Oleh Suparlan *)
Pre-service training cannot, of itself, be expected to prepare teachers fully to meet these rising expectations, especially against the background of a rapidly changing social, economic and educational environment. It has to be supplemented by ongoing in-service training and professional development if the ideal of lifelong learning is to be realized for members of the teaching profession?
(Centre for Educational Research and Innovation, Staying Ahead In-Service Training and Teacher Development, pp.17).
Jika Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dapat diibaratkan sebagai pabrik yang menghasilkan guru, maka lembaga diklat guru dapat diibaratkan sebagai bengkel resminya. Sedang lembaga pendidikan sekolah adalah sebagai penggunanya. Itulah paradigma pendidikan yang selama ini melekat kepada peran dan fungsi LPTK, lembaga diklat, serta lembaga pendidikan sekolah, mulai dari TK sampai sekolah menengah. Paradigma pre-service training and education, in service training, dan on the job training tersebut menjadi satu kesatuan komponen yang saling terkait dan bersifat suplementer (yang satu menutupi kekurangan yang lainnya).
Sebagaimana diungkapkan oleh The Center for Educational Research and Innovation, LPTK tidak mungkin diharapkan sepenuhnya untuk dapat menghasilkan guru yang dapat memenuhi tuntutan masa depan yang berubah cepat. Mengapa? Perubahan dan perkembangan sosial, ekonomi, dan lingkungan pendidikan memang jauh lebih cepat dibandingkang dengan perubahan dan perkembangan institusinya. Sebagai contoh, pendidikan di masa depan memerlukan guru yang menguasai teknologi informasi. Untuk memenuhi kebutuhan ini, dapatkah LPTK segera dapat memenuhi kebutuhan ini secara cepat untuk menghasilkan guru yang kompetensinya seperti itu? Untuk memenuhi kebutuhan guru yang spesifik, seperti guru yang menguasai teknologi inforasi, guru di daerah konflik, atau guru dalam mata pelajaran kerajinan kriya, sebagai contoh, LPTK belum dapat menyediakannya secara cepat. Dari aspek perjalanan waktu, guru yang dihasilkan LPTK mungkin sekali telah mengalami ketinggalan tentang berbagai kebijakan pendidikan yang baru, seperti Kurikulum Berbasis Kompetensi, atau kebijakan pendidikan yang lain. Oleh karena itu, harapkan kepada LPTK untuk menghasilkan guru yang memenuhi standar kompetensi tertentu atau untuk memenuhi tuntutan peningkatan kompetensi untuk memenuhi tuntutan perubahan kebijakan pendidikan, mesti memerlukan peran dan fungsi lembaga diklat, yang khitahnya memang untuk menutupi kekurangan dalam upaya peningkatan kompetensi guru. Untuk mengikuti adanya perubahan kebijakan itu semua, tidak mungkin seluruh guru harus dikembalikan untuk dicetak ulang di LPTK. Mereka cukup diberi tambahan kemampuan yang diperlukan di lembaga diklat, dan kalau perlu cukup diberikan di tempat mereka bekerja. Dengan kata lain, di lembaga tempat ia bekerja para guru juga dapat ditingkatkan kompetensinya. Jadi, ketiga lembaga pre-service, in-service, dan on the job training, harus dapat bekerjasama secara sinergis untuk meningkatkan mutu guru.
Pembinaan Guru
Otonomi daerah telah diluncurkan pada awal tahun 2000. Bersamaan dengan itu, urusan pendidikan juga termasuk dalam urusan yang sebagian besar telah diserahkan kepada daerah. Dalam hal ini, kewenangan pembinaan guru telah dilimpahkan kepada pemerintah kabupaten/kota. Sementara pemerintah pusat lebih memfokuskan untuk menetapkan kebijakan nasional, standar, norma, acuan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
Berkenaan dengan peran dan fungsi lembaga in-service training, maka pembinaan guru tidak boleh tidak harus dilaksanakan secara sinergis antara lembaga in-service training dengan pemerintah kabupaten/kota. Bahkan pengadaan guru yang dilaksanakan oleh lembaga pre-service training and education pun seyogyanya juga dikomunikasikan kepada pemerintah kabupaten/kota, agar agar jumlah dan kualitas guru yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan daerah. Inilah paradigma baru pengadaan dan pembinaan guru pada era otonomi daerah, yang seluruhnya tidak boleh tidak harus berorientasi kepada kebutuhan daerah otonom.
Sudah pasti, tugas berat pengadaan dan pembinaan guru tidak akan dapat dilaksanakan secara single fighter atau sendirian oleh pemerintah daerah, karena standar mutu pendidikan harus ditetapkan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak dapat seenaknya sendiri mengadakan guru dan mengadakan pembinaan guru tanpa memperhatikan standar dan konsensus nasional tentang penyelenggaraan pendidikan. Sudah barang tentu, pembinaan guru harus berorientasi kepada upaya peningkatan kompetensi guru, sebagaimana telah diatur dalam Standar Kompetensi Guru (SKG), yang meliputi tiga komponen, yakni (1) pengelolaan pembelajaran, (2) pengembangan potensi, dan (3) penguasaan akademik.
Berdasarkan latar belakang kebijakan tentang otonomi pendidikan tersebut, maka peran dan fungsi PPPG perlu diselaraskan dengan peran dan fungsi LPMP, agar tidak terjadi tumpang tindih yang tidak perlu. Dengan kata lain peran dan fungsi PPPG perlu direposisi dan direfungsionalisasi.
Reposisi dan Refungsionalisasi PPPG
Pada awal beridirinya, PPPG dan BPG memang menjadi tangan kanan institusi yang bersifat sentralistis dalam pelaksanaan peran dan fungsi pembinaan guru. Oleh karena itu, maka PPPG dan BPG melalui instansi vertikal Kantor Departemen (Kandep) dan Kantor Wilayah (Kanwil), PPPG dan BPG dapat dengan mudahnya menjangkau sekolah dan guru di semua jenjang dan jenis pendidikan. Pada era otonomi pendidikan dewasa ini, mekanisme itu sudah barang tentu tidak berlaku lagi. Dinas pendidikan kabupaten/kota, yang notabene memiliki aneka ragam nama, merupakan institusi di bawah bupati/walikota, yang memiliki batas kewenangan di bawah bupati/walikota. Oleh karena itu, jabatan fungsional guru berada di bawah komando bupati/walikota melalui dinas pendidikannya.
Jika BPG, kini berubah menjadi LPMP, menjadi lembaga penjamin mutu pendidikan di tingkat provinsi, maka PPPG seharusnya segera memposisikan dirinya sebagai lembaga penjamin mutu pendidikan di tingkat nasional dalam mata pelajaran atau bidang kejuruan atau keahlian tertentu. Peran penjaminan mutu pendidikan yang dilaksanakan oleh LPMP sudah tentu tidak pada level nasional, karena kedudukan organisasi itu berada pada level provinsi. Untuk menyatukan peran penjaminan mutu untuk level nasional. LPMP memerlukan lembaga penjaminan mutu pada level nasional. Oleh karena itu, PPPG dapat mengambil posisi ini. Misalnya penjaminan mutu pendidikan matematika di tingkat provinsi dilakukan oleh masing-masing LPMP di masing-masing provinsi. Tetapi untuk penjaminan mutu pendidikan matematika di semua jenjang dan jenis pendidikan secara nasional perlu dilakukan oleh lembaga yang bersifat nasional. Dalam hal ini dapat dilakukan oleh PPPG Matematika. Demikian seterusnya untuk semua mata pelajaran dan bidang kejuruan atau keahilanlainnya.
Bagaimana dengan kithah PPPG sebagai lembaga diklat? Posisi ini masih dapat dipertahankan, karena diklat guru dapat dibagi menjadi (1) diklat khusus untuk penatar dan calon penatar (training of trainer atau TOT), dan (2) diklat untuk guru-guru pada level provinsi atau pun kabupaten yang dapat dilaksanakan oleh badan diklat provinsi dan kabupaten/kota, atau pun dalam porsi kecil mungkin masih dilakukan oleh LPMP, karena tugas pokok dan fungsi LPMP lebih kepada upaya penjaminan mutu pendidikan.
Bagaimana dengan tugas pengkajian tentang pembelajaran yang hasilnya amat diperlukan untuk dasar pengambilan kebijakan tentang penjaminan mutu pendidikan? Dan, bagaimana pula dengan tuntutan untuk menjadikan PPPG sebagai strategic business unit? Semua itu kemungkinan menjadi darma yang harus dilaksanakan untuk meningkatkan kinerja PPPG dalam rangka penjaminan mutu pendidikan nasional dalam mata pelajaran matematika.
Catur Darma
Jika perguruan tinggi memiliki tridarma perguruan tinggi, maka lembaga PPPG memiliki caturdarma, yang secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) pelayanan diklat penatar dan calon penatar pendidikan matematika, (2) penjaminan mutu pendidikan nasional dalam mata pelajaran matematika, (3) pengkajian dan pengembangan pembelajaran matematika, dan (4) kewirausahaan (strategic business unit).
Darma pertama adalah pelayanan diklat pendidikan matematika. Darma ini merupakan konsekuensi logis dari kithah PPPG Matematika sebagai lembaga in-service training. Darma pertama ini juga terkait dengan darma yang lain, khususnya darma penjaminan mutu pendidikan matematika. Untuk menjamin peningkatan mutu guru mata pelajaran matematika, perlu adanya penatar atau calon penatar yang berkualitas, yang akan menjamin kualitas penyelenggaraan diklat matematika di daerah kabupaten/kota. PPPG Matematika hanya akan mengadakan diklat untuk penatar dan calon penatar (TOT). Penatar dan calon penatar yang akan dihasilkan oleh PPPG Matematika akan memperoleh sertifikasi sebagai penatar atau calon penatar untuk pelaksanaan diklat di provinsi dan kabupaten/kota. Calon peserta diklat TOT ini harus melalui proses pemilihan atau diseleksi oleh daerah. Mereka yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan akan memperoleh sertifikat sebagai penatar atau calon penatar. Kegiatan yang dilakukan oleh alumni diklat TOT ini harus dilaporkan kepada PPPG Matematika.
Darma kedua adalah penjaminan mutu pendidikan nasional dalam mata pelajaran matematika. Darma ini merupakan konsekuensi logis dari adanya penjaminan mutu pendidikan di level provinsi yang diperankan oleh badan diklat daerah provinsi dan kabupaten/kota. Pertanyaan apa yang dijamin, dan bagaimana proses penjaminannya memang mengemuka di kalangan para pemerhati dan pegiat bidang pendidikan. Pertanyaan mengenai apa yang dijamin sudah tentu terkait dengan semua komponen dalam sistem pendidikan nasional, yakni siswa, guru, fasilitas, dan kurikulum. Mutu siswa amat terkait dengan hasil belajarnya. Mutu guru terkait dengan hasil skill audit terhadap kompetensinya. Sedang mutu fasilitas terkait dengan pemenuhan fasilitas pendidikan sesuai dengan standar pelayanan minimalnya (SPM). Ada pun mutu kurikulun terkait dengan standar kompetensi yang telah ditetapkan secara nasional. Sementara bagaimana proses penjaminannya perlu melalui prosedur operasi standar (standard operating procedures) tertentu, misalnya (1) memiliki standar yang akan digunakan sebagai ukuran atau patokan untuk benchmarking ke arah mana kualitas itu akan dituju, (2) memiliki tes terstandar (standardized test) dan menggunakannya untuk mengukur kualitas komponen-komponen mutu pendidikan tersebut, dan (3) mempertanggungjawabkan pelaksanaan penjaminan mutu tersebut kepada semua stakeholder pendidikan atau masyarakat.
Darma ketiga adalah pengkajian dan pengembangan pembelajaran matematika. Untuk dapat menghasilkan standar-standar mutu pendidikan, khususnya mutu pembelajaran matematika di sekolah, PPPG Matematika Yogyakarta harus dapat melakukan kajian (studi) di sekolah atau lapangan. Hasil studi tersebut akan digunakan untuk proses pengembangan model-model pembelajaran matematika yang akan diterapkan oleh guru di sekolah, termasuk pengembangan materi pembelajaran, strategi dan metode pembelajaran mutakhir, media dan alat peraga pembelajaran, serta alat penilaian pendidikan yang akan digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa. Studi tentang efektivitas alat peraga matematika, sebagai contoh, merupakan studi yang amat penting untuk mengetahui apakah alat peraga matematika yang dibuat dan digunakan selama ini memang memang masih cukup efektif. Hasil studi ini diperlukan sebagai dasar untuk menentukan kebijakan apakah alat peraga tersebut masih perlu diproduksi atau tidak.
Darma keempat adalah kewirausahaan (strategic business unit) adalah darma PPPG Matematika untuk dapat menghasilkan pendapatan yang diperlukan untuk menunjang upaya peningkatan kinerja lembaga. Instansi pemerintah sebagai mesin penghasil uang memang belum umum, kecuali lembaga itu memang berbentuk badan usaha. Badan usaha milik negara pun dewasa ini juga banyak yang mengalami kebangkrutan, seperti yang dialami oleh PT. DI. Bahkan badan usaha milik negara kini memiliki kecenderungan untuk diswastakan. Terlepas dari kondisi dan permasalahan badan atau instansi pemerintah tersebut, jika ada instansi pemerintah, dalam batas-batas tertentu, oleh pasar dituntut untuk dapat memberikan layanan produk tertentu, baik berupa jasa maupun barang, maka akan lebih baik apabila instansi tersebut dapat melaksanakan tuntutan tersebut. Alasannya, (1) hal itu merupakan tuntutan atau diperlukan pelanggan, (2) kegiatan tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari layanan kepada pelanggan, dan (3) hasil dari kegiatan tersebut justru untuk mendorong peningkatan kinerja lembaga, dan bukan sebaliknya. Mana yang lebih baik antara instansi pemerintah yang konsumtif ataukah instansi pemerintah yang produktif, yakni yang dapat mencari tambahan penghasilan, dengan tujuan untuk lebih meningkatkan kinerja lembaganya. Hahwa hasilnya harus dipertanggungjawabkan kepada negara, dan yang sebagian digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan pegawainya, maka keduanya memang harus demikian, dan minimal kegiatan tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada seluruh stakeholder lembaga tersebut.
Akhir Kata
PPPG Matematika Yogyakarta, yang telah berusia seperempat abad, tidak boleh tidak memang harus dapat mengikuti tuntutan perkembangan zaman. Tidak ada yang tidak berubah, kecuali kata perubahan itu sendiri. Jika pada awal pendiriannya PPPG memang menjadi tangan-tangan pemerintah pusat yang menjalankan tupoksinya secara sentralistis, maka dewasa ini PPPG Matematika tidak boleh tidak harus mengubah paradigma diklat sesuai dengan era otonomi daerah. Untuk ini, PPPG Matematika harus melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dengan mengembangan program kemitraan dengan semua stakeholder pendidikan. Pertama, dengan lembaga pre-service training, yakni lembaga yang mencetak calon-calon guru. Kedua, lembaga on the job training yang berada dalam kewenangan pemerintah kabupaten/kota, serta lembaga diklat daerah. Dalam pelaksanaan darma pertama, pelayanan diklat, PPPG Matematika hanya akan melaksanakan diklat TOT untuk penatar atau calon penatar. Para calon penatar ini akan digunakan untuk daerah untuk menatar koleganya di daerah.
Dalam melaksanakan darma kedua, penjaminan mutu pendidikan matematika pada level nasional, PPPG Matematika harus bekerjasama dengan LPMP. Sementara untuk melaksanakan darma ketiga, yakni pengkajian dan pengembangan teknis pendidikan, PPPG akan menggunakan hasil kajian tersebut untuk mengembangkan standar-standar pembelajaran matematika, baik standar materi bahan ajar, strategi dan metode pembelajaran, media dan alat peraga matematika, dan alat penilaian pendidikan matematika.
Pelaksanaan darma keempat, yakni melaksanakan fungsi sebagai strategic business unit, PPPG Matematika Yogyakarta memang masih baru dan terkesan ambivalen. Temuan pengawasan dan pemeriksaan Irjen Depdiknas pada tahun 2001 memang dinyatakan bahwa unit produksi di PPPG Matematika Yogyakarta dinyatakan: ‘Kepala PPPG Matematika Yogyakarta agar mengoptimalkan pengelolaan dan pengembangan Unit Produksi dan Jasa, serta mendayagunakan seluruh potensi yang ada’. Temuan tersebut memberikan dukungan dan sekaligus dorongan untuk mengembangkan PPPG Matematika Yogyakarta untuk melaksanakan darma keempat, yakni sebagai strategic business unit (SBU) yang handal di masa depan, yang tidak hanya mampu menghasilkan produk berupa jasa layanan diklat tetapi juga menghasilkan produk barang berupa media dan alat peraga matematika. Tetapi, apakah darma ini tidak memerlukan dasar hukum yang kuat? Acuan untuk ini memang belum ada. Yang jelas, untuk melaksanakan keempat darma tersebut, PPPG Matematika dituntut dapat menjadi instansi pemerintah yang melaksanakan tiga prinsip manajemen modern, yakni demokratis, keterbukaan, dan akuntabel. Wallahu alam.
*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com. Kepala Bidang Pelayanan Teknis PPPG Matematika Yogyakarta.
Yogyakarta, 27 Januari 2004