Oleh Suparlan *)
Mendidik pikiran tanpa pendidikan untuk hati sama dengan tidak ada edukasi
(Aristotle, 384 BC – 322 BC, Filsuf Yunani)Learning has become the first citizens’ first duty.
Stop learning and you stop living
(Karlheiners A Geester)
Dewasa ini kita mengenal berbagai macam metode mengajar. Mulai dari metode mengajar yang sangat konvensional, misalnya metode ceramah atau kuliah, sampai dengan metode mengajar kontemporer, misalnya metode proyek. Secara rinci dengan contoh-contoh yang bervariasi, Prof. Dr. Marion Jenning Rice menjelaskan empat kategori dalam modul yang ditulisnya pada tahun 80-an untuk para guru di Indonesia. Mudah-mudahan buku itu dapat penulis susun kembali menjadi satu buku dengan gaya penulisan yang berbeda, sebagai rasa hormat saya kepada beliau. Beliau telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat mengikuti tugas belajar di University of Houston, Texas, Amerika Serikat.
Pembicaraan tentang metode memang meliputi sepertiga bagian dari pembicaraan tentang ranah pendidikan. Sementara ranah pendidikan pada hakikatnya adalah ranah kehidupan itu sendiri. Mengapa? Dewey menyatakan bahwa “education is not a preparation of life, but education is life itself”. Pendidikan bukanlah satu persiapan untuk hidup, pendidikan adalah kehidupan itu sendiri.
Pembicaraan tentang metode mengajar ini muncul kembali ketika penulis menjadi nara-sumber dalam kegiatan penyusunan rencana kerja tahunan sekolah di Kabupaten Karimun pada tanggal 22 – 24 Juni 2009. Ketika itu, penulis menjelaskan tentang peran penting pembelajaran dalam sistem pendidikan nasional. Proses belajar-mengajar dinilai menjadi komponen pendidikan yang penting. Ibarat pesawat terbang, proses pembelajaran dinilai sebagai kotak hitam atau black box.
Terkait dengan masalah metode mengajar tersebut, seorang ibu kepala sekolah dasar di Kabupaten Karimun mengacungkan tangan minta perhatian kepada narasumber dan juga kepada para peserta agara tidak menggunakan metode kompor. Penulis tersentak. Apalagi para hadirin. Apa itu metode kompor? Mengapa para guru kita tidak boleh menggunakan metode kompor? Itulah beberapa pertanyaan dalam benak kita masing-masing.
Apa itu metode kompor
Istilah KOMPOR ini sama sekali bukan singkatan. Juga bukan akronim. Istilah ini benar-benar sama dengan kompor yang kita gunakan untuk memasak, yakni tungku api yang biasanya menggunakan gas. Sebagaimana kita ketahui memasak dengan kompor hanya dilakukan dengan BANYAK MENUNGGU. Katakanlah kita mau memasak air. Pertama kita nyalakan kompornya. Lalu kita letakkan panci di atas kompor, dan kita hanya tinggal MENUNGGU air tersebut masak dengan sendirinya. Mungkin saja, sambil menunggu air menjadi masak, sang pemasak mungkin hanya mengobrol, dan seterusnya. Dan ketika air sudah mulai mendidih, maka pemasak pun mulai mendekati kompor lagi, dan kemudian air pun telah mendidih setelah sang pemasak MENUNGGU sekian lama. Nah dalam pelaksanaan tugas mulianya mengajar, dapat kita amati ada guru yang menggunakan metode KOMPOR ini. Guru masuk kelas dengan mengucapkan salam. Itu biasa. Setelah itu sang guru meminta kepada siswa agar membuka buku pada halaman tertentu. Anak-anak diminta untuk membaca, dan setelah itu anak-anak diminta untuk mengerjakan beberapa soal yang biasanya memang sudah ada di akhir bab. Ketika sang anak-anak membaca dan mengerjakan beberapa soal, dengan santainya sang guru MENUNGGU di ruang guru. Mungkin saja sang guru mengobrol dengan guru yang lain di ruang kelas. Bahkan ada juga guru yang mengepulkan asap rokoknya di ruang kelas itu. Setelah waktu menjelang selesai, sang guru pun kembali masuk ke ruang kelas, dan meminta kepada siswa agar tugasnya untuk diserahkan kepada sang guru. Artinya, tak ubahnya pemasak air sama persis dengan sang guru. Artinya, anak-anak kita di dalam kelas hanya disamakan dengan benda air. Padahal, anak-anak kita sangat memerlukan perhatian, perlu motivasi, perlu bimbingan, dan bahkan perlu CINTA. Seharusnya kita mengajar dengan CINTA, bukan hanya dengan menunggu seperti yang dilakukan oleh pemasak air dengan metode KOMPOR-nya. Oleh karena itu, para guru JANGAN sekali-kali menggunakan metode KOMPOR dalam melaksanakan tugas mulianya sebagai guru.
EMASLIM
Dalam khasanah teoritis, para guru dan kepala sekolah mempunyai peran yang dikenal dengan EMASLIM. Pertama, para guru adalah educator atau pendidik, yang setiap saat, terutama dalam proses pembelajaran melakukan proses pendidikan. Kedua, guru adalah juga sebagai seorang manajer. Mengapa, para kepala sekolah dan guru juga melakukan pekerjaan manajerial untuk memperlancar penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Ketiga, guru dan kepala sekolah juga menjadi administrator, yang harus melaksanakan tugas-tugas administratif seperti adminstrasi kurikulum, administrasi pembealajaran, dan lain-lain. Pada Keempat, kelima, keenam, dan ketujuh, para guru dan kepala sekolah juga melaksanakan peran sebagai supervisor, leadership, innovator, dan motivator. Dengan pelaksanaan peran-peran tersebut, tidak mungkin guru hanya akan melaksanakan perannya Dengan menggunakan metode KOMPOR. Tidak!
*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.
Jakarta, Juni 2009.