ArtikelDunia Islam

Kuliah Tertulis Ramadan Hari Ketujuh: Setelah Delapan Rekaat, Bolehkah Kami Berhenti?

357 views
Tidak ada komentar

Oleh Suparlan *)

Sholatlah, sebagaimana aku sholat
(HR Muslim)

Kuliah tertulis kali ini lebih merupakan pertanyaan ketimbang jawaban atau penjelasan. Pertanyaan ini terutama ditujukan kepada alim ’ulama, ustadz, atau ahli Hadist, pakar, atau siapa saja yang dapat memberikan secercah jawaban atau jalan keluar yang bijak.

Tulisan ini diangkat dari pengalaman sebenarua penulis sendiri. Meskipun demikian, beberapa sahabat pernah menceritakan pengalaman yang sama. Tulisan ini sama sekali tidak memiliki pretensi untuk secara sepihak menyatakan bahwa tradisi pengamalan ajaran agama yang kita lakukan yang paling benar, sementara itu pengamalan ajaran agama yang mereka lakukan salah. Benar atau salah sebenarnya harus dapat dikembalikan kepada sumbernya, yakni Al Quran dan Hadist.

Tulsian ini hanya ingin menunjukkan kepada pembaca bahwa ada kenyataan faktual yang terjadi dalam kehidupan keagamaan kita. Ada perbedaan dalam pengamalan ibadah agama dalam kehidupan kita. Perbedaan itu sama sekali tidak harus membuat kita terpecah belah. Kita harus menghadapi perbedaan itu secara toleran dan penuh pengertian. Kita sangat memahami bahwa sesungguhnya perbedaan itu adalah rahmat. Jangan besar-besarkan perbedaan itu, tetapi carilah titik temu persamaannya.

Asal muasal kenyataan faktual itu begini. Shalat taraweh di masjid Al Mujahidin pada awalnya memang dengan sebelas rakaat. Ketika itu, alasan utamanya lebih karena faktor yang bersifat praktis. Penghuni kompleks Perumahan Taman Depok Permani kebanyakan memang pegawai negeri dengan karakterisitik P4 atau pergi pagi pulang petang. Oleh karena itu, jamaah ketika itu telah memilih shalat taraweh sebelas rekaat. Pertimbangan lain, memang ada yang berdasarkan hujah bahwa Nabi Muhammad SAW paling sering melaksanakan shalat taraweh dengan sebelas rekaat ini. Bahkan Nabi malah sering shalat taraweh di rumah. Alasannya amat sederhana, agar umat tidak memahami shalat taraweh sebagai shalat wajib, karena shalat taraweh adalah shalat sunah.

Setelah pergantian pengurus DKM, tradisi itu kemudian diubah menjadi dua puluh tiga rekaat. Maka terjadilah dua kelompok shalat taraweh di masjid itu, yakni kelompok yang menunaikan shalat taraweh dua puluh tiga rakaat, dan kelompok yang menunaikan shalat taraweh sebelas rekaat. Meski shalat taraweh di Masjid Al Mujahidin dilakukan dengan dua puluh tiga rakaat, tetapi para penganut shalat taraweh sebelas rakaat tetap melakukan shalat taraweh di Masjid Al Mujahidin. Sudah barang tentu, kelompok taraweh sebelas rekaat tidak mendirikan jamaah tersendiri dalam satu masjid, karena hal itu memang tidak dibenarkan. Mereka juga tidak akan lari ke masjid lain yang melaksanakan shalat sebelas rakaat. Alasannya toh masjid itu juga milik mereka bersama juga.
Dari segi keyakinan, mereka tentu memiliki keyakinan tersendiri tentang shalat taraweh tersebut dengan hujah-hujah yang dinilai lebih kuat. Maka, dilakukanlah shalat taraweh berjamaah dengan cara berhenti pada rakaat ke delapan. Mereka tidak mengikuti Imam untuk meneruskan shalat taraweh sampai rakaat yang ke dua puluh tiga. Kelompok jamaah masjid yang melakukan shalat taraweh sebelas rakaat segera meninggalkan masjid dan meneruskan shalat witir tiga rakaat di rumahnya masing-masing. Itulah faktualnya. Dan itulah kenyataan yang terjadi dalam pelaksanaan shalat taraweh di Masjid Al Mujahidin sekarang ini.

Maka muncullah dua pertanyaan yang menggelitik kita sebagai berikut: (1) bolehkah kita melakukan shalat taraweh dengan jumlah rakaat yang berbeda dengan Imam, (2) apakah shalat witir yang kita lakukan dapat ditunaikan di rumah dan terpisah dari shalat tarawih yang baru saka kita lakukan?

Meski perlu adanya jawaban dari segi fikih, atau dari segi sariat, cara tersebut dinilai sebagai jalan tengah yang cukup adil agar menghindarkan umat dari perpecahan. Kedua belah pihak diberikan tempat yang sama untuk melaksanakan keyakinannya. Cara ini juga dinilai praktis, karena dua kelompok umat yang berbeda dapat memenuhi kewajiban amal ibadahnya sesuai dengan keyakinannya, tanpa harus mereka keluar atau pindah ke masjid lain.

Mudah-mudahan amal puasa hari ketujuh kita ini dapat menjadi bekal amal ibadah yang dapat menjaga persatuan dan kesatuan. Amin, ya robbal alamin.

*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.

Depok, 16 September 2007

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts

Buku

Pendidikan Multikultural

Alhamdulillahirrabbil ‘alamin, pada tanggal 27 November 2012 ini, penulisan buku Pendidikan Multikultural telah selesai naskahnya. Buku ini menjelaskan…