1. Hari Senin, tanggal 4 Agustus 2014 merupaan hari pertama masuk kantor setelah Bulan Ramadhan 1435 H. Itulah waktu yang dinanti-nantikan semua pegawai, terutama yang beragama Islam. Mereka saling bersalam-salaman untuk meminta maaf. Dalam kesempatan bertemu itu konon kita dapat saling menyambung tali silaturahim. Bersamaan dengan itu diucapkanlah “Selanat Idul Fitri, Minal Aidin Wal Faizin, Mohon Maaf Lahir Batin”. Padahal pengertian “Minal Aidin Wal Faizin” tidak ada kaitan sama sekali dengan permintaan maaf. Sehingga jika ditranselerasikan kedalam Bahasa Indonesia menjadi “min, yang memiliki arti termasuk, al-aidin, artinya orang-orang yang kembali, wal, artinya dan, kemudian al-faizin, artinya menang”. Dengan demikian “minal aidin wal faizin” artinya “Mudah-mudahan kita menjadi orang yang kembali dan menang”, yang tidak lain kembali suci sesuai dengan tujuan Puasa Ramadhan itu sendiri, yakni menjadi orang yang bertaqwa, dan menang dalam arti memperoleh kemenangan dari pertempuran melawan hawa nafsu.
2. Dalam hal ini, Nabi Muhammad Saw tidak mengajarkan kepada umatnya untuk mengucapkan “Minal Aidin Wal Faizin”, melainkan diminta untuk mengucapkan “Taqabballallahu minna waminkum, syiamana wasyiamakum” yang artinya “semoga Allah menerima amal-amal kami dan kamu, puasa kami dan kamu.
3. Tradisi inilah yang kita sebut sebagai acara Halal Bihalal, atau acara saling menghalalkan. Dikatakan bahwa di antara kita sudah tidak ada lagi “perasaan” dosa lagi. Itulah sebabnya, dalam acara itu ada yang menyebutkan “kosong-kosong”. Untuk tujuan itu semua, kebanyakan masyarakat Muslim di berbagai daerah memiliki tradisi “mudik”, yakni pulang kampung untuk meminta maaf kepada orang tua yang masih ada, atau saling kangen-kangenan dengan sanak saudara untuk menjalin tali silaturahim. Hal itu tentu saja baik-baik saja. Tetapi, ada satu pertanyaan yang perlu kita pikirkan jawabannya sebagai berikut:
4. Pertama, memang “semua manusia itu tempat salah dan dosa”. Tetapi apakah kita lebih baik mengumpulkan salah dan dosa itu, atau setidaknya menunda-nunda kesalahan untuk kemudian kita lebur di Hari Raya Idul Fitri?
5. Kedua, apakah memang semikian mudahnya kita dapat melebur dosa-dosa dan kesalahan dengan hanya “berhalal bihalal’, termasuk dosa-dosa besar kepada orang lain, misalnya dosa “korupsi”?
6. Ketiga, apakah tradisi mudik memang telah kita warisi sejak zaman Nabi atau setidaknya sejak zaman sahabat Nabi? Tentu ada manfaatnya, tetapi besar mana antara manfaatnya dengan mudaratnya?
7. Ketiga pertanyaan tersebut memang belum akan dapat kita jawab sekarang. Setidaknya, pertanyaan itu menjadi PR saya untuk mencari jawabannya. Kehidupan beragama umat ini memang masih diliputi oleh tradisi, yang belum tentu sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan As-Shunnah.
8. Inilah yang dikatakan oleh Muhammad Sjafii Antonio bahwa Al-Quran baru menjadi bacaan, dan belum menjadi “tuntunan” atau “manual” untuk kehidupan?
Kultum 22: Dari Minta Maaf Sampai Dengan Kebiasaan Mudik.
160 views
Tidak ada komentar
Popular Posts
Other Posts
Semboyan dan Lambang Negara Indonesia dan Amerika Serikat
Oleh: Suparlan *) Antara Indonesia dan Amerika Serikat pantas untuk dibandingkan. Sebanding. Paling tidak dari segi jumlah penduduknya,…
Wajah Baru MNCVision Melalui Dukungan Dolby Audio
Bagi Anda pelanggan TV berlangganan atau sudah terbiasa menikmati layanan TV berlangganan di luar rumah seperti restoran, hotel…
Sudahkan Kita Ber-Idul Adha?
SUDAHKAN KITA BER-IDUL ADHA? Oleh Suparlan*) Setiap kali memperingati Idul Qurban, Takbir sudah dikumandangkan,…
Merger Sekolah Dasar, Begitu Perlukah?
Program merger SD di sebagian daerah sudah mulai dilaksanakan.…
Contoh Membuat Daftar Isi Otomatis (Microsoft Office)
Sebagai kelanjutan yang tak terpisahkan dari tulisan saya sebelumnya tentang…
Penilaian Portofolio: Sertifikasi Guru dalam Jabatan
Guru adalah komponen yang paling strategis dalam proses pendidikan. Jauh…