ArtikelBudayaBukuDunia IslamPendidikan

GIMM (Gerakan Indonesia Membaca dan Menulis) dan GLS (Gerakan Literasi Sekolah)

174 views
2 Komentar

It’s relieving.” Itulah akhirnya komentar Satria Dharma setelah GLS (Gerakan Literasi Sekolah) diluncurkan oleh Mendikbud Anies Baswedan bersamaan dengan terbitnya Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015.?  Apa meneh itu? Orang Jawa kebingunan ucapan Satria Dharma. Itu biasanya kalau kita sedang sakit kepala, lalu pusingnya hilang seketika. Heee. Gitukah maknanya Pak Satria Dharma? Beliau lulusan bahasa Inggris. Jadi komentarnya banyak keluar cas-ces-cos dalam bahasa Inggris seperti itu. Buku terbitan tahun 2015 ini pun diberinya judul dalam bahasa Inggris pula “A Full Year of Leteracy.” Apa lagi itu? Selama setahun penuh Satria telah berusaha. Berusaha apa? Untuk ikut mendorong kelahiran GIMM (Gerakan Indonesia Membaca-Menulis) dan GLS (Gerakan Literasi Sekolah) di negeri ini. Dia seorang dirikah? Tidak. Tapi Satria Dharma berdiri di depan, pastilah. Tapi tidaklah sendiri. We are not looking for a superman. We are looking for a super team. Saya ikut-ikutan pakai bahasa Inggris sedikit. Biar ada bekas bahwa saya pernah di negeri Paman Sam selama dua tahun. Alhamdulillah.

Permen Nomor 21 Tahun 2015

Permen apa lagi itu? Itu bukan semacam gula-gula yang diberikan anak agar tidak nangis. Permen itu adalah Peraturan Mendikbud tentang Kewajiban setiap peserta didik membaca buku non-mata pelajaran selama lima belas menit pelajaran dimulai. Kalau Satria Dharma, berusaha pembuka misteri Iqra empat belas abad yang laku. Itulah buku tulisan Satria Dharma yang mengulas pertanyaan kenapa empat belas abad lalu Malaekat Jibril mengucapkan Iqra sampai tiga kali kepada Nabi Muhammad ketika menerima wahyu pertama. Dalam buku Misteri IQRA empat belas abad tahun yang lalu telah memusingkan kepala Satria Dharma. Kenapa semangat membaca anak-anak bangsa ini kalah dengan anak-anak bangsa Vietnam. Padahal kemerdekaan Indonesia jauh lebih dulu. Bahkan Vietnam baru merdeka setelah negaranya hancur setelah kalah perang dengan Amerika? Lagi anak negeri Indonesia 85% Muslim yang empat belas abad lalu telah menerima perintah IQRA. Coba kenapa minat baca kita begitu rendahnya?

Misteri Iqra

Kalau saya, pertanyaannya jauh lebih dalam lagi. Kenapa anak-anak negeri ini tidak faham Bahasa Arab, yang menjadi sebab pemahaman tentang agamanya menjadi sangat dangkal. Hanya hafal. Hanya IQRA level satu, menurut Nazzaruddin Umar, seorang Imam Masjid Istiqlal. Level satu itu apa? Itu IRAQ how to read. Belum IQRA how to know. Belum IQRA how to understand. Apa lagi IQRA how to meditate. Itulah yang dijelaskan oleh Nazaruddin Umar dalam acara talkshop di kediaman mantan Presiden Habibie, dengan tema IQRA pada tanggal 11 Desember 2015. Bahkan talkshow tersebut bak gayung bersambut dengan tulisan saya bertajuk Nazaruddin Umar dan Paulo Freire tentang IQRA dalam laman pribadi www.suparlan.com. Paulo Freire menegaskan makna sebenarnya membaca. Reading is not walking on the words, but reading is grasping the soul of them. Membaca bukanlah berjalan di atas kata-kata. Tapi membaca adalah menangkap jiwa kata-kata tersebut. Jadi, kenapa pemahaman agama kita sangat rendah? Saya setuju dengan yang dijelaskan oleh Nazaruddin Umar. Sama persis dengan yang dimaknai oleh Paulo Freire, seorang pahlawan pembebasan pendidikan. Paulo Freire membebaskan negaranya Brazil dengan pendidikan. Sama dengan Ki Hadjar Dewantara mebebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda dengan warisan pendidikan “Ing madya sung tulodo, Ing madya mangun karso, Tut wuri handayani.”  Demikian pula Ho Chi Mienh membebaskan negaranya dengan percaya diri bahwa “No teacher, no education; no education, no social-economic development.” Karena itu Mendikbud Anies Baswedan menyebutkan GGD (Guru Garis Depan). Memang guru haruslah menjadi garda terdepan pendidikan ini. Kesimpulannya apa misteri IQRA empat belas abad yang lalu? Adalah karena bangsa ini masih berbudaya ngrumpi? Masih berbudaya gebrak meja, belum berbudaya baca. Belum berbudaya literasi. Mungkinkah itu semua terjadi karena meja di sekolah-sekolah kita bukan meja bundar? Wallahu alam.

Terus tentang GIMM. Gerakan Indonesia Membaca-Menulis. Istilah gerakan, pada era Mendikbud Anies Baswedan menjadi sangat populer. Semuanya menggunakan istilah gerakan. Memang Anies Baswedan tidak bisa diam. Hidup memang harus bergerak. Saya ingat kata-kata mutiara Marthin Luther King Jr. Kata-kata mutiara ini bersemangat. When you can’t fly, just run. When you can’t run just walk. When you can’t walk, just crawl. But whatever you do, you have to keep moving toward. Jika Anda tidak dapat terbang, maka larilah. Jika Anda tidak dapat berlari, maka berjalanlah.  Jika Anda tidak dapat berjalan, maka merangkaklah. Tetapi apapun yang Anda lakukan, Anda harus tetap bergerak ke depan. Itulah semangat yang membuat Mendikbud Anies Baswedan selalu menggebu-gebu dengan menggunakan kata gerakan. Bahkan pendidikan disebutnya sebagai gerakan semesta.

Iqra dan Writing

Gerakan Indonesia Membaca-Menulis. Harus menjadi gerakan anak-anak bangsa di negeri ini. Saya selalu mengajarkan kepada para mahasiswa dalam mata kuliah writing, bahwa dalam mempelajari bahasa, bahasa apa pun, pasti ada empat kompetensi yang harus dikuasai. Apa itu? Listening, speaking, reading, dan writing. Listening adalah yang pertama didengarkan oleh anak-anak dengan telinganya. Makanya cara belajar yang pertama itu adalah mendengarkan. Mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang lain. Tapi cara belajar ini paling lemah. Karena itu orang Cina mengatakan katakan dan saya lupakan. Lalu, anak-anak kita belajar mengatakan “maem, mami, mama,” demikian seterusnya. Setelah itu, anak-anak mulai diberi pelajaran menulis. Setelah itu kompetensi yang terakhir adalah menulis. Karena menulis itu memberi makna pada gambar-gambar tersebut. Grasping the soul of them. Menangkap jiwa gambar atau kata-kata tersebut.  Dengan demikian, proses penguasaan kompetensi tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, anak-anak belajar mencorat-coret. Tembok rumah saya biarkan penuh dengan corat-coret cucu saya. Itulah ekspresi pertama mereka yang harus diberikan peluang. Para ibu menjadi guru pertama dan utama. Para ibu memulai pelajaran ini dengan membuat lingkaran besar (untuk menggambarkan kepala), terus lingkaran kecil, lingkaran kecil (untuk menggambarkan dua mata dalam lingkaran besar tersebut). Pastilah anak-anak akan tersenyum lebar. Baru digambar rambut di gundulnya, dua telinga, leher, dan seterusnya. Jadilah kepala manusia yang sedang berceloteh menurukan celoteh gurunya. Gerakan Indonesia Membaca-Menulis dapat dimulai dengan cara kegiatan mencorat-coret tersebut. Klimak keempat kompetensi dalam belajar bahasa itu berlangung sedemikian rupa. Klimanknya adalah kompetensi menulis. Gerakan Literasi Sekolah sudah diterbitkan Permennya, Nomor 21 Tahun 2015. Marilah kita mulai dengan membiasakan membaca non-mata pelajaran selama lima belas menit  sebelum pelajaran dimulai. Tentu mulailah dengan berdo’a sebelumnya. Bagi yang beragama Islam, teruskan dengan membaca IQRA.  Maknanya adalah “Bacalah, bacalah, bacalah dengan menyebut nama Tuhan-mu, Tuhan-mu menciptakan manusia dengan segumpal darah, bacalah dan Tuhan-mulah yang maha pemurah, yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam (wahyu), yang mengajari manusia apa yang tidak diketahuinya.” Insya Allah.

*) Laman: www.suparlan.coml;  Surel: me@suparlan.com; *) Kritik dan masukan untuk tulisan ini akan saya simpan dalam guci emas, untuk penyempurnaan tulisan yang akan datang.

Depok, 15 Februari 2016.

Tags: Gerakan Literasi Sekolah, GIMM, Iqra, membaca, menulis

Related Articles

2 Komentar. Leave new

  • dadang adnan dahlan
    Senin, 15 Feb 2016 23:48:42

    GAYUNG BERSAMBUT adalah dua kata indah yang Pak Parlan torehkan dalam tulisan di atas. Saya yakin, kata majemuk ini selalu menuju ke arah kebaikan, sesuai dengan keinginan hati dan maksud baik tersirat maupun tersurat. Berbeda dengan ‘bertepuk sebelah tangan’ yang selalu mengandung makna kontradiktif. Maksud saya, rasanya bibir ini kelu ketika Pak Parlan ‘membanjiri’ tulisan penuh makna dalam lamannya, namun saya tidak bisa memberikan tanggapan atau komentar oleh karena keterbatasan pengetahuan saya, atau saya belum menulis tema yang bersinggungan dengan yang Pak Parlan sajikan. Makanya, beberapa artikel Pak Parlan terlewat dari komentar saya.
    Gayung bersambut kali ini, oleh karena tema literasi, membaca, buku, dan perpustakaan pernah saya tulis — tentu dalam untaian ‘puisi’, misalnya tajuk (1) Perpustakaan yang Asri, (2) Bahasa Resmi “Ketujuh” PBB, (3) Remaja Melek Media, (4) Belajar Bersama Maestro (BBM), dan (5) Tiga Fondasi Pembangun Peradaban. Terus terang saja, Mas Menteri — demikian Pak Parlan sebutkan untuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies R. Baswedan — berkali-kali menginspirasi saya untuk ‘mengamini’ kebijakannya melalui untaian puisi seperti berikut ini.

    TIGA FONDASI PEMBANGUN PERADABAN
    Karya Dadang Adnan Dahlan

    Tujuh Belas Mei monumental
    Hari Buku Tingkat Nasional
    Cerdaskan akal, kinerja handal
    Songsong tantangan — global universal

    Delapan September fenomenal
    Hari Aksara Internasional
    Membaca menulis pangkal awal
    Hidup cemerlang — prestasi optimal

    Empat Belas September rujukan
    Hari Kunjungan Perpustakaan
    Literatur bentangkan wawasan
    Portal ilmu — gerbang pengetahuan

    Aksara, Buku, Perpustakaan
    Tiga serangkai tak ‘kan terpisahkan
    Fondasi pembangun peradaban
    Cermin kemajuan kenegaraan

    Generasi Indonesia unggul…
    Siap genggam dunia… !!

    Jatinangor, 1 Juni 2015/13 Januari 2016 (Rev.)

    Balas
  • dadang adnan dahlan
    Senin, 15 Feb 2016 23:43:53

    GAYUNG BERSAMBUT adalah dua kata indah yang Pak Parlan torehkan dalam tulisan di atas. Saya yakin, kata majemuk ini selalu menuju ke arah kebaikan, sesuai dengan keinginan hati dan maksud baik tersirat maupun tersurat. Berbeda dengan ‘bertepuk sebelah tangan’ yang selalu mengandung makna kontradiktif. Maksud saya, rasanya bibir ini kelu ketika Pak Parlan ‘membanjiri’ tulisan penuh makna dalam lamannya, namun saya tidak bisa memberikan tanggapan atau komentar oleh karena keterbatasan pengetahuan saya, atau saya belum menulis tema yang bersinggungan dengan yang Pak Parlan sajikan. Makanya, beberapa artikel Pak Parlan terlewat dari komentar saya.
    Gayung bersambut kali ini, oleh karena tema literasi, membaca, buku, dan perpustakaan pernah saya tulis — tentu dalam untaian ‘puisi’, misalnya tajuk (1) Perpustakaan yang Asri, (2) Bahasa Resmi “Ketujuh” PBB, (3) Remaja Melek Media, (4) Belajar Bersama Maestro (BBM), dan (5) Tiga Fondasi Pembangun Peradaban. Terus terang saja, Mas Menteri — demikian Pak Parlan sebutkan untuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies R. Baswedan — berkali-kali menginspirasi saya untuk ‘mengamini’ kebijakannya melalui untaian puisi seperti berikut ini.

    TIGA FUNDASI PEMBANGUNAN PERADABAN
    Karya Dadang Adnan Dahlan

    Tujuh Belas Mei monumental
    Hari Buku Tingkat Nasional
    Cerdaskan akal, kinerja handal
    Songsong tantangan — global universal

    Delapan September fenomenal
    Hari Aksara Internasional
    Membaca menulis pangkal awal
    Hidup cemerlang — prestasi optimal

    Empat Belas September rujukan
    Hari Kunjungan Perpustakaan
    Literatur bentangkan wawasan
    Portal ilmu — gerbang pengetahuan

    Aksara, Buku, Perpustakaan
    Tiga serangkai tak ‘kan terpisahkan
    Fondasi pembangun peradaban
    Cermin kemajuan kenegaraan

    Generasi Indonesia unggul…
    Siap genggam dunia… !!

    Jatinangor, 1 Juni 2015/13 Januari 2016 (Rev.)

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts

Puisi

Guruku, Pahlawanku

Oleh: Suparlan   Selain ayah-bunda dan kakek-nenek tercinta, Orang berikutnya yang sangat mulia, Di mata hatiku satu-satunya, Adalah…