Oleh: Suparlan *)
Tulisan saya bertajuk Korpri Duapuluh Tahunan Yang Lalu dalam laman www.suparlan.com ternyata segera memperoleh respon dari pembaca, meskipun baru ada tiga respon yang saya tanggapi. Ada pembaca yang merespon super singkat “bagus.” Namun sahabat kental saja, Adang Adnan Dahlan, seorang mantan Ketua Komite Sekolah SDN Cibeusi, Kecamatan Jatinangor, Kebupaten Sumbedang, telah merespon dengan bahasa hati karena kepedulian yang tinggi terhadap tulisan tersebut.
Penulis sebenarnya berharap mudah-mudahan banyak pembaca yang memberikan tanggapan. Namun kenyataannya tidak demikian. Hanya tiga respon saja. Maksudnya agar respon yang menyentuh hati seperti itu dapat membuka pikiran pembacanya. Untuk apa? Dari segi penelitian, agar kesimpulannya dapat digunakan untuk mengambil kesimpulan secara signifikan. Kemudian dapat digunakan untuk menentukan kebijakan.
Maklum, harapan untuk memperoleh respon yang banyak tersebut tidak terjadi karena yang baca tulisan itu pun baru dapat dihitung dengan jari. Kembali kepada masalah budaya literasi yang belum kita miliki. Sastrawan Taufik Ismail pun mengambil kesimpulan karena tragedi nol buku yang terjadi di negeri ini. Terkait dengan itu, Mendikbud Anies Baswedan pun baru saja pada awal tahun 2015 ini memberikan arahan kepada semua sekolah agar setiap appersepsi atau setiap awal pelajaran mengajak anak-anak membaca buku dalam lima sampai sepuluh menit. Mana mungkin hasilnya kini semua penduduk di negeri ini telah memiliki budaya literasi? Budaya literasi memerlukan jangka waktu yang panjang. Bukan seperti membalikkan telapak tangan.
Proses panjang
Setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945, negeri ini memang masih punya banyak kelemahan. Itulah yang saya tangkap dari tulisan Yudi Latif dalam majalan Gatra 19 Agustus 2015 bertajuk Jiwa Merdeka. Kemerdekaan itu pun baru berujud sebagai jembatan emas. Itu kata Bung Karno tujuh puluh tahun lalu. Usia tujuh puluh tahun sebuah negara, itu sama dengan usia ABG (anak baru gede) yang memerlukan pengembangan personal (personal development) seperti rasa percaya diri sebagai bangsa. Dalam tulisan tersebut, Yudi Latif menyebutnya dengan keyakinan dan konsistensi menjalankan konsepsi diri. Itulah proses yang harus dilalui.
Revolusi
Dalam perjalanan, sebenarnya proses proses pengembangan kepribadian itu pun sudah dimulai. Revolusi cara belajar (learning revolution) pun sudah dimulai. Kita mengetahui bahwa abad XXI merupakan awal era teknologi informasi. Akibatnya, dunia menjadi kampung kecil yang kita dapat berinteraksi melalui ICT. Cuma ICT tersebut belum diisi dengan substansi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan negeri. Kini kita lihat para ibu selalu memegang gadget dengan dua jempol jarinya. Pengembangan personal tersebut belum terjadi. Presiden Jokowi melansir konsep revolusi mental. Tetapi benar-benarkah revolusi tersebut akan terjadi? Jangan-jangan revolusi mental tersebut justru akan menggerus kepribadian sendiri, sehingga kita tidak memiliki jati diri. Konon konsep gotong-royong sudah pindah ke Korea. Bahkan ketika Din Sjamsudin pergi ke Jepang, nilai-nilai Islam justru diterapkan di negara matahari terbit tersebut. Negara Finlandia menjadi negara yang terbaik sistem pendidikannya. Bahkan negeri Finlandia juga dikenal sebagai negeri terjujur di dunia. Bahkan, indeks kesalehan sosial negeri-negeri Muslim lebih rendah dari negara-negara sekuler. Semua memang terjadi perubahan besar. Semuanya harus melalui revolusi. Revolusi politik berubah menjadi revolusi sosial, revolusi ekonomi, dan berbagai macam jenis dan bentuk revolusi kainnya.
Citra diri dan Jati Diri
Ketika ingin memperoleh dukungan dalam proses pilkada serentak yang digelar akhir-akhir ini, para calon sering melakukan apa yang disebut sebagai pencitraan diri (self-image). Kegiatan mematut diri, memoles wajah menjadi tampak lebih terlihat ganteng, agar dapat memperoleh dukungan masyarakat itulah yang dimaksud dengan proses pencitraan diri. Proses pencitraan diri ini dilakukan dengan segala daya. Blusukan sekali pun dilakukan. Politik uang pun memang sering terjadi. Proses imitasi ini sama sekali tidak sama dengan jati diri. Jati diri adalah proses menjadi diri sendiri (learning to be), proses untuk menjadi berbeda dengan orang lain. Unesco menyimpulkan empat pilar belajar, yakni (1) learning to know, (2) learning to do, (3) learning to be, dan (4) learning to live to gather. Atau (1) belajar untuk mengetahui, (2) belajar untuk melakukan, (3) belajar untuk menjadi dirinya sendiri, dan (4) belajar untuk hidup bersama. Demikianlah proses belajar yang sebenarnya, Proses tersebut sesungguhnya adalah proses mencari jati diri. Tetapi jati diri yang asli bukan jadi diri imitasi.
Memang pada awalnya memang merupakan proses mencari-cari. Sama dengan menjadikan peserta didik menjadi dirinya sendiri. Pada awalnya ada proses meniru-niru. Anak memang jago dalam meniru (the great imitator), tetapi akhirnya dapat menemukan jati diri sesungguhnya.
Sahabat saya, Adang Adnan Dahlan, seorang mantan Ketua Komite Sekolah SDN Cibeusi Jatinangor, Kabupaten Sumedang, menyayangkan karena dewasa ini jati diri sebagai bangsa Indonesia sudah luntur dalam peringatan Hari Ulang Tahun Korpri, 29 November 2015. Dalam pertemuan internasional, misalnya, sulit membedakan yang mana Presiden Indonesia, karena identitas nasionalnya, berupa kopiah hitam, tidak terlihat lagi. Padahal, itulah brand image-nya. Pak Adang Adnan Dahlan, dengan bahasa hatinya dan penglihatan mata hatinya, bangsa kita telah kelihatan identitas diri. Para pemimpin kita lebih mengutamakan proses pencitraan diri. Tidak mengutamakan proses pembentukan jati diri sebagai pribadi, sebagai tokoh masyarakat, sebagai tokoh agama, tokoh pemimpin Pemerintah Daerah, dan sebagai tokoh nasional yang menjadi teladan.
Akhirulkalam, melalui tulisan sederhana ini, kita berharap mudah-mudahan melalui proses pendidikan, kita dapat membangun peserta didik menjadi dirinya sendiri, baik secara pribadi, sosial, maupun nasional. Amin.
*) Laman: www.suparlan.coml; Surel: me@suparlan.com;
Depok, 3 Desember 2015.