ArtikelBudaya

Air dan Listrik: Cerita dari Negeri Kanguru

163 views
Tidak ada komentar

Oleh Suparlan *)

Jangan pernah meragukan keberhasilan sekelompok kecil orang yang bertekad mengubah dunia, bahkan hanya kelompok seperti itulah yang pernah berhasil melakukannya
(Margaret Mead).

Yang penting di dunia ini bukanlah tempat di mana kita berada, tapi arah yang kita tuju
(Oliver Wendell Holmes).

Seorang teman yang belajar Bahasa Inggris di Australia dan tinggal di rumah (home stay) orang Australia, ia bercerita tentang pengalamannya yang sungguh amat menarik untuk ditulis dalam tulisan ini. Mudah-mudahan pengalaman itu dapat kita gunakan sebagai bahan pelajaran berharga untuk mengarungi hidup ini. Belajarlah selalu, walau sampai ke negeri Cina. Cerita itu – entah mengapa – sangat sesuai dengan fenomena kehidupan di negeri sendiri, Indonesia. Secara singkat dinyatakan bahwa orang Indonesia berbeda seratus delapan puluh derajat dengan orang Australia. Konon, orang Indonesia boros alias tidak hemat, khususnya dalam hal penggunaan air dan listrik dalam kehidupan sehari-hari. Padahal orang boros saudaranya setan. Oh tidak!!!

Tulisan supersingkat ini ditulis karena dorongan untuk menjadi bahan pelajaran berharga bagi siapa saja yang ingin hidup hemat, khususnya hemat air dan listrik.

Paradok

Paradok telah terjadi di mana-mana di negeri tercinta ini, baik fenomena alam maupun fenomena sosial budayanya. Sebagai contoh, ketika Kota Jakarta Raya mengalami banjir bandang, Kabupaten Gunung Kidul masih mengalami kekeringan yang panjang. Bukan hanya itu. Ketika hujan mengguyur Kota Depok berhari-hari, justru air bersih dari PAM-nya telah mati total selama tiga hari, dan telah membuat sebagian warga antri air bersih dari pompa sumur tetangga. Bahkan, lebih dari sekedar fenomena alam, fenomena sosial ekonomi pun tidak kalah paradoknya. Ketika bantuan tunai langsung (BTL) diberikan kepada banyak orang miskin di negeri ini, justru banyak orang miskin dan orang cacat fisik yang telah mengemis di banyak perempatan jalan raya. Paradok juga terjadi dalam dunia pendidikan. Ketika sang ayah berdebat seru dengan istrinya gara-gara uang sekolah yang naik, harga buku yang juga naik, sang ayah sama sekali tidak pernah berdiskusi dengan sang istri ketika harus ia membeli sebungkus rokok (Prof. Suyanto, Ph.D, dalam satu acara pembukaan kegiatan pelatihan Integrasi Imtaq–Iptek). Memang, banyak sekali berbagai bentuk paradok yang tidak mungkin akan disebutkan satu persatu dalam artikel yang supersingkat ini.

Paradok dalam tulisan ini akan lebih dikhususkan untuk masalah air dan listrik di negeri ini. Ketika PLN menjadi BUMN yang lebih banyak merugi, ketika itu banyak permintaan sambungan listrik (tidak resmi?) yang ternyata juga dilayani dengan mudah dari rumah-rumah liar dan PKL di pinggir jalan raya. Ketika ketentuan tentang tata ruang tidak mendapatkan perhatian dari para pengembang dan pejabarnya, ketentuan tata uang justru menjadi perhatiandan dan perhitungan yang sangat serius bagi keduanya. Ketika air pegunungan telah menjadi komoditas yang dijual dengan harga yang cukup tinggi, IDI dan LSM lain telah menggunakan mesin purifier untuk mengolah air sungai Ciliwung untuk dibagikan kepada korban banjir. Ketika tanah di semua pantai telah banyak direklamasi untuk dijadikan lokasi apartemen dan tempat wisata air, pemerintah meminta kepada para pengembang untuk membuat situ-situ buatan yang berfungsi sosial untuk menyerap banjir.

Kesan Orang Australia Terhadap Orang Indonesia

Orang Australia merasa tidak akan mau lagi menerima orang Indonesia untuk homestay di rumahnya. Betul-betul orang Australia tidak mau menerima jika yang homestay itu dari Indonesia. Orang Indonesia tidak atau kurang mampu dalam hal manajemen air dan listrik (water and electric management). Apa sebab? Sudah demikian fatalkah kesalahan orang Indonesia di mata orang Australia? Orang Indonesia dikenal sangat boros dengan air dan listrik. Mandi kering kebanyakan orang Indonesia di kamar mandi di rumahnya betul-betul telah membuat tembok dan lantai kamar mandi itu basah di mana-mana. Budaya mandi cebar-cebur di sungai atau di bak kamar mandi yang besar di Indonesia ternyata diterapkan ketika berada di negeri kanguru itu. Indonesia memang dikenal dengan kolam susu, negara maritim yang kaya akan air dan segala macam sumber hayatinya. Sedang Australia benua terkecil di dunia ini terkenal dengan kawasan gurun yang garang, Maklum saja orang Indonesia boros dengan air, sedang orang Australia dikenal memang sangat hemat dengan air.  Ketika kita membuka kran di Australia, maka kran itu akan segera berbunyi “stop please” jika airnya keluar terlalu kencang. Bahkan ketika orang Australia telah siap tidur, maka ia akan segera mematikan semua lampu di rumahnya dengan tujuan agar dapat menghemat penggunaan listrik. Penggunaan air dan listrik di negara yang maju ini tergolong sangat hemat berkat budaya hemat rakyatnya, padahal pasokan air dan listrik di negeri ini boleh dikatakan cukup banyak. Sungai Angsa Hitam (Black Swan River) Australia Barat seyogyanya dapat menjadi contoh program kali bersih (prokasih) di banyak kota di Indonesia. Hemat air dan listrik adalah budaya yang sudah barang tentu dapat menyumbang peningkatan kekayaan negara. Sementara itu, pola hidup boros dalam hal penggunaan air dan listrik di Indonesia sudah tentu akan semakin mamacu banyaknya orang miskin di Indonesia. Sudah miskin, tapi boros. Begitulah kira-kira kesimpulan yang dapat dipetik dari fenomena penggunaan air dan listrik di Indonesia.

Hutan, Air, dan Listrik

Ketiga komponen ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hutan akan menghasilkan kompos yang menjadi menyimpan air. Dengan demikian, dimana hutan di bukit dan gunung serta permukaan tanah sudah menjadi gundul karena eksploitasi tanpa henti, maka tidak ada lagi cadangan air. Akibatnya, jika hutan mengguyur bumi, maka sedimentasi akan menyebabkan terjadinya proses pendangkalan di danau-danau dan bahkan bendungan yang digunakan sebagai pembangkit tenaga listrik air (PLTA). Jika kondisi itu diperparah dengan tidak adanya situ-situ dan rawa-rawa yang telah disulap jadi pemukiman penduduk, maka air sudah tidak lagi mempunyai tempat yang nyaman untuk bertempat tinggal. Maka terjadilah bencana yang ditimbulkan dari aliran air yang tidak dapat terurus dengan baik. Akibatnya, terjadilah banjir bah dan longsor tanah di berbagai tempat, dan sebaliknya kekeringan di tempat yang lain. Bencana yang ditimbulkan dari kerusakan lingkungan tersebut hendaknya mengingatkan tentang perlunya kita belajar dari budaya orang Australia yang sangat hemat terhadap air dan listrik. Budaya itu bersumber dari kecerdasan natural yang dimiliki oleh orang Australia, yakni sangat mencintai alam, binatang (vauna) dan tumbuh-tumbuhan (flora). Alam yang indah, air yang melimpah, hutan yang lebat yang didendangkan oleh Koes Plus pastilah akan tingkat syair lagu, yang tidak akan ada dalam kehidupan, jika budaya hemat air dan listrik tidak kita bangun sejak sekarang. Tidak ada kata terlambat untuk melakukan yang positif, sekecil apa pun. Yang penting di dunia ini bukanlah tempat di mana kita berada, tapi arah yang kita tuju (Oliver Wendell Holmes). Yang harus kita tuju adalah membangun negara dan bangsa ini dengan model pembangunan yang berwawasan lingkungan, agar negeri yang kita huni menjadi warisan yang aman dan nyaman bagi generasi mendatang.

Akhir Kata

Jika manusia Indonesia masih juga boros dalam penggunaan air dan listrik, dan jika manusia Indonesia tidak dapat mengelola air dan listrik dengan baik, maka alam akan memberinya musibah dengan banjir dan tanah longsor. Ketika situ-situ dan rawa-rawa telah disulap menjadi apartemen dan perumahan mewah, maka air segera menuntut hak untuk menempatinya kembali. Ketika banyak orang yang membuang-buang air dengan pola penggunaan air secara boros, maka konsekuensinya adalah terjadinya kekurangan air di suatu ketika dan ketika yang lain diberikan juga sekaligus bah air di mana-mana. Apalagi kalau serapan tidak pernah mendapatkan perhatian dari semua pihak. Demikian juga jika manusia telah berlaku boros dalam menggunakan listrik. Akankah kita akan kembali ke kehidupan di gua-gua tanpa penerangan listrik? Semua fenomena alam dan budaya itu akan menjadi bahan pelajaran bagi orang-orang yang berfikir.

*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.

Depok, 10 Januari 2007

 

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts