Oleh Suparlan, Ibu Sitawati, Ibu Amel*)
Problem yang sering saya temui pada umumnya adalah komite sekolah hanya dipakai sebagai alat untuk memungut uang oleh sekolah. Sehingga dengan demikian orangtua murid merasa ditipu oleh orangtua lain yang tergabung dalam komite sekolah.
(Sitawati Ken Utami)
Seorang ibu, namanya Sitawati Ken Utami, pada tanggal 22 November 2008 telah terpilih menjadi ketua komite sekolah, di tempat anaknya belajar, SDN Tonjong 3 Bogor. Ini sebuah amanah katanya. Sungguh satu dedikasi yang begitu tinggi. Melalui cfbe@yahoogroups.com Ibu Sita, panggil saja begitu, telah berbagi cerita dan pengalaman dengan mailisters, termasuk penulis, tentang program komite sekolah. Dalam tulisannya, Ibu Sita menyampaikan problem komite sekolah yang penulis jadikan “kata-kata bijak” pada awal tulisan ini. Katanya, “problem yang sering saya temui pada umumnya adalah komite hanya dipakai sebagai alat untuk memungut uang oleh sekolah. Sehingga dengan demikian orangtua murid merasa ditipu oleh orangtua lain yang tergabung dalam komite sekolah”. Itulah suara hati yang sebenarnya. Dalam berbagai acara pertemuan dengan dewan pendidikan dan komite sekolah, kita selalu menyampaikan bahwa masalah utama komite sekolah adalah karena stigma BP3 yang telah melekat erat kepada komite sekolah, yakni “komite sekolah stempel”. Bahkan penulis juga membuat istilah yang agak satiris, yakni “komite sekolah berada di ketiak kepala sekolah”, dengan makna yang setali tiga uang, alias sama saja.
Ibarat masalah nyamuk dalam rumah kita
Dari masalah tersebut, timbullah masalah yang super berat. Apa itu? Kalau peran komite sekolah hanya seperti itu, yakni hanya sebatas memungut iuran atau sumbangan dari orangtua siswa, kenapa harus dibentuk komite sekolah? Lebih baik bubarkan saja. Nah inilah masalah super berat itu. Suara-suara dari berbagai kalangan untuk membubarkan komite sekolah mulai terdengar santer. Respon pun muncul. Ada yang mengatakan, apakah kalau ada masalah banyak nyamuk di rumah, apakah kemudian rumahnya lebih baik dibakar saja? Ohh, tentu tidak. Nyamuk memang haruslah dihalau, kalau bisa diberantas, tetapi tidak dengan membakar rumah tempat kita berteduh. Sudah tentu ada masalah, ada penyebab, dan insyaallah akan ada pula pemecahannya.
Dalam surat terbukanya di cfbe@yahoogroups.com, Ibu Sitawati meminta kepada mailisters untuk memberikan masukan. Katanya, “saya mohon masukan bagaimana caranya kita berkontribusi dengan kondisi sekolah yang minim fasilitas, dana BOS yang tiap bulan dipotong Rp11.500,00 untuk biaya ulangan (memangnya boleh ya), pendapatan guru minim dan saat ini anak-anak memang sudah tidak membayar. Menurut kepala sekolah lama (kepsek baru mulai bulan juni 2008) dana BOS turun tiap 3 bulan sekali. Jadi tiap bulan kepala sekolah harus nombokin dulu, baru setelahnya “buka tabungan”. Situasinya memang cukup dilematis, bahkan untuk memungut iuran Rp10.000,00 dalam rangka membayar biaya ulangan umum. Di satu sisi melanggar ketentuan, di sisi lain guru perlu dibantu. kadang saya menutup mata untuk ini, bayar sajalah. Tetapi tidak semua ortu punya pendapat yang sama”. Begitulah keluhnya.
Jalan keluar yang sangat modert, tetapi memang berat
Setelah menanti beberapa hari, lahirlan saran dari Ibu Amaliah Fitriah, sebut saja Ibu Amel, pintanya, seorang mahasiswa yang sedang mengambil S2 di New Zealand. Tesis yang akan diambil adalah tentang pemberdayaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, alias peran serta masyarakat. Panjang juga surat elektronik beliau ini. Maklum, sedang gencar-gencarnya menulis tesis tentang Dewan Pendidikan. Suratnya terkirim pada Hari Kamis, 4 Desember 2008. Malah surat lengkapnya penulis simpan dalam file “artikel tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah”. Dengan nada keibuannya, Ibu Amel menulis — wah enak juga kalau menulis hanya dengan mengopi tuliasan orang — sebagai berikut:
“Saya memahami dilematisnya posisi ibu. Di saat komite sekolah sedang menjadi sorotan, tentulah tidak mudah [ibu] mengomandoi lembaga ini. Sebuah lembaga yang yang idealnya memang menjadi representasi masyarakat demi peningkatan mutu sekolah, malah menjadi bulan-bulanan karena salah langkah atau karena tidak benar-benar memahami peraturan yang ada. Seharusnya memang komite sekolah bersinergi dg pihak sekolah demi kemajuan sekolah tanpa membebani orang tua”
Tambahnya, Ibu Amel meneruskan tulisannya sebagai berikut: “menurut saya, masyarakat kita selalu memandang sesuatu dari titik ekstrim. Kalau tidak gratis sama sekali, ya pungutan yang tiada hentinya. Dan bukannya mencari jalan tengah terbaik. Misalnya, ketika dikatakan bahwa pendidikan gratis, maka yang terbayang adalah Rp0,00. Tidak mau keluar uang sedikit pun demi pendidikan. Padahal kenyataan di lapangan menunjukkan, dana BOS tidak selamanya mencukupi seperti yang ibu ceritakan. Akibatnya, guru tidak terjamin, fasilitas tidak memadai. Padahal bukan seperti ini gambaran pendidikan gratis, setidaknya dari kaca mata saya. Sebagai contoh, di negara maju seperti NZ saja, maksudnya New Zealand, orang tetap membayar pendidikannya mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Keluarga yang tidak mampu mendapat subsidi (jaminan) dari pemerintah. Sedangkan untuk pendidikan tinggi disediakan pinjaman bagi mahasiswa, yang harus dikembalikan setelah mereka bekerja nanti. Saya tidak mengatakan bahwa masyarakat Indonesia harus membayar pendidikannya, karena nyata-nyata kesejahteraan masyarakat yang masih rendah. Tapi setidaknya ada pemahaman dari masyarakat bahwa pendidikan bermutu itu tanggung jawab bersama, masyarakat dan pemerintah. Tapi jangan juga kemudian menjadi titik ekstrim yang satu lagi, dimana sekolah tak henti-hentinya mengadakan pungutan dari orangtua sehingga memberatkan. Sehingga kemudian keberadaan komite sekolah hanya kepanjangan tangan dari sekolah untuk mengumpulkan dana masyarakat. Hal ini lah yang menyebabkan masyarakat menjadi skeptis terhadap keberadaan lembaga ini”.
Surat elektronik Ibu Amel tersebut sungguh sangat menyejukkan, karena yang diambil adalah jalan tengah, bukan yang ekstrim, yang Rp0,00 atau yang tak henti-hentinya mengadakan pungutan dari orantua. Karena itu, penulis sengaja mengutipnya lengkap, hanya penulis sedikit perbaiki redaksinya yang disingkat. Apa yang dikemukakan Ibu Amel, merupakan jalan tengah yang harus diambil untuk memecahkan masalah yang dihadapi komite sekolah.
Kreativitas Komite Sekolah
Ada beberapa tip yang diberikan oleh Ibu Amel kepada Ibu Sitawati. Beberapa di antaranya sebagai berikut.
Pertama, setiap pengambilan keputusan komite sekolah seluruh orangtua harus dilibatkan secara demokratis, sehingga semua keputusan yang diambil sah. Bahkan haruslah transparan dan akuntabel. Mengapa? Karena lembaga komite sekolah merupakan representasi dari orangtua dan masyarakat. Untuk ini maka komunikasi antara ketua komite sekolah dengan orangtua dan masyarakat harus tetap terjaga.
Kedua, berkenaan dengan pengumpulan dana, Ibu Amel menyarankan kreativitas sebagai berikut. ”Kalaupun terpaksa sekali harus mengumpulkan dana bagi sekolah, hindarilah pungutan, gunakan cara yang lebih kreatif. Ada beberapa contoh yang bisa saya berikan, ibu bisa memodifikasi sendiri tentunya. Setiap menjelang akhir tahun, komite sekolah anak saya menawarkan kalender istimewa. Kenapa istimewa? karena gambar yang terpampang di sana adalah hasil karya2 anak kita selama setahun. Tentu saja ortu yang mampu dengan senang hati membelinya, bahkan dalam jumlah banyak. Biasanya untuk suvenir akhir tahun yg dikirimkan kepada sanak keluarga. Yang tidak mau membeli ya tidak apa-apa, tidak ada paksaan. Apakah ini pungutan? Tentu bukan, karena sifatnya sukarela dan ada timbal balik. Namun toh sekolah tetap mendapat dana dari hasil penjualannya. Cara lain misalnya, setiap tahun sekolah juga mengadakan school production. Pertunjukan seni dan budaya yg menampilkan seluruh siswa. Tentu orang tua excited (terkesan) begitu untuk nonton dan tidak keberatan membeli tiket. Ini pun sukarela, sekolah mendapatkan dana lagi. Cara lain lagi, sebulan sekali ada ‘burger day‘, yang mau boleh pesan burger untuk makan siang, yang tidak juga tidak apa-apa (anak saya tidak pernah, karena dia tidak suka). Sebagian keuntungan masuk ke kas sekolah. Dan masih banyak contoh lain yang tidak mungkin saya sebutkan semua. Cara-cara pengumpulan dana seperti ini menurut saya tidak hanya efektif, tapi juga sangat bagus untuk meningkatkan kreativitas anak-anak didik. Saya pribadi melihat tidak ada yang salah dengan cara-cara seperti ini, dan terbukti di sini semua orangtua malah mendukung penuh kegiatan-kegiatan seperti ini”.
Dalam surat elektroniknya, Ibu Amel, lagi-lagi berpesan kepada pengurus komite sekolah sebagai berikut. ”Tentu saja semua butuh proses, tapi paling tidak di awal ibu bisa meletakkan dasar-dasar seperti ini yang bisa dilanjutkan ke generasi komite sekolah berikutnya. Di tangan orang yang masih punya kepedulian seperti ibulah, citra komite sekolah bisa diselamatkan. Sehingga komite sekolah bisa menjadi wadah yang benar-benar mewakili kepentingan orangtua dan masyarakat, dan bukannya malah dibubarkan. Pendidikan memang tanggung jawab kita bersama dan membutuhkan peran dari kita semua”. Di ujung suratnya, Ibu Amel masih sempat memberikan motivasi kepada Ibu Sitawati. ”OK Bu, selamat berjuang. Semoga Ibu mampu menjalankan amanah yang sangat mulia ini”.
Akhir kata
Memang, sebagian tulisan ini adalah kutipan dari tulisan Ibu Amel. Untuk ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih. Penulis ingin mendokumentasikan tulisan Ibu Amel menjadi tulisan yang dapat dijadikan bahan pelajaran bagi semua pengurus komite sekolah. Kata kunci yang ingin kemukakan dalam tulisan ini adalah kreativitas. Bukan menyerah kalah kepada keadaan dan masalah. Bukan hanya dengan mudahnya membubarkan komite sekolah.
*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com. Ibu Sitawati: sitawatikenutami [at] yahoo [dot] co [dot] id; Ibu Amel: f_emale2003 [at] yahoo [dot] com.
Depok, Desember 2008