Oleh Suparlan *)
Pemimpin adalah orang yang dapat menyesuaikan prinsip dengan keadaan
(George S. Patton)Perubahan adalah hasil akhir dari semua proses belajar yang sesungguhnya (all true learning)
(Leo Buscagila)Si pesimis menemukan kesulitan dalam setiap kesempatan; orang yang optimis menemukan kesempatan dalam setiap kesulitan
(LP. Jacks)
Teman mailister, Mas Bambang Purnomo Sigit, telah mengirimkan tulisan tentang teori merebus katak. Bagi saya, teori ini memang pernah saya dengar dari seorang Ibu penceramah kondang itu. Terus terang saya belum menemukan referensi aslinya. Apalagi baca. Jadi yang beginilah. Saya terpaksa mengurainya sesuai dengan pemahaman yang saya miliki. Itulah sebabnya tulisan ini saya beri judul mengurai teori merebus katak. Muda-mudahan terdengar agak puitis sedikit.
Inti Teori
Inti teori ini sebenarnya berkenaan dengan penyesuaian dengan miliu sosial, dan bahkan dengan lingkungan apapun. Mahluk hidup, seperti katak juga memiliki daya penyesuaian tertentu terhadap lingkungan dimana hidup. Bahkan binatang tertentu sangat peka terhadap proses penyesuaian diri itu. Ada binatang yang bulunya menjadi lebih tebal dari biasanya, karena menyesuaikan cuaca yang sedang berubang menjadi dingin. Demikian juga dengan manusia, sebagai animal educandum, istilah Imanuel Kant tentang manusia. Istilahnya, di kandang kambing mengembik, di kandang kerbau menguak. Manusia paling bisa menyesuaikan sesuai dengan lingkungannya. Sayang, lingkungan ini tidak selamanya baik, bahkan lebih banyak juga yang tidak baik.
Kembali ke teori merebus katak, konon Peter Syang pernah menjelaskan bahwa, bila seekor katak diletakkan di dalam kuali yang berair, maka katak itu akan senang sekali berenang di dalamnya. Berenang kesana-kemari dengan gembira menikmati segarnya air di dalam kuali itu. Begitulah Mas Bambang Purnomo Sigit menjelaskan teori itu. Bagaimana kalau suhu air itu dicoba untuk ditingkatkan suhunya dengan memanasinya? Sang katak berusaha untuk menyesuaikan diri terhadap suhu yang mulai panas itu. Ya, sejauh ini sang katak masih bisa menyesuaikan diri. Dia masih berenang kesana-kemari menikmati hangatnya suhu air yang secara perlahan tetapi pasti mulai naik derajat demi derajat Celsius. Apalagi di dalam kuali itu banyak temannya katak-katak yang lain. Katak yang satu kelihatan bercandan dengan katak-katak yang lainnya. Tubuhnya masih kuasa menyesuaikan diri dengan suhu air yang mulai panas itu. Sampailah akhirnya suhu air mulai memanas sampai derajat yang paling tinggi, yakni mendidih dengan suhu 100 derajat Celsius. Apa yang terjadi? Ya, pastilah sang katak telah menjadi matang. Inilah inti teori merebus katak menurut Peter Syang.
Hukum Penyesuaian
Kehidupan memang memiliki hukumnya sendiri-sendiri. Penyesuaian diri memang menjadi salah satu hukum dalam kehidupan ini. Masing-masing mahluk memiliki hukumnya sendiri-sendiri. Wortel yang kaku dimasak menjadi lembut. Telor yang berupa air dimasak menjadi keras. Dan bubuk kopi dimasak di air menjadikan air berwarna hitam dan baunya beraroma harum. Demikian juga dengan manusia. Ada manusia yang dapat memegang prinsip secara teguh. Ada juga manusia yang segera terpengaruh dengan lingkungan di sekitarnya. Bisa seperti wortel, telor, dan juga menjadi bukuk kopi. Tetapi hebatnya, hukum penyesuaian ini memang membuat manusia bisa terlena dengan kebiasaan-kebiasaan barunya itu. Bahkan ada yang lupa kacang terhadap kulitnya. Di desa dulu bernama Dawud, setelah di kota menjadi David. Waktu di desa rambutnya hitamnya masih diponi, setelah di kota menjadi diberi warna-warni dan diurai bak singa betina. Semua itu dilakukan karena hukum penyesuaian. Prinsip dan nilai-nilai agama dan sosial budaya yang agung dalam kehidupan tidak lagi menjadi pedoman.
Penyakit Sosial
Penyakit sosial yang berjangkit dalam masyarakat tidak luput juga menggunakan hukum penyesuaian atau teori merebus katak itu. Korupsi di dalam lembaga mana pun juga mengikuti hukum penyesuaian. Orang yang mula-mula begitu suci tidak mau korupsi, lama-kelamaan juga akan menyesuaikan diri dengan kebiasaan korupsi ini. Itulah sebabnya korupsi menjadi semacam “budaya” atau “kebiasaan”. Orang yang mula-mulai tidak suka minum-minuman keras, lama kelamaan juga bisa terkena teori merebus katak juga. Mula-mula hanya satu sloki, lama kelamaan bisa satu gelas, sampai akhirnya satu botol ditegak sekali. PSK juga demikian. Mula-mula karena faktor ekonomi, mencari sesuap nasi. Lama-kelamaan mencari semangkok mutiara. Mula-mulai karena disakiti sang suami, lama-kelamaan sudah menjadi hobi.
Demikian juga dengan merokok, narkoba, dan banyak perilaku mubazir yang lainnya. Mula-mula ikut teman, agar tidak dikatakan banci. Lama-kelamaan menjdai ketagihan. Mula-mula karena mengharapkan pemberian teman, lama-kelamaan membeli sendiri. Kalau nggak punya duit untuk membeli sendiri? Ya, bisa saja dengan mencuri, dan seterusnya sampai suatu ketika harus tega saling bunuh membunuh karena hanya karena ingin mempunyai ”tuhan sembilan senti”. Demikian istilah rokok menurut Taufik Ismail, sang sastrawan terkenal itu.
Say NO!
Hidup ini adalah pilihan. Tuhan telah menyediakan pilihan-pilihan itu. Kita yang menentukan pilihan mana yang akan kita lakukan. Kita sendiri, bukan Tuhan. Katakan tidak agar kita tidak terkena hukum ”merebus katak”. Jangan dekati zina agar kita tidak terkena hukum penyesuaian menjadi pezina. Untuk dapat dapat berkata NO, memegang prinsip adalah syarat utamanya. Nilai-nilai agama dan sosial budaya menjadi pegangan utamanya. Katakanlah maaf, untuk kata NO itu agar lebih sopan, untuk menolak penyakit masyarakat itu. Kita bangun lingkungan yang kondusif yang tidak mudah terpengaruh oleh pengaruh-pengaruh yang negatif tersebut. Pesan Walisongo dengan nyanyian ”tombo ati” dapat kita coba terapkan. Banyak jalan menuju Roma. Kalau sudah terpaksa, Nabi Muhammad SAW memberikan pelajaran agar kita hijrah ke daerah yang lebih kondusif. Mudah-mudahan kita tidak menjadi katak yang menjadi matang terebus dalam air yang mendidih. Mudah-mudahan kita tidak terjun ke gelimang penyakit masyarakat tersebut, hanya karena terkena teori merebus katak. Wallahu alam bishawab.
*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.
Depok, 3 Desember 2008