ArtikelPendidikan

Mencegah dan Memberantas KKN dalam Dunia Pendidikan

190 views
Tidak ada komentar

Oleh Suparlan *)

In education, bribes in teacher recruitment and promotion tend to lower the quality of teachers, and illegal payments demanded for school entrance, along with other hidden costs, contribute to low enrolment and high droput rates
(EFA Global Monitoring Report 2005)

Dalam dunia pendidikan, suap dalam proses seleksi dan promosi guru cenderung menyebabkan terjadinya kualitas guru yang rendah, dan berbagai macam biaya pendidikan ilegal yang diminta untuk masuk sekolah, juga biaya-biaya tersembunyi lain, menyumbang untuk terjadinya kemasukan sekolah yang rendah dan angka putus sekolah yang tinggi
(EFA Global Monitoring Report 2005)

Bagi sebagian kalangan, tulisan ini mungkin hanya dipandang sebagai gaung di siang bolong, lepas tak berbekas. Juga dipandang sebagai tulisan yang sok moralis, sok suci sendiri. Karena mereka beranggapan bahwa tidak ada seorang pun yang tidak melakukan KKN di negeri tercinta Indonesia ini. KKN telah merambah ke semua lapisan masyarakat. Di desa-desa, di kota-kota besar, konon telah menyebar virus KKN yang amat berbahaya bagai kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara ini. Saking pesimisnya, sampai-sampai seorang ustad muda menyatakan dengan keras bahwa sekarang ini di mana-mana masjid telah dibangun dengan besar dan megah, tetapi toh KKN tetap jalan terus. Itulah sebabnya, bagi banyak kalangan tulisan ini dapat diibaratkan sebagai anjing menggonggong, tapi kafilah tetap berlalu.

Bagi sebagian kalangan lainnya, tulisan ini masih tetap diperlukan, setidaknya untuk saling ingat-mengingatkan tentang yang haq.

Dimana KKN terjadi?

Sungguh penulis merasa terkesan dengan tulisan dalam EFA Global Monitoring Report 2005 yang telah mengutip tulisan Hallak dan Poisson (2004) tentang bentuk-bentuk KKN terjadi di sektor pendidikan. Dalam bentuk tabel yang apik, praktik-praktik KKN itu diklasifikasikan berdasarkan bidang kegiatan dalam penyelenggaraan pendidikan.

No.

Bidang kegiatan

Praktik KKN

1

Pembangunan sekolah
  • Penggelapan dalam proses tender
  • Penipuan
  • Pemetaan sekolah

2

Peralatan, buku pelajaran, makanan
  • Penggelapan dalam proses tender
  • Penipuan
  • Pengurangan kriteria

3

Manajemen/penugasan guru
  • Favoritisme
  • Nepotisme
  • Suap

4

Perilaku guru
  • Guru hantu (tidak pernah masuk sekolah)
  • Suap dalam penerimaan siswa baru, ulangan, ujian, dsb.

5

Keuangan
  • Distorsi peraturan dan prosedur keuangan
  • Menaikkan biaya dan kegiatan
  • Penggelapan alur keuangan

6

Bantuan (seperti beasiswa, subsidi, dsb)
  • Favoritisme
  • Nepotisme
  • Suap
  • Pengurangan kriteria

7

Ujian
  • Penjualan informasi (soal ujian bocor, melalui SMS segala, penulis).
  • Favoritisme
  • Suap
  • Penggelapan akademis

8

Sistem informasi
  • Manipulasi data
  • Seleksi/pengurangan data

Sumber: Hallak dan Poisson (2004) dalam EFA Global Monitoring Report 2005, hal. 185.

Apakah sebenarnya kita atau para pegiat dalam bidang pendidikan atau para pemeriksa dan para petugas pengawasan fungsional itu belum mengetahui praktik-praktik KKN yang telah terjadi selama ini? Wowww. Sudah. Bahkan barangkali sudah mengetahui lebih dari apa yang dipaparkan dalam tabel tersebut. Konon KKN pada saat ini tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi di bawah laci, tetapi telah dilakukan secara terbuka di atas meja kerja. Weleh-weleh begitukah?

Ya. Satu contoh KKN telah berkembang pesat bukan saja di tingkat pusat atau di tingkat dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota, malah bisa terjadi di siang bolong di sebuah sekolah, yang telah menerima dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Kegiatannya persis sama dengan nomor 2 dalam tabel tersebut, yakni pengadaan buku pelajaran. Sekolah mungkin sudah mengetahui bahwa ketentuan bahwa buku pelajaran harus digunakan minimal 3 (tiga) tahun. Tetapi kenyataannya, buku pelajaran selalu berganti. Siapa yang punya ide mengganti buku pelajaran itu. Tentu saja ditawarkan oleh para penjual buku yang datang ke sekolah dengan iming-iming hadiah, atau bahkan dengan menyogok guru yang diberi tugas untuk mengkoordinasikan pengadaan buku pelajaran. Toh, anggaran untuk itu telah tersedia di BOS. Dengan mudahnya, guru itu mengatur proses pembelian buku pelajaran itu dengan praktik-praktik KKN dalam tabel tersebut, yakni bisa penipuan, bisa pengurangan kriteria (buku yang ditawarkan ternyata belum memperoleh izin dari Mendiknas), dan bisa juga dengan sogokan sejumlah lembar rupiah tertentu. Mengapa guru dapat melakukan semua itu? Antara lain karena belum terpenuhinya syarat pekerjaan guru sebagai profesi. Salah satu syarat adalah guru memperoleh kontraprestasi (gaji) yang sesuai dengan standar hidup (Suparlan, 2006: 75).

Praktik KKN bisa juga dilakukan oleh petugas yang lebih tinggi, bukan hanya oleh guru yang bertugas di depan kelas saja, tetapi oleh pejabat dinas dengan gaya mengadakan monitoring dan evaluasi. Berdua atau bahkan bertiga datang ke sekolah. Kepala sekolah mungkin juga menyodorkan buku tamu segala. Dan setelah haha hihi kepada kepala sekolah, akhirnya pamitlah sang pejabat ini. Dua atau tiga map — lengkap dengan amplopnya — memang telah disediakan oleh kepala sekolah. Masing-masing petugas dari dinas tersebut menerima map tersebut, dan terjadilah praktik KKN yang demikian jelas. Seorang guru ada yang sengaja mencolek kawannya. Itu tuh … sang kepala sekolah pun bergegas kembali ke ruang kerjanya dengan nafas lega??

Praktik KKN bisa jadi melalui cara lain yang tidak hanya melibatkan orang dalam, melainkan juga karena faktor ektern. Di sekolah tertentu — sengaja tidak disebutkan lokusnya — telah kedatangan tamu yang tak diundang. Seorang yang mengaku sebagai wartawan ingin bertemu dengan kepala sekolah. Eeee, kebetulan sang kepala sekolah sedang tidak di tempat. “Besuk saja saya akan datang lagi”, katanya kepada seorang guru yang menemuinya.

Betul juga, besuk agak siang, seorang yang mengaku wartawan itu — mungkin memang betul wartawan — datang menemui kepala sekolah. Wartawan itu menyatakan bahwa ia telah menghadap kepala dinas, dan telah memperoleh katebelece bahwa anaknya agar diterima di sekolah ini. Dengan serta merta kepala sekolah memanggil wali kelas, dan meminta agar anak sang wartawan ini dapat diterima, atas katebelece kepala dinas. Meski kelasnya sudah penuh, tapi sekolah tidak bisa lagi menghindar dari praktik KKN yang satu ini. Bahkan beberapa hari kemudian, sang wartawan lain pun datang ke sekolah ini, minta data tentang penggunaan dana BOS. Data pun diberikan, dan bahkan sebuah amplop pun juga telah diberikan kepadanya.

Itulah sekedar gambaran yang berhasil direkam dari sebuah pembicaraan dengan seorang guru yang tentu saja tidak patut untuk disebutkan dalam tulisan ini. Karena tulisan ini sekadar ingin menggambarkan kepada kita tentang praktik-praktik KKN yang sebenarnya sudah terjadi sampai di garda terdepan institusi pendidikan kita.

Mencegah atau Memberantas?

Dalam dunia kesehatan, mencegah memang lebih baik daripada mengobati. Demikian juga dalam praktik KKN ini. Di Malaysia ada BPR (Badan Pencegah Rasuah, rasuah artinya sogok), dan di Indonesia, setelah beberapa kali berubah nama, sekarang ini ada KPK (Komite Pemberantasan Korupsi). Taring KPK sudah mulai panjang dan tajam. Sudah banyak yang sudah dimakannya, meski ia harus memakan salah seorang petugasnya sendiri. Tapi masih banyak lagi kakap yang belum berhasil dieksekusi. Banyak pihak yang merasa bingung tentang dari mana pemberantasan KKN dapat dimulai? Mencegah atau memberantas, atau memang harus kedua-duanya. Bahkan ada pihak yang sangat pesimistis menghadapinya. Mana mungkin dapat memberantas atau mencegahnya. Karena KKN telah berada di hulu sampai di hilir. Dalam hal ini SBY sendiri pernah menyatakan bahwa pemberantasan KKN memerlukan waktu yang lama. Tidak sama dengan membalikkan tangan.

Lalu apa strategi yang harus ditempuh? Penulis kembali terkesan, karena dalam EFA Global Monitoring Report 2005 pun juga telah disebutkan tentang strategi itu. Dalam sebuah subtajuk “Preventing and Combating Corruption” buku itu menyebutkan catatan berikut ini.

“The most successful three strategies in combating corruption in education are (1) setting up and maintaining regulatory systems, (2) strengthening management capacities and (3) increasing ownership of the management process” (EFA Global Monitoring Report 2005, hal. 187).

Dengan kata lain, KKN di dunia pendidikan harus diberantas dengan tiga strategi, yakni (1) membuat sistem peratuan dan perundang-undangan dan memantapkan sistem yang telah ada, (2) memperkuat kemampuan manajemen, dan (3) meningkatkan rasa memiliki dalam proses manajemen. Ketiga strategi ini dijabarkan dalam beberapa kegiatan penting sebagai berikut.

Membuat dan memperkuat sistem peraturan perundang-udangan dapat dilakukan dengan: (1) menerapkan konsep reward and penalties atau penghargaan dan hukuman bagi pelaksana atau penanggung jawab kegiatan, (2) merancang norma-norma dan kriteria-kriteria dalam prosedur yang jelas (misalnya tentang alokasi dana, atau pengadaan barang), serta (3) menentukan ukuran sasaran yang akan dicapai dengan jelas, terutama untuk dana dan alokasinya.

Sementara untuk memperkuat kemampuan manajemen dilakukan dengan cara: (1) membuat mekanisme kontrol yang dapat menghindari penggelapan, (2) memastikan bahwa peraturan-peraturan dapat dilaksanakan dengan meningkatkan kemampuan institusional, serta dengan (3) meningkatkan perilaku susila dalam kehidupan bermasyarakat dan berinstitusi.

Sedangkan untuk meningkatkan rasa memiliki atau “melu handarbeni” di kalangan pelaksana pendidikan dilakukan dengan: (1) mengembangkan mekanisme desentralisasi dan peran serta pelaksana, (3) meningkatkan akses melalui teknologi informasi, dan (4) memberdayakan masyarakat untuk dapat melakukan kontrol sosial.

Lalu, apakah semua praktik tersebut belum dapat ditengarai, dan apakah langkah-langkah dari ketiga strategi tersebut belum dibuat dan dilaksanakan? Jawabannya memang ada yang sudah dan ada yang belum. Misalnya, pemberian penghargaan dan hukuman belum dilaksanakan dengan konsekuen. Norma-norma dan kriteria-kriteria tentang prosedur pengadaan barang dan jasa memang sudah dibuat tetapi mungkin kurang dapat dilaksanakan dengan konsekuen. Mekanisme desentralisasi memang sudah dilaksanakan, tetapi kenyataannya jutru malah telah melahirkan raja-raja kecil, yang kurang dapat diikuti dengan mekanisme pengawasan yang ketat, karena pengawasnya juga ikut menyuburkan praktik KKN sendiri.

Mengubah Sistem atau Manusianya?

Penulis jadi ingat ceramah dari pakar motivasi James Gwee dari Academy of Singapore yang mengajukan satu pertanyaan “mana yang lebih mudah membangun atau mengubah sistem atau mengubah manusianya”. James Gwee memberikan contoh yang cukup jelas dengan membandingkan antara sistem dan perilaku manusia Singapura dan Indonesia. Katanya, yang paling mudah adalah mengubah sistem, karena mengubah perilaku manusia sangatlah sudah. Apalagi perilaku itu telah menjadi “kebiasaan” atau semacam “budaya” yang telah melekat pada tingkah laku manusia. Manusia Indonesia yang tidak biasa dengan budaya antri, saling mendahului dalam lalu lintas di jalan raya, sogok dan suap di jalan raya (seperti yang pernah ditayangkan di televisi), dan banyak lagi yang lain. Tetapi kenapa kalau mereka berada di Singapura mereka akan berlaku tertib dan displin? Meski pertama karena takut kena denda! Tidak lain karena di Singapura telah terbangun satu sistem yang mantap, lengkap dengan sistem hukum yang pasti. James Gwee memberikan contoh lagi antara perilaku pengendara di Glodog dengan di Jalan Panglima Sudirman. Mana yang lebih tertib dan disiplin? Tentu saja lebih tertib di Jalan Panglima Sudirman. Mengapa? Karena ada sistem yang mengaturnya.

Jadi, pencegahan dan pemberantasan KKN di dunia pendidikan tidak boleh tidak harus dimulai dengan membangun sistem yang jelas, mulai dari hulu sampai dengan muara. Sistem yang jelas mulai dari perencanaan anggaran, pengesahannya di DPR, pembahasannya di Bappenas/Depkeu, pelaksanaannya di instansi pengguna anggaran, serta pengawasannya oleh pemeriksa dan pengawas fungsional. Reformasi harus berlaku total, bukan parsial. Demikian juga dengan reformasi pendidikan. Revitalisasi pendidikan nasional juga harus berlaku total, bukan parsial. Dengan demikian, pencegahan dan pemberantasan KKN tidak hanya dilakukan di instansi pelaksana (eksekutif), tetapi juga di lembaga legislatif, dan bahkan juga di lembaga atau institusi yang melakukan pemeriksaan dan pengawasan. Tidak ada percaloan di lembaga legislatif, tidak ada distorsi pelaksanaan kegiatan (umumnya dalam kegiatan perjalanan?), tidak ada sogok-menyogok dalam proses pemeriksaan dan pengawasan, demikian seterusnya. Insyaallah pencegahan dan pemberantasan KKN dapat dilakukan sesuai dengan harapan.

3M dari Aa Gym

Untuk mengakhiri tulisan ini, marilah kita saling ingat-mengingatkan kepada hal-hal yang haq dan dengan melalui jalan kesabaran. Nasihat Aa Gym perlu menjadi pegangan. Marilah mulai dari diri sendiri, mulailah dari yang kecil-kecil, dan mulailah dari sekarang juga. Insyaallah, negeri ini tidak akan tercatat lagi sebagai negeri dengan seribu satu korupsi. Wallahu alam bishawab.  

Bahan Pustaka:

  • Education for All. 2004. EFA Global Monitoring Report 2005. Prance: UNESCO Publishing.
  • James Gwee. Smart Motivation.
  • Suparlan. 2006. Guru Sebagai Profesi. Yogyakarta: Hikayat.

*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com. Mantan Kepala Bidang Pelayanan Teknis, PPPG Matematika Yogyakarta.

Depok, 20 Agustus 2006

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts