sebagai contoh, ada pelajaran berharga yang dapat dipetik dari Malaysia dalam membuat kebijakan tentang ‘sekolah bestari’ atau ‘smart school’. Kebijakan itu lahir dari kebijakan nasional yang lebih besar, yakni kebijakan Multimedia Super Corridor (MSC), yakni kebijakan yang bertujuan untuk menjadikan Malaysia sebagai negara yang unggul dalam bidang industri komputer. Kebijakan ‘sekolah bestari’ merupakan salah satu aspek dari kebijakan tersebut. Tim atau Kelompok Kerja yang dibentuk untuk itu, telah menghasilkan satu naskah akademis yang dilaporkan kepada pemerintah, dan sekaligus dipertanggungjawabkan secara transparan kepada publik. Kebijakan ini dirancang secara matang, dan oleh karena itu dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen.
Dalam mengulas tentang kebijakan kemitraan antara kepala sekolah KBI dengan KTI ini, kita perlu lebih bersifat hati-hati, agar kebijakan yang dirancang dengan ‘nawaitu’ yang mulia itu tidak menjadi kebijakan yang justru menjadi kontraproduktif. Itulah sebabnya, maka pada awal tulisan ini perlu dipertanyakan tentang proses kelahiran kebijakan tersebut. Pertanyaan sekitar kebjakan ini perlu diajukan dimaksudkan untuk mengingatkan kepada kita bahwa kebijakan apapun harus dilahirkan dan diluncurkan perlu dilahirkan dari studi yang mendalam yang dilakukan oleh badan yang bertugas untuk itu, atau oleh kelompok kerja yang ditugasi untuk itu. Balitbang Diknas, seharusnya memiliki tugas pokok dan fungsi serta kompetensi mengenai hal ini, dan dengan demikian lembaga ini perlu memberikan klarifikasi mengenai kebijakan pendidikan yang akan dan sedang dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional.
Landasan Teoritis
Salah satu landasan yang memberikan dukungan yang amat kuat terhadap pentingnya program ini adalah peran kepala sekolah dalam sekolah efektif (effective school). Edmonds (1979) sebagaimana dikutip oleh Shahril @ Charil Marzuki, dalam penelitiannya bertajuk ‘Profil Sekolah Berkesan di Malaysia: Berdasarkan Model Lima Faktor’, disebutkan bahwa sekolah yang efektif memiliki lima faktor utama, yakni ‘(1) strong principal leadership, (2) safe and conducive school climate, (3) emphasis on the acquisition of basic skills, (4) teacher high expectation, dan (5) frequency of evaluation’ (Shahril @ Charil Marzuki, 1977: 97), atau (1) kepemimpinan kepala sekolah yang kuat, (2) iklim sekolah yang aman dan kondusif, (3) menekankan kepada penguasaan kecakapan dasar, (4) harapan yang tinggi dari para guru, dan (5) frekuensi penilaian hasil belajar siswa.
Dari kelima faktor sekolah efektif tersebut, sudah barang tentu faktor kepemimpinan kepala sekolah yang kuat merupakam faktor yang paling kuat dibanding dengan faktor yang lain. Maju mundurnya suatu sekolah boleh dipastikan akan banyak diperngaruhi, atau bahkan ditentukan oleh kepala sekolah, tanpa mengecilkan arti dan peranan faktor-faktor yang lain.
Terkait dengan program kemitraan kepala sekolah SMAKawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), memang tidak dapat dipungkiri bahwa peningkatan mutu pendidikan di KTI akan banyak ditentukan oleh kepala sekolahnya. Namun, juga perlu diakui bahwa empat komponen lainnya juga akan memainkan peran yang cukup dominan, apa pun dan di mana pun sekolah itu berada, apakah itu dari KBI atau pun di KTI. Perlu diakui bahwa kepala sekolah bukanlah superman yang akan mampu menyulap sekolah menjadi sekolah yang maju, karena kekuatan kepemimpinannya akan dipengaruhi oleh lingkungan sekolah, termasuk peran serta orangtua dan masyarakatnya, peran serta dan kreativitas para gurunya, dan tidak boleh dilupakan adalah antusiasme para siswanya. Maju mundurnya sekolah merupakan sinergis dari kelima faktor tersebut.
Latar Belakang Program
Sebagaimana dijelaskan oleh Bapak Endro Sumardjo, Staf Ahli Mendiknas, program kemitraan kepala sekolah SMA Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia dilatarbelakangi oleh masalah rendahnya hasil belajar siswa SMU di KTI. Dari hasil Ujian Akhir Nasional tahun 2003, sebagai contoh, 30 SMA yang dinilai menunjukkan hasil belajar yang tinggi, nomor 1 sampai 16 adalah SMA di KBI, sementara 16 sampai dengan 30 adalah SMA di KTI. Selain itu, dijelaskan pula oleh Staf Ahli Mendiknas bahwa putra-putra terbaik dari KTI yang memperoleh kesempatan untuk memasuki perguruan tinggi ternyata banyak yang mengalami putus kuliah aliah DO. Dengan kata lain, data dan informasi ini menunjukkan bukti bahwa mutu pendidikan di KTI masih rendah jika dibandingkan dengan mutu pendidikan di KBI. Dengan kata lain, ada disparitas mutu pendidikan antara KBI dan KTI. Latar belakang inilah yang mendorong para pengambil kebijakan dalam bidang pembangunan Kawasan Timur Indonesia untuk melahirkan kebijakan kemitraan ini. Kebijakan ini bahkan direncanakan akan dibangun dengan sebuah Keppres, dan selanjutnya akan ditindaklanjuti dengan adanya sebuah proyek yang akan melaksanakan kebijakan ini.
Rencana Program Kemitraan Kepala Sekolah KBI dengan KTI
Dinyatakan berulang-ulang oleh penanggung jawab program bahwa program ini merupakan program yang yang memiliki tujuan yang amat mulia. Oleh karena itu, untuk mensosialisasikan program ini, semua pihak yang akan terlibat dalam kegiatan ini, antara lain kepala dinas pendidikan kabupaten/kota di KBI dan KTI, beberapa PPPG (Pusat Pengembangan Penataran Guru) dan beberapa LPMP (Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan), dahuli dikenal dengan Balai Penataran Guru (BPG) diundang oleh Staf Ahli Menteri Pendidikan Nasional bersama dengan Direktorat Tenaga Tendik, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Program ini perlu dirancang secara matang, dengan memperoleh masukan dan bahan pertimbangan dari berbagai pihak yang terkait.
Untuk tahun pertama, program kemitraan ini melibatkan sekitar seratus orang kepala sekolah SMA KBI dan seratus orang kepala sekolah SMA KTI. Tes yang transparan akan diadakan utnuk menentukan peserta program ini Kepala Sekolah KBI dan KTI ini. Program kemitraan ini akan menjadikan Kepala Sekolah KBI untuk melakukan program pendampingan untuk SMA di KTI, sementara itu Kepala Sekolah KBI akan mengikuti program ‘on the job training’ atau pelatihan dalam jabatan di KBI. Melalui program ini, kepala sekolah SMA KBI akan dapat menularkan dan meningkatkan mutu pendidikan kepada SMA KTI, dan bersamaan dengan itu kepala sekolah SMA KTI dapat memetik pelajaran yang akan diterapkan untuk meningkatkan mutu pendidikan sekembalinya ke KTI.
Tiga Bidang Penguasaan Substansi dan Kesiapan Mental
Untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, kepala sekolah SMA KBI dan KTI akan diberikan bekal yang cukup dalam tiga bidang penguasaan, yakni bidang (1) akademis, (2) administrasi sekolah, dan (3) lingkungan. Tiga bidang kemampuan tersebut akan meliputi beberapa subbidang, yang nanti akan diberikan dalam kegiatan pembekalan di beberapa Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG) dan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP).
Bahkan, menjelang keberangkatan kepala sekolah ke KBI dan KTI, para kepala sekolah juga akan memperoleh ‘predeparture training’, dengan berbagai materi antara lain tentang pemahaman mengenai lintas budaya (cross-culture), termasuk kesiapan tentang sikap dan perilaku yang diperlukan untuk bertugas di daerah lain yang berbeda dalam berbagai aspek sosial ekonomi, budaya, dan bahkan agama. Kesiapan mental ini juga amat penting untuk mendapatkan perhatian, termasuk sikap dan model kepemimpinan yang harus disesuaikan dengan kondisi dan pola kehidupan masyarakat yang akan ditempati. Yang harus diperhatikan, kepala sekolah SMA KBI sama sekali jangan menganggap dan merasa sebagai superman, yang merasa dapat memecahkan masalah pendidikan secara ‘single fighter’ atau dengan seorang diri. Dalam hal ini, seorang kepala dinas pendidikan dari KTI mengingatkan bahwa sebenarnya kualitas SDM di KTI tidaklah jauh berbeda dengan SDM di KBI. Yang berbeda adalah fasilitasnya. Katanya lebih lanjut, masalah yang dihadapi oleh KTI adalah kekurangan fasilitas. Pernyataan kepala dinas dari KTI ini perlu memperoleh perhatian dan pemikiran bagi perancang kebijakan pendidikan. Benarkah bahwa masalah KTI hanya menyangkut masalah kekurangan fasilitas? Hal ini akan dapat dibuktikan nanti melalui program kemitraan ini.
Jaminan, Sosial dan Profesional
Siapa kepala sekolah yang akan menjadi peserta program kemitraan ini? Sudah barang tentu, mereka itu adalah yang memang benar-benar memiliki penguasaan dalam bidang substansi dan kesiapan mental untuk dapat melaksanakan program kemitraan ini. Cukupkah dengan semua itu? Ternyata tidak. Para kepala sekolah SMA, baik di KBI maupun di KTI itu memerlukan adanya jaminan sosial dan profesional. Berapa pertanyaan berikut yang perlu memperoleh perhatian, misalnya: (1) berapa living allowance yang akan mereka peroleh selama menjalankan tugasnya, (2) fasilitas kerja apa saja yang akan mereka dapat gunakan untuk mendukung pelaksanaan tugasnya, seperti kendaraan dinas, rumah dinas, dsb., (3) apakah dalam program ini dapat membawa keluarga (istri dan anak-anaknya), (4) apakah jabatan kepala sekolah nanti akan diganti orang lain, (5) apakah kepala sekolah SMA akan mendapatkan kenaikan pangkat istimewa jika berhasil dalam melaksanakan program ini, (6) apakah juga akan memperoleh book allowance atau biaya untuk membeli buku seperti tugas belajar itu, (7) apakah juga akan memperoleh bantuan kesehatan, dan banyak pertanyaan yang lain tentang dan di sekitar jaminan sosial dan jaminan profesional yang akan mereka peroleh. Hal ini penting, tidak hanya sebagai alat untuk memotivasi para kepala sekolah untuk mau mengikuti program ini dengan sepenuh hati, tetapi juga untuk mendorong mereka agar dapat melaksanakan program ini dengan kinerja yang seoptimal mungkin.
Ada seorang peserta sosialisasi yang secara berseloroh menyatakan bahwa kepala sekolah peserta program juga harus dibekali dengan tingkat kesehatan yang prima, karena kemungkinan mereka akan dihadapkan kepada daerah yang kondisi kesehatannya amat rawan akan berbagai penyakit.
*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.