ArtikelDunia IslamPendidikan

Sekilas Imam Syafi’i bin Idris

474 views
Tidak ada komentar

Oleh: Suparlan *)

Bismillahirrahmanirrahim. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ini tulisan singkat ketiga tentang empat Imam Madzhab. Kali ini sekilas Imam Sjafi’I bin Idris. Beliau lahir di Gaza, Palestina pada tahun 150 H dan wafat pada usia 54 tahun karena penyakit sembelit (ambeyen).

Nama lengkap Iman Sjafi’i adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Usman bin Syafi’I bin As-Saib bin Ubaid bin Abd. Yasin bin Hasyim bin Mutholib bin Abdi Manaf. Populer dikenal dengan Imam Syafi’i.

Fisik dan Kecerdasan

Tidak sama dengan Iman-Imam yang lain, Imam Syafi’i memang hidup sebagai anak yatim dan miskin. Ayahnya meninggal saat dibuaian Ibunya. Semasa remaja, Imam Syafi’i adalah pemuda yang lurus dan berakhlak mulia. Beliau menjauhi hal-hal yang hina sejak kecil. Ibunyalah menjadi single parent yang mendidiknya.

Imam Syafi’i menguasai ilmu-ilmu fiqh, dan kuat dalam hal ilmu bahasanya, dan kuat dalam hal menghafal.

Ulama dan Umara

Oleh karena kejujurannya, Imam Syafi’i diangkat menjadi pejabat di Kantor Gubernur di Yaman. Alhamdulillah, beliau dikenal oleh public sebagai pejabat yang adil. Oleh karena kejujurannya dan sebagai pejabat yang adil, maka Imam Syafi’i kemudian diangkat menjadi hakim di Najran.

Dalam melaksanakan tugasnya, Imam Syafi’i menemukan kebiasaan negatif, misalnya jika ada pejabat yang datang, para pegawai datang kepada pejabat itu untuk pura-pura menghormatinya, yang sebenarnya hanya sebagai cara untuk menjilat kepada pejabat itu. Begitulah kebiasaan yang terjadi pada umumnya sejak dulu sampai saat ini. Sejak Imam Syafi’i menjadi pejabat, kebiasaan lama itu tidak dapat dilakukan oleh para pegawai. Sebagaimana dijelaskan dalam buku Success Protocol karya Ippho Santosa , bagi Imam Syafi’i, kantor adalah sajadah, dan kerja adalah ibadah. Oleh karena itu, Imam Syafi’i tidak menghendaki adanya sifat menjilat kepada pimpinan, atau kepada atasan. Karena kerja itu harus dilakukan dengan doa atas nama Allah semata. Bukan atas nama yang lainnya.

Bahkan ketika saat itu Khalifah Harun Al-Rasyid berbuat zalim dan semena-mena, maka Imam Syafi’i tidak akan bermesra-mesraan kepada penguasa atau umara. Suatu saat, Khalifah memperoleh surat yang memfitnah Imam Syafi’i. Tentu saja Khlalifah akan menghukumnya. Muhammad bin Hassan, murid Imam Abu Hanifah bersaksi bahwa Imam Syafi’i tidak bersalah. Berkat kesaksian inilah akhirnya Imam Syafi’i dibebaskan dari tuduhan. Bahkan Imam Syafi’i diberi ganti rugi yang layak, meski akhirnya ganti rugi itu pun diotlaknya, karena Imam Syafi’i sama sekali tidak gila harta.

Mencari Ilmu, bukan Menunggu Datangnya Ilmu

Selama tinggal di Bagdad, Irak, Imam Syafi’i berguru ilmu fiqh secara langsung dari beberapa guru. Setelah pindah ke Mekah dan Madinah, beliau memadukan Fiqh Madinah dengan Fiqh dengan Fiqh Irak. Menginjak usia 45 tahun, Sang Imam kemudian hijrah lagi ke Bagdad. Beliau memperkenalkan metode ISTINBATH dalam belajar Ilmu Fiqh. Akhirnya, beliau pindah ke Mesir, karena nazabnya memang keturunan ahlul bait kerabat Gunernur Mesir. Di Masjid Amr bin Al-Ash, sang Imam senantiasa menyebarkan Ilmu Ushul Fiqh, menulis buku yang sangat berharga, yakni Al-Umn. Beliau terus berdakwah, sambil mencatat ribuan lembar ilmu, berdebat, membaca, dan menulis.

Menurut Imam, amal itu ada dua macam. Satu, amal dunia dan dua amal akhirat. Semua amal itu tergantung pada niatnya. Amal dunia, jika didasari dengan niat karena Allah, akan menjadi amal yang tergolong sebagai amal akhirat. Kembali menjadi amal yang ikhlas.

Ilmu dan Tali Pengikat

Syair Imam Syafi’i memberikan pelajaran kepada kita, bahwa ilmu itu ibarat binatang buruan, dan mencatat adalah tali pengikatnya. Sungguh bodoh kita, jika kita berhasil memburu rusa, namun tidak mengikatnya. Bagi Sang Imam, belajar itu pada hakikatnya bukan sekadar hanya membaca atau mengingat, namun juga menulis dan mencatatnya. Perpustakaan adalah tempat menyimpan catatan, manuskrip. Proses berfikir menurut Imam adalah sebuah rangkaian proses: (1) memahami, (2) aplikasi, (3) analisis, (4) sintesis, dan (5) evaluasi. Imam juga memberikan pelajaran tentang adab berdebat sebagai berikut. Muhammad Abu Usman (putra Imam Syafi’i) bertutur “Aku tidak pernah mendengar ayahku berdebat dengan seseorang sambil mengeraskan suaranya.”

Akhir Kalam

Jika kita tekun membaca sirah tentang para Imam Madzab yang empat, kita dapat memperoleh pelajaran tentang keagungan ilmu yang telah dipelajari, dan bagaimana memperolehnya. Menulis (writing) adalah kompetensi yang sangat diperlukan untuk dapat mengikat semua ilmu itu.

Ingatlah bahwa ilmu itu ibarat seluas samudera. Ibarat binatang buruan di hutan yang luas. Untuk menangkap dan mengikatnya, kita memerlukan bukan hanya kemampuan membaca, menghafal, mengingat, tetapi juga kemampuan menuliskannya.

*) Taman Depok Permai Blok D Nomor 5, Depok II Timur, Kota Depok.

Depok, 19 September 2015.

Tags: Imam Syafi’i

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts