ArtikelPendidikan

Guru Dan Kecerdasan Ganda

368 views
Tidak ada komentar

Oleh Suparlan *)

I. PENDAHULUAN

Teaching well means helping students learn well.
(Bruce Joyce)

Menilai guru sebagai satu mata rantai pendidikan yang lemah memang harus dilakukan secara obyektif. Akan tetapi memusatkan perhatian hanya kepada guru sebagai sebuah dari sejumlah mata rantai adalah kesalahan yang lebih besar, karena jelas faktor guru tidak berdiri sendiri.
(Winarno Surakhmad)

Mengajar dengan baik bermakna membantu siswa agar siswa dapat belajar dengan baik. Mengajar dengan baik merupakan tugas utama seorang guru. Jika guru mengajar dengan baik, maka siswa diharapkan akan dapat belajar dengan baik pula. Dan jika siswa dapat belajar dengan baik, maka hasil belajarnya diharapkan juga akan baik.

Kenyataan menunjukkan bahwa hasil belajar siswa masih rendah. Apalagi hasil belajar siswa dalam mata pelajaran matematika. Hasil temuan TIMSS Tahun 2003 (Trends in International Mathematics and Science Study, yang sebelumnya diberi nama Third International Mathematics and Science Study), menunjukkan bahwa kemampuan matematika siswa SMP di Indonesia menduduki peringkat ke-34 dari 48 negara yang diteliti. Dalam rangka mencari sebab dari masalah tersebut, Dr. Dodi Nandika, Kepala Balitbang Diknas menyatakan bahwa rendahnya hasil belajar siswa di Indonesia tersebut terutama disebabkan oleh rendahnya “kualitas guru dan masih minimnya ketersediaan sumber-sumber belajar bagi siswa” (Republika, 24 Desember 2004). Sejalan dengan ini, Ki Supriyoko, dari Majelis Luhur Taman Siswa Yogyakarta, menyatakan bahwa “Selain menyangkut infrastruktur pendidikan, determinan kedua yang membuat lambannya perkembangan pendidikan kita adalah kualitas menusia, khususnya guru” (Kompas, 5 Mei 2004). Terkait dengan masalah guru tersebut, Winarno Surakhmad, mantan Rektor IKIP Jakarta, menyatakan bahwa ‘guru memang mudah dijadikan kambing hitam” (Kompas, 24 April 2004). Menurutnya, guru hanya menjadi salah satu mata rantai kelambanan pendidikan di Indonesia.

Makalah ini menelaah liku-liku mata rantai proses pendidikan, utamanya yang terkait dengan guru. Mengingat sedemikian sentralnya status, peran, dan fungsi guru dalam peningkatan mutu pendidikan, makalah ini akan memfokuskan variabel-variabel yang ikut mempengaruhi kinerja guru dalam proses belajar mengajar di dalam kelas dan atau di sekolah. Dalam konteks ini, jika proses belajar mengajar itu tersebut dapat diibaratkan dengan proses pesawat terbang yang sedang melaksanakan perjalanan di udara, maka ruang kelas dapat diibaratkan dengan kotak hitam (black box) yang ada dalam pesawat tersebut.

Ada dua pokok bahasan yang akan dijelaskan dalam makalah ini. Pertama adalah guru dan faktor-faktor intern guru dan ekstern yang besar pengeruhnya terhadap kinerjanya profesionalnya, termasuk karakteristiknya, serta standar kompetensinya. Kedua adalah kecerdasan ganda yang seharusnya menjadi konsep penting yang harus menjadi acuan dalam pelaksanaan peran dan fungsi guru dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.

II. GURU

Ada beberapa aspek yang terkait dengan guru yang akan dibahas dalam makalah ini, (1) meletakkan dengan sungguh-sungguh status guru sebagai profesi, (2) memperbaiki semua komponen pendidikan dalam sistem pendidikan nasional, (3) menghasilkan guru yang berkualitas sesuai dengan standar kompetensi yang diperlukan dan terus memperbaharui dan meningkatkan kompetensi guru secara berkesinambungan, dan (4) membangun kultur sekolah yang bermutu.

1. Meletakkan dengan sungguh-sungguh status guru sebagai profesi

Bertepatan dengan peringkatan Hari Guru Nasional tanggal 2 Desember 2004 yang lalu, Presiden Republik Indonesia, Bapak Bambang Susilo Yudoyono (SBY), dengan didampingi oleh Menteri Pendidikan Nasional, Bapak Bambang Sudibyo (BS), telah mencangkan gurus sebagai profesi. Pertanyaannya, apakah dengan acara seremonial pencanganan ini guru kemudian secara otomatis akan memiliki status sebagai profesi? Belum. Upacara itu masih untuk menunjukkan adanya kemauan yang baik (goodwill) dan pengakuan. Sama sekali belum sebagai konsekuensinya. Raka Joni (Kompas, 6 Desember 2004), mantan guru besar IKIP Malang, menegaskan bahwa profesionalisme guru dewasa ini masih berupa janji, dan masih banyak tuntutan yang harus dipenuhi. Bagi Raka Joni, suatu profesi memiliki tiga pilar yang harus dipenuhi.

Pertama, kompetensi yang tinggi yang harus dimiliki melalui pendidikan yang kuat, baik dasar akademik, pengetahuan, maupun keterampilan profesionalnya. Pendidikan akademik di lembaga pendidikan prajabatan ini harus diikuti dengan adanya program pengalaman lapangan (PPL) dan pemagangan yang intensif untuk membentuk kompetensi profesionalnya.

Kedua, layanan profesional dengan mengedepankan kemaslahatan klien atau subyek didiknya. Guru yang profesional harus selalu menampilkan sosok safe practisioner atau praktisi yang aman bagi peserta didik. Kalau malpraktik dalam dunia kedokteran dalam berakibat fatal bagi nyawa sang pasiennya, maka dalam dunia pendidikan malpraktik pendidikan dapat menimbulkan bahaya bagi masa depan kehidupan anak-anak, seperti lulusan yang tidak memiliki kompetensi sehingga hanya menciptakan pengangguran.

Ketiga, adanya kompensasi dari pelaksanaan layanan profesional berupa gaji dan atau insentif yang memadai bagi guru.

Berkenaan dengan gaji guru ini, Suyono, seorang kandidat doktor pendidikan di Universitas Negeri Malang (Kompas, 10 Januari 2005) menegaskan pendapatnya bahwa kenaikan gaji guru harus menjadi titik masuk (entry point) kebijakan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Menurutnya, untuk mengatasi masalah rendahnya mutu pendidikan, gaji guru harus dinaikkan terlebih dahulu. Baru kemudian diadakan uji kompetensi setiap tahun. Guru yang tidak memiliki kompetensi kemudian dialihtugaskan menjadi PNS nonguru, yang posisinya kemudian diganti dengan lulusan terbaik dari LPTK denagan seleksi yang ketat dan terbuka, demikian seterusnya. Jika langkah-langkah tersebut dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen, insyaallah selama lima tahun mendatang, Suyono yakin bahwa kita akan memperoleh guru yang bermutu, dan kemudian akan diperoleh mutu pendidikan yang diharapkan.

2. Memperbaiki proses pendidikan seimbang dengan koponen instrumental dalam sistem pendidikan nasional.

Komponen instrumental pernah dipandang sebagai faktor utama dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Berdasarkan pada pandangan ini, maka jika gedung dibangun, laboratorium sekolah dibangun, buku pelajaran dicetak, kurikulum diganti dan terus disempurnakan, dan tidak lupa pula gurunya ditatar, makan diharapkan mutu pendidikan akan naik. Namun apa yang terjadi? Mutu pendidikan tidak pernah beranjak dari tempatnya? Mengapa? Permasalahannya belum menyentuh faktor penyebab utamanya. Ibarat pesawat terbang, kotak hitamnya (black box) belum ditemukan. Itulah sebabnya, muncul pendapat lain yang menyatakan bahwa faktor kuncinya adalah proses belajar mengajar, bukan masukan instrumental. Dengan demikian, apa yang terjadi di ruang kelas dalam proses belajar mengajar menjadi faktor utamanya. Dengan kata lain proses harus diperhatikan seimbang dengan masukan instrumental pendidikan.

3. Menghasilkan guru yang berkualitas sesuai dengan standar kompetensi yang diperlukan.

Untuk menghasilkan guru yang memiliki kompetensi, maka diperlukan LPTK yang kompeten untuk menghasilkan lulusan yang kompeten. Untuk ini, kembali LPTK memerlukan masukan kasar yang baik. Calon mahasiswa yang baik hanya akan masuk ke LPTK jika lulusan dari LPTK akan memperoleh imbalan profesi yang sebanding dengan profesi lain. Untuk dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas, LPTK hsrus memiliki program-program yang berkualitas, baik dalam teori maupun praktik, dengan program magang maupun program praktik kerja lapangan yang memadai. Untuk ini, IKIP yang kini telah berubah menjadi universitas, memikul tugas yang berat dan mulia untuk dapat menghasilkan guru yang berkualitas.

4. Meningkatkan kompetensi guru secara berkesinambungan melalui program pendidikan dan pelatihan yang bermutu.

Jika LPTK telah menghasilkan lulusan yang kompeten, diawali dengan raw input dengan kualitas nomor satu, maka beban lembaga diklat dapat dipastikan tidak seberat sekarang. Peran lembaga diklat sebenarnya sebagai upaya untuk menyegarkan kompetensi guru. Ibarat bengkel, maka lembaga diklat hanya memperbaiki jika ada kerusakan kecil dan tidak bersifat fatal. Peran lembaga diklat tidak dapat dianggap ringan, karena ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang. Kebijakan pendidikan terus berubah. Dan semua itu memerlukan upaya penyegaran secara berkelanjutan, agar kompetensi guru dapat ditingkatkan dan dipertahankan mutunya. Diklat untuk guru dapat berupa diklat berjenjang, diklat penyegaran, dan bahkan juga diklat peningkatan kualifikasi. Di berbagai negara, para guru diberi kesempatan untuk dapat mengikuti kuliah di perguruan tinggi dalam hari-hari libur mereka.

5. Membangun kultur sekolah yang bermutu.

Budaya akademis harus diciptakan di sekolah, seperti budaya kompetisi antar guru, seperti lomba karya tulis, lomba pembelajaran, lomba pembuatan alat peraga. Di samping itu, untuk siswa juga perlu diciptakan berbagai kesempatan untuk mengikuti lomba, seperti IMO. Acara seminar yang diselenggarakan oleh MGMP seperti ini dapat dinilai mencari upaya untuk membangun kultur sekolah yang bermutu.

III. KECERDASAN GANDA

Tipe kecerdasan tidak hanya satu, setiap orang memiliki gaya belajar yang unik, sama halnya dengan sidik jari. Sekolah yang efektif harus dapat mengenali dan melayaninya
(Dryden Gordon dan Dr. Jeannette Voh, Revolusi Cara Belajar, hal. 23- 29)

Dalam tulisan ini akan dijelaskan tentang kecerdasan ganda dan kaitannya dengan proses pendidikan di sekolah.

1. Pengertian

Konsepsi kecerdasan intelektual tidak dapat dipisahkan dengan konsepsi tentang hakikat manusia (human nature) dan yang terkait dengan adanya keunikan manusia secara individual yang berbeda antara satu dengan yang lain (individual differences), meski dalam kondisi kembar sekali pun. Konsep perbedaan individual ini berasal dari Lewis William Stern (1871?1938). Teori perbedaan individual ini telah melahirkan intelligence quotient (IQ), yang kemudian secara matematis dioperasionalisasikan oleh Terman, ahli psikologi dari Stanford University. Beliau menyusun rumus IQ sebagai perbandingan antara kemampuan berdasarkan umur mental (mental age) dengan umur kronologinya (chronological age). Nilai hasil perbandingan tersebut disebut sebagai biji kecerdasan relatif (relative intelligence score). Jika nilai IQ yang diperoleh melebihi 100 maka anak dinilai memiliki nilai di atas rata-rata. Jika nilai yang diperoleh di bawah 100 maka anak tersebut masuk dalam kategori di bawahnya. Tes IQ dilaksanakan dengan menggunakan tes psikologi yang disusun oleh ahli psikologi. Kemampuan manusia tidak hanya berupa kecerdasan intelektual saja, tidak hanya satu kemampuan, melainkan banyak.

2. Tujuh Tipe Kecerdasan Ganda Menurut Howard Gardner

Howard Gardner, seorang dosen psikologi di Harvard School of Education menulis buku bertajuk Multiple Intelligence, yang menyebutkan 7 (tujuh) tipe kecerdasan (the seven types of intelligence) yang dimiliki manusia. Ketujuh kecerdasan tersebut dapat dijelaskan dalam tabel berikut.

Tabel 1. The Seven Types of Intelligence

No. Tipe Karakteristik

  1. Linguistic enjoy writing, reading, story telling or doing crossword puzzles menyenangi menulis, membaca, menceritakan kisah atau mengerjakan teka-tekni silang
  2. logical-mathematical patterns, categories and relationship pola atau bentuk, kategori dan hubungan
  3. bodily-kinesthetic athletic, dancers or good at crafts such as sewing or woodworking atletik, penari atau senang dalam kerajinan seperti menjahit atau pekerjaan kayu
  4. Spatial think in images and pictures, fascinate with mazes or jigsaw puzzles, spend free time drawing berfikir dalam bayangan dan gambar, senang dengan teka-teki, menggunakan waktu luang untuk menggambar
  5. Musical singing and drumming menyanyi dan main drum
  6. Interpersonal good at ommunicating and understand other’s feeling baik dalam berkomunikasi dan memahami perasaan orang lain
  7. Intrapersonal very aware of their own feelings sangat menyadari terhadap perasaannya sendiri
Sumber: http://www.swopNet.com
Tujuh tipe kecerdasan menurut Howard Gardner tersebut dijabarkan lebih lanjut dengan kemungkinan karir yang cocok untuk masing-masing tipe kecerdasan, yang dapat dijelaskan dalam tabel berikut.

Tabel 2. Tipe Kecerdasan Ganda, Kecakapan, dan Kemungkinan Karirnya

Tipe Kecerdasan Kemampuan Karir
Visual/
Spatial: ability to perceive the visual ? puzzle building
? reading
? writing
? understanding chart and graph
? a good sense of direction
? sketching
? painting
? creating visual metaphors
? analogies
? manipulating images
? constructing
? fixing
? designing practical objects
? interpreting visual images ? navigators
? sculptors
? visual artists
? inventors
? architects
? interior designers
? mechanics
? engineers
Verbal/Linguistic: ability to use words and language ? listening
? speaking
? writing
? story telling
? explaining
? teaching
? using humor
? understanding the syntax and meaning words
? remembering information
? convincing someone of their point of view
? analyzing language usage ? poet
? journalist
? writer
? teacher
? lawyer
? politician
? translator
Logical/
Mathematic:
ability to use reason, logic, and numbers ? problem solving
? classifying and categorizing information
? working with abstract concept
? handling long chains of reason to make local progression
? doing control experiments
? questioning and wondering about natural events
? performing complex mathematical calculators
? working with geometric shapes ? scientist
? engineers
? computer programmer
? researchers
? accountant
? mathematicians
Bodily/Kinesthetic:
Ability to control body movements and handle objects skillfully ? dancing
? physical coordination
? sports
? hands on experimentation
? using body language
? crafts
? acting
? miming
? using their hands to create or built
? expressing emotions through the body ? athletes
? physics education teachers
? dancers
? actors
? firefighters
? artisans
Musical/
Rhythmic:
Ability to produce and appreciate music ? singing
? whistling
? playing musical instruments
? recognizing tonal patterns
? composing music
? remembering melodies
? understanding the structure and rhythm of music ? musicians
? disc jockey
? singer
? composer
Interpersonal: ability to relate and understand others ? seeing things form others perspectives
? listening
? using empathy
? understanding other people’s mood
? motivations ad intentions
? communicating both verbally and non-verbally
? building trust
? peaceful conflict resolution
? establishing positive relations with other people ? counselor
? salesperson
? politician
? business person
Intrapersona: ability to self-reflect and be aware of one’s inner state of being ? recognizing their own strengths and weakness
? reflecting and analyzing themselves
? awareness of their inner feeling
? desires and dreams
? evaluating their thinking patterns
? reasoning with themselves
? understanding their role in relationship to others ? researchers
? theorists
? philosopher

Sumber: http://www.ldpride.net

Bobbi dePorter dkk. (1999:96-98) dalam bukunya bertajuk Quantum Teaching telah memformulasikan tujuh tipe kecerdasan menurut Gardner tersebut menjadi delapan tipe dengan menambahkan satu kecerdasan, yang disusun dalam bentuk jembatan keledai SLIM n BILL sebagaimana digambarkan dalam tabel sebagai berikut.

Tabel 3. Delapan Tipe Kecerdasan

Tipe Kecerdasan Kecenderungan Sifat
S Spasial-Visual Menggambar, membuat sketsa, mencoret-coret, visualisasi, grafik, desain, tabel, seni, video, film
L Linguistik-Verbal Berbicara, menulis, bercerita, mendengarkan, buku, kaset, dialog, diskusi, puisi, lirik, mengeja, bahasa asing, surat, e-mail, pidato, makalah, esai
I Interpersonal Memimpin, mengorganisasi, berinteraksi, berbagi, menyayangi, berbicara, sosialisasi, menjadi pendamai, permainan kelompok, klub
M Musikal-ritmik Menyanyi, bersenandung, mengetuk-ngetuk, irama, melodi, kecepatan, warna nada, alat musik
N Naturalis Jalan-jalan di alam terbuka, berinterksi dengan binatang, menatap binatang, meramal cuaca, simulasi penemuan,
B Badan-Kinestetik Menari, olah raga, menyentuh, drama, indra peraba
I Intrapersonal Berfikir, meditasi, merenung, membuat jurnal, introspeksi
L Logis-Matematis Bereksperimen, bertanya, menghitung, logika, fakta, teka-teki, skenario

Sumber: Ditabulasi dari Quantum Teaching, hal. 97-98.

2. Kecerdasan emosional

Daniel Golemen telah mengambil kesimpulan bahwa faktor IQ (intelelligence quotient) hanya berpengaruh sebesar 20% saja sebagai faktor determinan keberhasilan seseorang, sementara itu yang 80% dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya, termasuk antara lain kecerdsan emosionalnya (emotional intelligence).

Daniel Goleman menyebutkan bahwa kecerdasan emosonal itu mencakup: (1) mengendalikan diri, (2) semangat, (3) ketekunan, dan (4) kemampuan untuk memotivasi diri sendiri. Kemudian timbul satu pertanyaan, apakah kemampuan-kemampuan itu dapat diajarkan? Goleman berpendapat bahwa kemampuan-kemampuan tersebut dapat diajarkan kepada anak-didik, tentu tidak dalam bentuk mata pelajaran, melainkan hidup dalam semua mata pelajaran, dan dilaksanakan dalam suasana pembelajaran yang menyenangkan, sebagaimana konsep yang diajukan oleh Gordon Dryden dan Jeannette Vos dalam bukunya “Learning Revolution”.

Dalam hal pengendalian diri, setiap manusia perlu memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri, mengendalikan “ego” atau kemapuan yang ada pada diri seseorang. Untuk mencapai sesuatu tujuan atau cita-cita, atau menghadapi masalah yang amat pelik di hadapan kita, sebagai misal, kita harus dan perlu mengukurnya dengan kadar kemampuannya sendiri. Ibarat mengukur baju, ukurannya adalah dirinya sendiri, bukan badan orang lain. Ibarat kuda yang akan dipacu untuk mengarah kepada tujuan tertentu, kita memerlukan tali kendali untuk mengarahkan jalan kuda itu agar tetap sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Untuk dapat mengendalikan dirinya, anak-anak perlu diperkenalkan dengan kaidan “jika maka” atau pola sebab akibat. Artinya, semua pekerjaan yang kita lakukan atau untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi, seseorang perlu memiliki kemampuan untuk menerima hasil dan segala konsekuensinya. Inilah makna konsep kedewasaan, yang berarti mampu bertanggung jawab selaras dengan apa yang kita lakukan.

Berkenaan dengan semangat, guru harus dapat menanamkan kesadaran tentang pentingnya usaha yang pantang menyerah dalam mencapai sesuatu. Jangan sekali-kali memiliki jiwa menyerah sebelum berperang. Agar anak-anak memiliki sikap yang pantang menyerah, maka perlu diberi motivasi secara terus menerus dengan teori “triple C kecerdasan motivasi. Pertama, challenge, yakni harus dapat menggunakan tantangan menjadi peluang. Kedua, competition, yakni kita harus memiliki etos kerja untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Ketiga, change, artinya seseorang harus berani mengubah sesuatu cara atau sistem yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Statusquo merupakan faktor yang amat menghambat timbulnya semangat.

Ketekunan, dalam hal ini dapat diartikan sebagai satu sikap yang selalu konsisten dan konsekuen dalam melaksanakan sesuatu. Sikap ini melahirkan sikap pantang menyerah, ulet dan terus menerus bekerja dangan semangat “pantang tolak tugas dan pantang kerja tak selesai” (Motto Himpunan Mahasiswa Islam atau HMI). Sama dengan sumbernya, yakni motivasi, ketekunan yang baik merupakan buah yang lahir dari motivasi secara intern, bukan karena paksaan dari pihak luar.

Kemampuan untuk memotivasi diri sendiri lahir dari kesadaran yang tumbuh terutama dari diri sendiri, bukan karena paksaan dari pihak luar. Disiplin hidup lahir dari adanya kemampuan untuk dapat memotivasi diri sendiri. Sedang disiplin mati lahir dari adanya paksaan dari pihak luar, misalnya karena rasa takut dengan orang lain, atau atasan.

3. Kecerdasan spiritual

Kecerdasan spiritual (spriritual intelligence) amat terkait dengan masalah yang sifatnya transendental, yakni hubungan manusia dengan Tuhannya, sang pencipta. Nilai-nilai ruhaniah, seperti keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan, serta hal-hal tekait dengan hubungan vertikal antara mahluk dengan sang pencipta dan yang terkait dengan religiousitas merupakan unsur-unsur yang amat erat kaitannya dengan kecerdasan spiritual. Aspek yang penting dalam kecerdasan spiritual adalah: (1) keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan, (2) kesabaran dalam menerima kodrat dari Tuhannya, serta (3) mampu melaksanakan amal sholeh dalam kehidupan sehari-hari.

4. Kecerdasan motivasi

Motivasi berasal dari kata “motive” dan “action” (Paul J. Meyer, dalam kit LMI atau leadership management internasional). Motive atau motif artinya alasan atau keinginan, dan action atau aksi atau tindak artinya melakukan kegiatan. Jadi, motivasi adalah alasan atau keinginan untuk melakukan kegiatan tertentu. Motivasi seseorang ada yang rendah dan ada yang tinggi. Ada pula motivasi yang lebih dipengaruhi oleh faktor intern atau dalaman dan ada pula yang lebih dipengaruhi oleh faktor ekstern atau faktor luaran. Motivasi dapat dibedakan menjadi beberapa macam yang dapat digambarkan dalam tabel berikut:

Tabel 4. Macam Motivasi

Pembeda Motivasi Takut Motivasi Insentif Motivasi Hidup
Faktor penyebab Rasa takut pada peraturan Rasa ingin memperoleh insentif Kesadaran diri
Asal penyebab Luaran Luaran Dalaman
Sifat Tidak permanen Tidak permanen Permanen

Kecerdasan motivasi mementingkan upaya meningkatkan kemauan dan kesadaran diri dengan mengarahkan dan memanfaatkan faktor dari luar. Motivasi terkait dengan kepedulian atau komitmen. Commitment atau komitmen lebih berupa “a pledge” artinya janji atau sumpah, terutama kepada diri sendiri untuk melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan. Komitmen itu bisa sebagai komitmen diri sendiri atau komitmen bersama. Seseorang yang memiliki motivasi kuat dan kemudian menjadi komitmen yang kuat, ia akan berusaha dengan sekuat tenaga dan sekeras hati untuk mencapai tujuan yang telah menjadi cita-cita diri maupun organisasinya.

Kecerdasan motivasi sebenarnya telah disinggung dalam uraian yang berkenaan dengan semangat dalam kecerdasan emosional Pertama, challenge, yakni harus dapat menggunakan tantangan menjadi peluang. Kedua, competition, yakni kita harus memiliki etos kerja untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Ketiga, change, artinya seseorang harus berani mengubah sesuatu cara atau sistem yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Dengan kata lain, orang yang memiliki motivasi yang tinggi pada hakikatnya harus siap untuk menerima perubahan. Dalam aspek motivasi ini pulalah, maka konsepsi 3 M yang sering kita dengarkan dari pendakwah kondang Aa Gym amat relevan untuk dikemukakan. Dengan gaya ceramahnya yang menyejukkan, beliau menyatakan: (1) mulailah dari diri sendiri, (2) mulailah dari hal-hal yang kecil-kecil, dan (3) mulailah sekarang juga.

IV. PENERAPAN KONSEP KECERDASAN GANDA DALAM PENDIDIKAN, KHUSUSNYA DALAM PELAKSANAAN PERAN DAN TUGAS GURU

Para pendiri (the founding fathers) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah merumuskan bahwa bidang pendidikan merupakan salah satu tujuan negara. Di dalam Pembukaan UUD 1945, para pendiri NKRI dengan tegas telah merumuskan tujuan negara yang akan dibangun adalah (1) melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Pada awal berdirinya NKRI, pemaknaan rumusan “mencerdaskan kehidupan bangsa” belum banyak dibicarakan di kalangan orang awas atau cerdik cendekia, apalagi di kalangan orang awam atau di kalangan masyarakat luas. Pada awalnya banyak kalangan yang berpandangan bahwa makna kecerdasan lebih mengarah kepada kemampuan intelektual atau kemampuan dari segi akademis. Sejalan dengan perkembangan teori intelligence quotion (IQ), banyak kalangan memiliki pandangan bahwa orang yang cerdas adalah mereka yang memiliki IQ yang tinggi. Dengan demikian, proses pendidikan diidentikkan dengan usaha untuk membentuk peserta didik yang ber-IQ tinggi atau memiliki kemampuan akademis yang tinggi. Dalam dua sampai tiga dekade sejak kemerdekaan, praktik pendidikan di Indonesia lebih didasarkan kepada konsep kecerdasan dalam aspek intelektual. Itulah sebabnya, maka sistem penilaian di sekolah pun lebih menjurus kepada penilaian dalam aspek akademis, dengan menggunakan tes pilihan ganda (multiple choices).

Gardner mengingatkan kita bahwa anak-anak memiliki kemampuan yang berbeda-beda sesuai dengan bakat dan minatnya. Gardner juga menegaskan bahwa “satu-satunya sumbangan paling penting untuk perkembangan anak adalah membantunya untuk menemukan bidang yang paling cocok dengan bakatnya, yang akan membuatnya puas dan kompeten (Daniel Goleman: 2002, 49). Sumbangan paling penting ini adalah dari pendidikan.

Pada umumnya kita menyadari sepenuhnya bahwa setiap manusia memiliki kelebihan atau kekuatan (strengths) dan kekurangan atau kelemahan (weaknesses). Seseoarang memiliki kelebihan dalam aspek tertentu dibandingkan dengan yang lainnya, sementara yang lain memiliki kelebihan dalam aspek yang lainnya. Selama ini, perhatian kita terhadap anak-anak kurang memperhatikan kelebihan dan kelemahannya. Orangtua di rumah dan pendidik di sekolah pada umumnya menghadapi anak dengan perlakukan yang sama. Bukti adanya orangtua yang memaksa anaknya untuk mengambil jurusan tertentu sesuai dengan kehendak orangtua menunjukkan bahwa orangtua belum memiliki pemahaman yang benar mengenai keunikan anak, sejalan dengan konsep kecerdasan ganda. Bukti lain adanya guru yang mengajar secara klasikal tanpa pernah memperhatikan perbedaan indivual siswa menunjukkan hal yang sama. Walhasil, baik orangtua maupun guru sama sekali belum menerapkan konsepsi kecerdasan ganda dalam pelakasanaan tugasnya. Fungsi pendidikan seharusnya memberikan fasilitasi secara maksimal agar sang anak dapat berkembang secara maksimal selaras dengan tipe kecerdasan yang mereka miliki.

Penjelasan berikut akan lebih memberikan wawasan tentang penerapan kecerdasan ganda dalam dunia pendidikan.

1. Pengalaman guru matematika

Mulai tahun pelajaran 2003, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional menerapkan sistem Ujian Akhir Nasional (UAN) untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Kebijakan UAN untuk SLTP antara lain adalah: (1) ada tiga mata pelajaran yang soalnya dibuat oleh Departemen Pendidikan Nasional, yakni mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika, (2) peserta didik akan dinyatakan lulus dan berhal memperoleh Surat Tanda Kelulusan (STK) jika berhasil memperoleh nilai di atas nilai 3 (tiga) untuk ketiga mata pelajaran tersebut.

Terkait dengan kebijakan tersebut, seorang guru matematika di suatu SLTP merasa putus asa karena ada seorang siswa yang data pribadinya sebagai berikut: (1) siswa tersebut berjenis kelamin laki-laki, dan secara fisikal ganteng, (2) bentuk tulisannya amat bagus, malah lebih bagus dan rapi jika dibandingkan dengan tulisan kebanyakan anak perempuan di kelasnya, (3) rajin dan tekun belajar, tetapi (4) sayangnya tidak tertarik dan kurang sekali dalam bidang matematika. Guru matematika di SLTP tersebut merasa khawatir terhadap seorang anak tersebut, kalau-kalau nanti tidak lulus gara-gara ia tidak dapat mencapai nilai di atas 3 (tiga). Sang guru mulai memasang aksi, dengan memberikan satu treatment (perlakuan) tertentu terhadap anak ini. Sang guru ini telah mempelajari teori kecerdasan ganda dari Howard Gardner. Sang guru sadar benar, bahwa anak tersebut kelihatannya memang lebih memiliki kecerdasan “linguistik” daripada tipe “logis-matematis”. Oleh karena itu, sang guru juga sadar bahw akan sulit sekali untuk memaksa anak tersebut dapat menguasai mata pelajaran matematika sebagai anak-anak yang memang memiliki tipe kecerdasan logis matematis. Kesadaran inilah yang menyebabkan ia mulai mengadakan pendekatan terhadap anak tersebut. Katanya kepada siswa tersebut, “Fulan, bu guru sambil memegang pundak si Fulan. Kelihatannya kamu memang lebih suka terhadap bahasa, tetapi kurang suka terhadap matematika. Ibu guru tahu hal ini. Tetapi, apakah kamu tidak bisa untuk sedikit berusaha agar nilaimu kelak — sang guru sambil nafas dalam-dalam —, ya ?. minimal 3,1 (tiga koma satu). Karena kamu tahu kan, kalau nilai kamu 3, artinya kamu tidak lulus. Itu kan sayang sekali buat kamu, dan juga buat kami para guru. Ibu guru berharap agar kamu akan memperoleh nilai yang amat baik dalam mata pelajaran yang memang kamu kuasai, yakni bahasa, katakanlah kamu bisa memperolah nilai minimal 9 (sembilan). Tetapi, dalam mata pelajaran matematika, ibu berharap cobalah berusaha dapat memperoleh nilai cukup dengan angka 3,1. Itulah yang ibu harapkan kepada kamu”. Dengan sedikit memberikan motivasi kepada anak tersebut, akhirnya sang guru mencoba mulai memberikan dorongan dan bimbingan terhadap anak tersebut. Walhasil, pada akhir UAN, sang anak memang memperoleh nilai 9 dalam mata pelajaran bahasa, dan alhmdulillah anak tersebut dapat memperoleh nilai 3,8 dalam mata pelaajaran matematika. Anak ini lulus dengan dengan nilai yang amat memuaskan dalam mata pelajaran bahasa, dan tidak sampai jatuh dalam mata pelajaran matematika. Guru matematika yang telah mempelajari teori multiple intelligence memahami betul, itulah usaha maksimal yang dapat dilakukan. Itulah bimbingan dan penyuluhan yang dapat diberikan kepada siswanya. Guru matematika mencoba memberikan motivasi dan dorongan agar anak dapat mengembangkan potensinya selaras dengan tipe kecerdasan yang dimiliki peserta didiknya.

3. Sartono Mukadis tentang “Rapor bintang”

Apa yang ditulis Sartono Mukadis (Kompas, 19 Juni 2003) tentang “rapor bintang” memang amat menarik untuk dibahas dalam buku ini, yang menurut penulisnya sebagai salah satu alternatif pengganti sistem peringat (rangking) yang kini masih diberlakukan di sekolah. Konsep yang diajukan Sartono Mukadis tersebut amat sesuai dengan konsep delapan tipe kecerdasan ganda (multiple intelligence).

Selaras dengan karakteristik manusia yang memiliki keunikan, meski kembar sekali pun, seorang pasti memiliki perbedaan kecerdasan antara satu orang dengan orang lain. Oleh karena itu, prestasi belajar tidak dapat dirata-rata, yang kemudian digunakan sebagai dasar untuk menentukan peringkat prestasi belajar di kelas. Sartono Mukadis mengambil analogi prestasi Yauk Basuki dalam bidang tennis. Yayuk pernah menduduki peringat ke-20-an dunia sebagai pemain tunggal. Pada saat yang bersamaan, Yayuk juga berhasil menduduki peringkat ke-75-an dunia sebagai pemain ganda. Apakah dengan demikian prestasi Yayuk Basuki dapat dirata-rata untuk kedua jenis pertandingan itu? Tentu saja tidak. Prestasinya sebagai pemain tunggal sama sekali tidak dapat diukur rata-ratanya dengan prestasinya sebagai pemain ganda. Demikian juga halnya dengan prestasi hasil belajar siswa di sekolah. Prestasinya dalam mata pelajaran matematika tidak dapat diukur rata-ratanya dengan prestasinya dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Dengan kata lain, prestasi siswa di sekolah dalam mata pelajaran tertentu di kelasnya harus dianggap sebagai prestasi bintang di kelasnya, dan prestasi itu dalam mata pelajaran lain tidak dapat dicapainya, karena tidak saja karena memang bukan sebagai tipe kecerdasannya, tetapi mungkin juga karena tidak dapat dikembangkan secara optimal karena berbagai faktor intern dirinya sendiri atau faktor lainnya. Dengan demikian, seorang anak dapat memperoleh predikat bintang dalam mata pelajaran tertentu, tetapi tidak memperoleh predikat itu dalam mata pelajaran lainnya. Dengan demikian, peserta didik memperoleh gambaran secara obyektif tentang kekuatan dirinya sendiri dalam bidang tertentu. Hal ini selaras dengan salah satu dari empat pilar pendidikan menurut UNESCO, yakni learning to be, atau belajar untuk menjadikan anak sebagai dirinya sendiri, atau sesuai dengan kemampuan anak itu sendiri. Untuk selanjutnya bidang itulah yang seharusnya memperoleh penguatan secara lebih optimal lagi, baik melalui pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, maupun pendidikan di masyarakat. Dengan cara ini seorang anak diharapkan akan memperoleh rasa percaya diri dari prestasi bintang dalam bidang tertentu, tanpa harus merasa rendah diri karena tidak dapat menduduki peringkat sepuluh besar di kelasnya.

Kurukulum Berbasis Kompetensi (KBK) telah diterapkan di Indonesia secara bertahap. Sistem laporan pendidikan yang digunakan sudah barang tentu harus disempurnakan selaras dengan makna kompetensi yang diharapkan akan menjadi hasil belajar siswa. Kompetensi siswa dalam bidang tententu kemungkinan akan memperoleh predikat bintang, sedang kompetensi dalam bidang yang lain tidak demikian halnya. Konsep “rapor bintang” dari Sartono Mukadis sudah barang tentu dapat menjadi salah satu alternatifnya.

V. PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil beberapa butir kesimpulan sebagai berikut:

1. Dalam sistem pendidikan nasional, guru merupakan salah satu komponen yang terpenting, di samping siswa, kurikulum, dan fasilitas pendidikan. Guru yang bermutu akan menentukan tercapainya pendidikan yang bermutu.

2. Suatu pekerjaan dapat disebut sebagai profesi jika pekerjaan itu memiliki beberapa karakteristik: (1) memiliki fungsi dan signifikansi dengan kebutuhan masyarakat, (2) memerlukan bidang keahlian dan keterampilan yang khas dan berbeda dengan bidang pekerjaan lain, (3) didikung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi (body of knowledge) yang dikembangkan oleh lembaga pendidikan yang akan memberikan proses pendidikan untuk dapat mencapai bidang keahlian dan keterampilan tersebut, (4) diperkuat dengan adanya kode etik dan organisasi profesi, (5) ada penghargaan berupa gaji dan atau insentif yang memadai, sebagai kompensasi dari pelaksanaan pekerjaannya.

3. Berdasarkan karakteristik tersebut, guru (di Indonesia) belum sepenunya dapat dikategorikan sebagai profesi, karena ada beberapa karakteristik yang masih belum sepenuhnya terpenuhi, yakni (1) penguasaan kompetensi yang dinilai masih rendah, dan (2) masih rendahnya penghargaan dan gaji yang diterima para guru.

Pencanangan guru sebagai profesi di Indonesia oleh Presiden Republik Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudoyono, akan menjadi satu acara seremonial belaka, dan menjadi sia-sia, jika semua persyarakatan sebagai profesi tersebut tidak dipenuhi. Pencanangan guru sebagai profesi akan sia-sia, kalau tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraannya (Mohammad Surya, Ketua Umum PB PGRI). Namun demikian, gagasan pencanangan guru sebagai profesi menjadi langkah dan momentum yang strategis sebagai upaya untuk memenuhi persyarakatan tersebut.

4. Guru, sebagai komponen utama dalam sistem pendidikan nasional, harus memiliki wawasan pengetahuan yang cukup tentang konsep kecerdasan ganda, dan menerapkan konsep tersebut dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya dalam proses pembelajaran di sekolah, antara lain (a) pada hakikatnya setiap anak didik tidak hanya memiliki satu kecerdasan, melainkan kecerdasan ganda, (b) dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya, guru harus menempatkan anak didik sesuai dengan perbedaan individualnya, antara lain perbedaan dalam kecerdasannya, (c) satu-satunya sumbangan paling penting dari pendidikan adalah membantu anak didik untuk menemukan bidang yang paling cocok dengan bakatnya, yang akan membuatnya puas dan kompeten.

Bahan Rujukan:

  • Dedi Supriadi (Ed.). 2003. Guru di Indonesia, Pendidikan, Pelatihan dan Perjuangannya Sejak Zaman Kolonial Hinga Era Reformasi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Diriektorat Tenaga Kependidikan
  • Dedi Supriadi. 1998. Mengangkat Cita dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
  • Kompas, 18 Oktober 2004. Deny AS: Menganaktirikan Profesi Guru,
  • Kompas, 24 April 2000. Winarno Surakhmad: Guru dan Mutu.
  • Kompas, 6 Desember 2004. T. Raka Joni: Profesionalisme Guru: Janji dan Tuntutannya
  • Kompas, 6 Juli 2000. Sistem Karier Guru Perlu Diperbaiki.
  • Kompas, 7 Januari 2003. HJ. Sriyanto: Pudarnya Citra Profesi Guru
  • Republika, 10 Desember 2004. Bila Guru Menjadi Profesi.
  • Republika, 24 Desember 2004. Rendahnya Kemampuan Matematika Siswa.
  • Republika, 24 Desember 2004. Rendahnya Kemampuan Matematika Siswa
  • Suparlan. 2004. Mencerdasakan Kehidupan Bangsa, dari Konsepsi Sampai Dengan Implementasi. Yogyakarta: Hikayat
  • Suparlan. 2005. Menjadi Guru Efektif. Yogyakarta: Hikayat

Yogyakarta, April 2005

Disampaikan
Pada Seminar Pendidikan Matematika SMP
Se Wilayah Provinsi Jawa Tengah
Rabu,Tanggal 4 Mei 2005
Di SMP Muhammadiyah 1
Surakarta

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts