Oleh: Suparlan *)
UNESCO menyebutkan empat pilar pembelajaran, yakni (1) learning to know, (2) learning to do, (3) learning to be, dan (4) learning to live together. Atau (1) belajar untuk mengetahui, (2) belajar untuk melakukan, (3) belajar untuk menjadi dirinya sendiri, dan (4) belajar untuk dapat hidup bersama. Untuk dapat hidupa bersama, kita harus mampu membangun fondasi keluarga (family) yang kokoh.
Keluarga
Keluarga (family) ibarat seluruh pilar yang menopang suatu negara. Makin kokoh pilar-pilar penopang tersebut, semakin kuatlah kehidupan negara tersebut. Demikian pula sebaliknya. Setiap keluarga terdiri atas seorang ayah, Ibu, dan anak-anaknya, serta saudara-saudara yang yang sedarah dengan ayah dan ibu dalam keluarga tersebut. Mereka ibarat warga negara yang membentuk satu negara. Berdasarkan hubungan kekerabatan antarwarganya, dalam Antropologi, kita sering membedakan ada dua macam keluarga, yakni (1) keluarga inti, yakni keluarga yang dibentuk hanya oleh ayah, ibu dan anak-anaknya, (2) keluarga batih, yakni keluarga yang dibentuk oleh ayah dan ibu, termasuk keluarga dari ayah dan ibu serta saudara yang sedarah dengannya, Yang dimaksud keluarga besar adalah pada umumnya adalah keluarga batih tersebut.
Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk menjelaskan empat tipologi keluarga yang dijelaskan di dalam Al-Quran. Tulisan singkat ini, boleh jadi dapat disebut sebagai SOP (standard operating procedures) sebagai panduan dalam membangun keluarga, sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan upaya membangun fandasi untuk membangun negara yang kokoh pula. Amin.
Terkait dengan ketaatan dalam kehidupan beragama dan akhlaknya, Al-Quran memberikan contoh adanya keluarga yang sukses, dan ada pula keluarga yang gagal. Tingkat kesuksesan atau tingkat kegagalan keluarga dapat dilihat dari beberapa indikator sebagai berikut: (1) kerukunan hubungan antar anggota keluarganya, (2) tingkat keimanan yang ditunjukkan oleh seorang suami dan anggota keluarganya, serta (3) azab yang pernah ditimpakan kepada keluarga tersebut.
Empat Tipologi Keluarga
Berdasarkan sejarah yang tercatat dalam Al-Quran, ada empat tipologi keluarga berdasarkan ketaatannya dalam kehidupan beragama:
Pertama, tipe keluarga Abu Lahab, yakni keluarga yang mendapat celaan dari Allah Swt. Baik Abu Lahab sendiri sebagai ayah, dan istrinya adalah keluarga yang memusuhi Nabi Muhammad Saw. dan kaum muslimin. Lebih kejam lagi adalah Abu Lahab dan isterinya adalah keluarga yang menjadi tukang fitnah dan provokator yang sama-sama kufur kepada Allah Saw. Dalam Surat Al-Lahab.
Dalam surat Al-Lahab tersebut perumpamaan tukang fitnah atau provokator adalah pembawa kayu bakar. Dijelaskan dalam Al-Quran bahwa pembawa kayu bakar tersebut akan membakar tukang fitnah itu sendiri di neraka jahaman. Audzubillahimindzalik.
Kedua, adalah tipe keluarga Fir’aun, yakni keluarga yang suaminya kufur kepada Allah Swt. bahkan mengaku dirinya sebagai Tuhan, sementara istri dan anak-anaknya taat kepada Allah.
Ketiga, adalah tipe keluarga Nabi Nuh As. yakni keluarga yang merupakan kebalikan dari keluarga Fir’aun, yakni keluarga yang suaminya beriman kepada Allah Swt. sementara istri dan anak-anaknya kufur dan mengingkari perintah-Nya. Akibatnya, baik istri maupun anak-anaknya harus berhadapan dengan azab Allah, yakni banjir bandang.
Keempat, tipe keluarga Nabi Ibrahim As. dan keluarga Nabi Muhammad Saw. Kedua keluarga tersebut, baik suami maupun istri dan anak-anaknya adalah sama-sama beriman dan sama-sama taat serta tunduk dan patuh kepada Allah Swt. serta berakhlak mulia.
Empat Potensi Anak
Di samping empat tipe keluarga tersebut, Al-Quran juga menjelaskan bahwa, anak mempunyai empat kecenderungan atau potensi. Kecenderungan atau potensi tersebut sesungguhnya terbentuk berdasarkan proses dan hasil pendidikan yang diperolehnya dalam kehidupan. Kecenderungan atau potensi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, anak yang memiliki potensi menjadi anak yang sholeh atau qurratu ‘a’yun, yakni anak yang senantiasa taat kepada Allah Swt. dan hormat kepada kedua orangtuanya serta bermanfaat bagi kehidupan dalam masyarakat. Tentu saja, potensi inilah yang perlu memperoleh perhatian utama dalam proses pendidikan dalam keluarga.
Kedua, anak hanya terbatas menjadi kebanggaan orangtuanya, dikenal zinatu al-hayatu ad-dunya, yang berhasil berhasil mencapai sarjana, menjadi orang kaya, mencapai prestasi atau karir yang diharapkan, meskipun di sisi yang lain pola hidupnya ternyata masih jauh dari nilai-nilai agama dan akhlakul karimah yang diharapkan.
Ketiga, anak dapat menjadi cobaan atau fitnah bagi orangtuanya. Meskipun anak-anaknya telah dididik sebagaimana anak pada umumnya, sebagaimana anak Nabi Nuh As., namun sang anak ternyata tetap saja menyeleweng, tidak mengikuti arahan yang telah diberikan oleh orangtuanya.
Keempat, anak yang memiliki potensi menjadi musuh orangtuanya atau menurut Al-Quran disebut ‘aduw” yaitu menjadi musuh Allah, karena sang anak telah menukar keimanan dengan kekufuran, atau menjadi musuh bagi orangtuanya, suka melawan dan durhaka terhadap orangtua. Na’uzubillahi min zalik.
*) Laman: www.suparlan.com; Surel: me@suparlan.com; Kritik terhadap tulisan ini akan saya simpan dalam guci emas untuk penyempurnaan tulisan ini. Terima kasih.
Depok, 16 Desember 2015.
[1] Warul Walidin Ak., Kapita Selekta Pendidikan di Aceh, Banda Aceh: Bandar Publishing, hal. 84-85.