Bung,
aku salah satu anak ideologismu
marhen di antara jutaan marhen
yang ikhlas mencintamu melebihi
cinta penuh gincu
Bung,
pakaian putih dan peci hitam
adalah sihir kebesaranmu
yang mengaum sepanjang ruang dan waktu.
Bila aku dan jutaan anak ideologismu meniru
itu tanda cinta, tapi bukan kawin-mawinmu
Kini, apa yang mesti kukatakan padamu
bila seorang darah-dagingmu meradang cemburu
“Mengapa meniru ayahku, tiru sendiri bapakmu”
Bung,
lama aku termenung di tengah
gemuruh propaganda bibir-bibir hitam
dan jurus-jurus membunuh lawan
untuk memenangkan kekuasaan
Revolusi belum selesai, katamu
Revolusi mental harus dilaksanakan, katanya
Tapi revolusi macam apa
kalau mencintaimu saja dilarang
Di hari tenang menjelang pemberian hak suara
aku menimbang segalanya dengan teliti
menimbang keanehan-keanehan bertopeng
demokrasi , kebebasan dan hak asasi
Bung,
Kita memang belum pernah bertemu muka
tapi wajahmu dan Hatta sudah lama
terpaku di hatiku di hati Indonesia Raya
Gelegar suaramu dengan berjuta tanda seru
memenuhi ingatan dan denyut nadi
Bagaimana aku bisa menurunkan gambarmu
apalagi membakar dengan kurang ajar di tepi jalan
didepan mata pena, kamera dan televisi ?
Tapi kata-kata darah-dagingmu itu
sungguh melukai akal sehat
dan tiba-tiba membuatku menjadi
anak tiri!
Jakarta, 2014
[gus]www.inlah.com