Artikel

Kisah Siti Penjual Bakso Keliling

107 views
Tidak ada komentar

***
Kita hanya memiliki tiga hari, hari kemarin, hari ini, dan hari mendatang.
Kita hanya bisa menggunakan hari ini saja, lakukan untuk membantu sesama hanya pada hari ini (Anoname)

***

Inilah kisah yang sangat mengharukan, yang diceritakan oleh www.ronywijaya.com. Dengan tujuan agar lebih banyak orang yang dapat memperoleh pelajaran hidup dari kisah nyata ini, maka saya mencoba menulisnya kembali dan mengunggahnya di laman pribadi saya www.suparlan.com.

Siti baru berusia tujuh tahun. Anak yatim ini telah ditinggalkan ayahnya sejak kecil. Tinggal bersama ibunya sebagai ibu tunggal, bekerja sebagai pembantu tetangga yang memerlukan dengan upah Rp20 ribu. Bahkan juga membantu tetangga untuk mencangkul sawah dan memetik padi milik tetangganya. Ibu bersama Siti tinggal di Desa Karangkamulyan, Kec. Cihara, Kabupaten Lebak, Banten Selatan. Kondisi hidup inilah yang menyebabkan Siti harus menjadi penjual bakso keliling dari kampung ke kampung dengan berteriak – bakso, bakso – setiap hari, dengan penghasilan Rp1.000,00 – Rp2.000,00 dari pembuat bakso. Mendengarkan teriakan Siti saja banyak pembaca yang menangis tersedu-sedu. Banyak juga pembaca kisah ini yang menanyakan alamat lengkap Siti dan berjanji akan datang ke rumahnya untuk sekedar membuktikan rasa kasih sayang dan kepeduliannya kepada Siti. Memuliakan anak yatim seperti Siti adalah perbuatan yang sangat mulia. Siapa lagi kalau bukan kita. Ingatkah kita, jika setiap helai rambut sang anak yatim yang kita elus dengan kasih sayang sama banyaknya dengan berkah yang diberikan Allah Swt. kepada kita. Amin.

Marilah kita bayangkan pembaca!! Tangannya yang mungil harus membawa dua termos besar berisi butir-butir bakso dengan seperangkat sendok dan mangkok plastik. Sambil meneriakkan ‘bakso, bakso, bakso … “ kakinya yang mungil harus berjalan selama lrbih dari empat jam berkeliling kampung menjajakan baksonya. Raut wajahnya yang putih bersih dengan lugu menawarkan baksonya kepada setiap orang yang dijumpainya. “beli bakso Bu, beli bakso …”, dan akhirnya setelah termos besarnya sudah terasa ringan, artinya baksonya sudah banyak yang laku, sampai akhirnya habis terbeli. Kembalilah Siti ke rumah pemilik bakso untuk melaporkan hasil pekerjaannya. Berapa hasil yang diperoleh? Pada hari ini Siti dapat menjual habis baksonya dengan uang sebesar Rp16.000,00. Berapa upah menjual bakso yang diperoleh Siti? Rp2.000,00. Dua ribu rupiah. Ketika ditanya berapa upah yang biasa diperoleh? Siti menjawabnya lugu, kadang dua ribu, kadang seribu. Itulah hasil karya Siti yang kemudian dapat diberikan kepada Sang Ibu. Inilah sepotong kisah pelajaran hidup yang dapat kita peroleh dari Siti. Saya berasal dari desa, dan berasal dari keluarga biasa seperti orang lain di desa itu, yang biasa makan nasi thiwul. Tetapi bagi saya, kehidupan saya bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Siti. Usia Siti yang masih tujuh tahun ini sangat spesial. Siti harus menjadi contoh bagi saya secara pribadi, bahkan dapat menjadi contoh bagi umat, bahwa hidup memang harus bekerja dan bekerja, seperti Kabinet Jokowi. Bahkan harus bekerja super keras. Tidak peduli siapa pun orangnya, ketika ia masih bernama manusia, yang dikaruniai otak dan hati. Karena otak dan hati inilah yang membedakan antara manusia dengan mahluk lain di jagat raya ini.

Tulisan sederhana ini saya tutup dengan komentar singkat yang saya tulis untuk laman yang memuat kisah itu. Inilah komentar itu.

“Pelajaran hidup yang sungguh luar biasa. Bolehkah saya unggah di laman pribadi saya? Sungguh amat memprihatinkan! Tetapi apakah memang tak ada sama sekali para pemimpin yang mengetahui kisah Siti si anak yatim ini? Tidakkah ada kepala desa, camat, bupati, gubernur, anggota DPRD, DPR dan DPD, Menteri sampai ke Presiden yang “turun tangan” seperti konsep Anies Baswedan? Kalau tidak ada, maka percuma saja konsep ideal “turun tangan” Anies Baswedan, termasuk konsep KIP, KIS, dan KSS itu. Bahkan tidak artinya kegiatan pengajian yang dilakukan oleh para ustadz dan ulama atau pendeta. Semua itu tidak akan ada artinya, karena tidak sampai dapat memecahkan masalah seperti yang dialami Siti ini. Semoga cerita Siti ini mengetuk hati banyak orang beriman. Amin. Ada pertanyaan yang masih tersisa di sini. Benarkah indeks keshalehan kita memang lebih rendah dari keshalehan negara-negara komunis sekali pun?
Jakarta, 5 Desember 2014.

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts

Budaya, Pendidikan

Ayo Menyanyi

Oleh: Suparlan *) Saya jadi ingat guru saya di SR (Sekolah Rakyat), namanya Paniran. Sayang, saya belum sempat…