ArtikelPendidikan

Generasi Emas Indonesia dan Beberapa Ancaman Dalam Pelaksanaannya

386 views
3 Komentar

***
Alone we can do so little. Together we can do so much
(Helen Keller)
Education is the most powerful weapon which you can use to change the world (Nelson Mandela)
***

Pada saat ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sedang gencar-gencarnya melakukan sosialisasi implementasi Kurikulum 2013. Mengapa Kurikulum 2013 dikebut untuk segera dilaksanakan, meski sampai dengan cara “menyingsingkan lengan tangan”, menurut istilah Pak Wamen Dikdbud?. Alasan utamanya adalah karena generasi yang pada saat ini berusia 0 – 9 tahun dan 15 – 19 tahun pada saat ini diprediksi kakan menjadi warga negara usia 35 – 44 tahun dan 45 – 54 tahun saat Indonesia berusia 100 tahun (1945 – 2045). Dengan demikian, anak-anak usia sekolah pada masa kini akan dipersiapkan untuk menjadi tenaga kerja dan calon pemimpin pada saat Indonesia berusia 100 tahun kelak. Inilah urgensi paling nyata tentang perlunya pelaksanaan Kurikulum 2013 yang tidak dapat ditunda-tunda.
Lalu, apakah dengan Kurikulum 2013 saja semua urusan akan menjadi beres? Dari aspek standar isi memang ya. Tetapi, dari segi yang lain ternyata tidak demikian. Pendidikan adalah merupakan sistem yang saling kait mengait. Banyak faktor yang mempengaruhinya.
Dengan demikian, pendidikan tidak cukup hanya dengan slogan “pendidikan gratis” dan semuanya menjadi beres. Pendidikan dimulai dari keluarga. Keluarga dan masyarakat perlu ditingkatkan peran sertanya untuk membangun pendidikan. Ada faktor-faktor kontekstual yang mempengaruhi keluaran dan hasil pendidikan. Oleh karena itu organisai sosial kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia industri (DUDI) perlu digalakkan. Benar, kata para ahli bahwa di era teknologi informasi dan komunikasi “we are not looking for a super star, but we are looking for a super team”. Kita tidak mencari seorang super star, tetapi kita lebih mencari satu tim yang super, tim yang dapat bekerja sama. Terutama untuk urusan pendidikan ini, yang akan mempersiapkan generasi emas ketika Indonesia berusia 100 tahun. Cukupkah dengan kurikulum yang hebat semuanya akan beres? Banyak faktor non-kurikulum yang akan berpengaruh pelaksanaan program generasi emas.
Pertama, masalah kesehatan anak-anak usia sekolah SD dan SMP menjadi salah satu kendala. Inilah salah satu bukti nyata yang telah membuka mata kita Pada tanggal 18 Agustus 2014 lalu, http://www.antaranews.com menyampaikan data faktual dari Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi, hasil Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2013 yang menyebutkan bahwa 26,4 persen anak SD-SMP menderita anemia gizi. Ini berarti makanannya tidak becus, dan bisa berpengaruh ke kemampuan belajar anak,” ujar Menkes ketika berdialog dengan para pemenang Lomba Sekolah Sehat tingkat Nasional tahun 2014 di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta.
Kedua, bukan hanya faktor itu. Riskesdas juga melaporkan perilaku beresiko yang dilakukan oleh kelompok usia anak sekolah seperti merokok yang dilakukan oleh 18,3 persen anak usia 15–19 tahun, kurang aktivitas fisik pada 35,4 persen anak usia 15-019 tahun, kurang mengkonsumsi buah/sayur pada 95 persen anak usia 13–15 tahun, tidak menggosok gigi dengan benar pada 92,3 persen anak usia 13–15 tahun, dan 80 persen anak usia 13–15 tahun tidak mencuci tangan dengan benar. Dalam hal ini, Menkes menuding kehadiran mi instan sebagai salah satu penyebab anemia gizi. “Sekarang mi instan itu masuk desa. Anak-anak tidak lagi makan sayur dan buah. Asupan makanannya semua karbohidrat,” ujar Menkes. Oleh karena itu, program generasi emas, tidak dapat hanya menjadi fokus kegiatan Kemendikbud, tetapi harus menjadi program bersama semua institusi yang terkait.
Hasil riset kesehatan dasar tersebut dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 1: Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013
No. Ancaman dari Aspek Kesehatan Indikator (%)
1 Anak usia SD-SMP menderita anemia gizi 26,4
2 Anak usia 15 – 19 tahun mempunyai kebiasaan merokok 18,3
3 Anak usia 15 – 19 tahun kurang memiliki aktivitas fisik 35,4
4 Anak usia 13 – 15 tahun kurang mengonsumsi buah/sayur 95,0
5 Anak usia 13 – 15 tahun tidak menggosok gigi dengan benar 92,3
6 Anak usia 13 – 15 tahun tidak mencuci tangan dengan benar 80,0

Sumber: Riset Kesehatan Dasar (Riset Kesehatan Dasar) 2013.
Sensus Penduduk 2013 menunjukkan kelompok usia anak sekolah Indonesia berjumlah sekitar 66 juta jiwa atau 28 persen dari jumlah penduduk, dengan 46 juta (70 persen) di antaranya bersekolah di tingkat SD, SMP, dan SMA. Dengan demikian dapatlah kita simpulkan bahwa budaya kesehatan di sekolah menjadi ancaman besar terhadap pelaksanaan program generasi emas.
Selain aspek kesehatan tersebut, beberapa aspek lain yang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan aspek kesehatan tersebut, kita perlu memberikan perhatian lebih besar kepada peringatan yang telah disampaikan oleh Thomas Lickona tentang penyimpangan perilaku kelompok masyarakat, termasuk anak-anak usia sekolah. Peringatan Thomas Lickona ini menjadi perhatian Ir. Sutawi, M.P, dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), yang menjadi juara pertama dalam lomba karya tulis tentang Pendidikan Karakter untuk Membangun Keberadaban Bangsa, yang diadakan oleh Pusat Informasi dan Humas Kementerian Pendidikan Nasional. Dalam karya tulisnya tersebut, Ir. Sutawi, M.P mengutip pendapat Thomas Lickona bahwa ada sepuluh tanda-tanda degradasi moral yang merupakan faktor-faktor yang menandakan kehancuran suatu bangsa. Kesepuluh aspek itu adalah dapat dijelaskan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 2: Sepuluh Tanda-Tanda Kehancuran Suatu Bangsa
No. Penyimpangan perilaku dalam masyarakat (termasuk anak usia sekolah)
1 Meningkatnya kekerasan pada remaja
2 Penggunaan kata-kata yang memburuk
3 Pengaruh peer group (rekan sejawat) yang kuat dalam tindak kekerasan
4 Meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas
5 Kaburnya batasan moral baik-buruk
6 Menurunnya etos kerja
7 Rendahnya rasa hormat kepada orangtua dan guru
8 Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara
9 Membudaya-nya ketidakjujuran
10 Adanya saling curiga dan kebencian di antara sesama

Sumber: Thomas Lickona, dalam Ir. Sutawi, M.P. “Restorasi Keberadaan Bangsa Melalui Pendidikan Karakter”.

Oleh karena itu, sangat tepat kiranya jika Kurikulum 2013 tidak hanya akan mengotak-atik tujuan pendidikan yang menekankan ranah kognitif belaka, tetapi akan lebih memberikan penekanan pada ranah sikap, baik sikap pribadi dan sikap sosialnya, serta keterampilannya. Dengan demikian, tujuan pendidikan yang akan dicapai melalui penerapan Kurikulum 2013 untuk mencapai sasaran besar, yakni untuk menghasilkan generasi emas yang cerdas, bukan hanya dalam pengertian cerdas intelektualnya belaka, tetapi cerdas secara komprehensif atau cerdas paripurna yang selaras dengan satu dari empat tujuan negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Sekali lagi, pengertian cerdas tidak sama dengan pandai atau juga pintar. Pengertian cerdas yang dirumuskan oleh para pendiri Republik Indonesia pada hakikatnya tidak lain kecuali kecerdasan komprehensif, yang memiliki delapan tipe kecerdasan yang dijelaskan dalam konsep kecerdasan majemuk atau kecerdasan ganda, yang bukan hanya meliputi kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan siritual, kecerdasan kinestetik, dan kecerdasan lain sebagaimana konsep kecerdasan majemuk yang dijelaskan penggagasnya, Howard Gardner, dalam buku yang berjudul “Multiple Intelligence” (Suparlan, 2004, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa). Warga negara Indonesia pada saat Indonesia mencapai usia 100 tahun diharapkan menjadi warga negara, terutama para pemimpinnya, sebagai warga negara cerdas komprehensif atau warga negara yang cerdas secara paripurna. Amin.

*) University of Houston, 1988.
Depok, 28 Agustus 2014.

Tags: Generasi Emas

Related Articles

3 Komentar. Leave new

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts