ArtikelPendidikan

Mengkritisi Komite Sekolah

171 views
1 Komentar

Oleh Suparlan *)

Satu hal yang patut disyukuri pada era reformasi adalah imbas positif terhadap dunia pendidikan. Otonomi daerah yang dilegalisasi lewat Undang-undang  Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan kemudian disempurnakan menjadi UU Nomor 32 tahunn 2004, menjadi rahim yang telah melahirkan desentralisasi pendidikan. Paradigma lama yang menempatkan pemerintah pusat sebagai pemegang kebijakan utama (sentralisasi) dikikis sedemikian rupa menjadi paradigma baru yang lebih populis.

Ciri utama desentralisasi pendidikan yaitu pelibatan orangtua siswa dan masyarakat dalam menentukan kebijakan pendidikan. Dua komponen ini bekerjasama dengan sekolah, duduk dalam satu meja, merencanakan dan mendiskusikan bagaimana menyelesaikan masalah pemerataan pendidikan sekaligus juga meningkatkan mutu pendidikan.

Dulu, sebelum orde reformasi, antara orangtua dan pihak sekolah diwadahi dalam lembaga Persatuan Orangtua Murid dan Guru (POMG). Kemudian, sejak 1993, POMG berubah menjadi Badan Pembantu Pelaksanaan Pendidikan (BP3). Badan inilah yang secara fungsional membantu sekolah menyelesaikan persoalan pendidikan di sekolah yang bersangkutan. Namun dalam perjalanannya badan ini sekadar berperan dalam aspek finansial. Secara hirarkis pun dikontrol oleh kepala sekolah dan menjadi alat legalnya untuk menarik berbagai pungutan kepada orangtua siswa.

Memasuki era desentralisasi pendidikan, upaya pelibatan orangtua dan sekolah dalam satu wadah diperkaya lagi dengan memasukkan unsur masyarakat. Ketiga komponen ini disatukan dalam wadah Komite Sekolah sesuai Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite sekolah.

Komite Sekolah merupakan badan mandiri yang dibentuk dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan. Ia menjadi ruang bagi orangtua, masyarakat, dan pihak sekolah menyampaikan aspirasi dan merumuskan kebijakan bagi peningkatan pendidikan di sekolah. Ia merupakan badan independen yang tidak memiliki hubungan hirarkis dengan Kepala Sekolah. Ia menjadi mitra kepala sekolah dalam menjalankan peran dan fungsinya dalam memajukan sekolah.

Buku ini mengupas secara rinci perjalanan Komite Sekolah sejak awal berdiri hingga perkembangan terkini. Diuraikan pula integralitas pendidikan yang oleh Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara disebut Tripusat Pendidikan. Ki Hajar Dewantara mengatakan pendidikan berlangsung di keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Hasil analisis buku ini menyatakan, relasi antara pendidikan di keluarga, sekolah, dan masyarakat (Tripusat Pendidikan) di Indonesia pada saat ini masih berkisar antara paradigma lama dan transisional. Hal demikian terindikasi dalam kondisi sebagai berikut: (1) Keluarga, sekolah, dan masyarakat masih memandang hasil belajar siswa lebih pada sisi kemampuan akademik dan pengetahuan, (2) Hubungan keluarga dan sekolah masih bersifat satu arah, hirarkis, dan birokratis, (3) Antara keluarga dan sekolah masih bersifat saling defensif, (4) Perbedaan kultural dan sosial masih kurang mendapatkan perhatian secara wajar, (5) Sekolah sering memandang masyarakat sebagai orang lain atau pihak yang berada di luar sekolah, kecuali diperlukan.

Paradigma tersebut sangat memengaruhi perjalanan Komite Sekolah. Bahkan terjadi pula “ketegangan-ketegangan” seputar relasi antara Komite Sekolah dan Kepala Sekolah. Di lapangan, pada sejumlah kasus, Komite Sekolah hanya sebagai “stempel” Kepala Sekolah. Ia menjadi alat legalisasi Kepala Sekolah dalam menentukan berbagai kebijakan di sekolah. Di kutub berbeda, Komite Sekolah memosisikan diri lebih superior ketimbang Kepala Sekolah. Apapun gerak-gerik Kepala Sekolah diawasi. Bila Kepala Sekolah melakukan kesalahan sekecil apapun, Komite Sekolah akan mengadukannya kepada Dinas Pendidikan setempat. Kalau perlu, diusulkan untuk diganti.

Buku ini ditulis secara bersama oleh Ir. Sri Renani Pantjastuti, M.Si., Drs. Agus Haryanto, M.Ed., Drs. Suparlan, M. Ed., dan Yudistira, S.Sos., M.Si. Semuanya bekerja di Bagian Perencanaan Sekretariat Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. Kendati kesemua penulis nota bene bagian dari aparat birokrasi, namun dalam penyajian buku ini mereka seolah “melupakan” atribut tersebut. Catatan-catatan mereka amat kritis terhadap aparat birokrasi pendidikan yang menyebabkan pendidikan makin merosot.

Itu terlihat dalam sikap mereka terhadap kasus bunuh diri yang dilakukan siswa lantaran belum membayar uang sekolah. “Jika di satu sekolah terdapat siswa bunuh diri karena malu belum membayar uang sekolah, maka apakah yang harus dilakukan oleh guru, Kepala Sekolah, Ketua Komite Sekolah, Ketua Dewan Pendidikan, Kepala Desa, atau juga Kepala Dinas Pendidikan di Kabupaten/Kota, dan juga Bupati atau Walikotanya? Hanya ada satu jalan keluar yang mungkin dipandang sangat tepat, yakni mengundurkan diri secara jantan dari jabatan yang diemban. Karena fenomena itu dapat menjadi bukti tentang ketidakmampuannya mengurus pendidikan.” (hal.116-117).

Dengan mengambil posisi demikian, mereka dapat secara kritis dan komprehensif memandang Komite Sekolah. Pembahasannya juga dilengkapi contoh kasus di lapangan sehingga buku ini jauh dari kesan Buku Panduan. Buku ini sangat layak dijadikan referensi bagi aparat birokrasi pendidikan, akademisi, dan masyarakat umum yang ingin mengenal Komite Sekolah lebih dekat lagi. Berguna pula bagi para pengambil kebijakan yang menginginkan dunia pendidikan menjadi lebih baik.

Tentang buku ini selengkapnya dapat dilihat di sini: Komite Sekolah, Sejarah dan Prospeknya di Masa Depan

*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.

Tags: Komite Sekolah

Related Articles

1 Komentar. Leave new

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts

Artikel

Puisi Untuk Guru

*** Mengajar berarti belajar lagi (Oliver Wendell Holmes) Guru biasa memberitahukan Guru baik menjelaskan Guru ulung memeragakan Guru…