Oleh: Suparlan *)
Selama lima tahun saya bertugas di Malaysia, saya menjadi kepala Sekolah Indonesia Kuala Lumpur (SIK). Banyak juga pengalaman yang saya peroleh. Antara lain diberi hadiah oleh seorang kepala sekolah satu potong rotan, yakni cambuk untuk menghukum anak-anak yang melanggar kesalahan si sekolah Malaysia. Tapi maaf, jangan salah sangka dulu. Tentu saja hukuman yang diberikan sesuai dengan tingkat kesalahannya. Yang paling penting tujuannya adalah pendidikan. Bukan seenaknya menghukum. Kalau itu terjadi, maka itu bukan menghukum, tapi menyiksa. Hal demikian jutru akan menjadi pelanggaran tersendiri yang justru akan dikenai hukuman tersendiri. Itulah pengalaman yang tak terlupakan. Cambuk rotan itu saya simpan di atas almari. Suatu ketika ketahuan oleh cucu saya. Dia bertanya “apa ini kung?” Oh, itu cambuk untuk menghukum anak nakal di Malaysia. Ada cucu saya yang cerdas. Apa alat ini masih digunakan di Malaysia? Jadi bunda dulu juga dicambuk kalau nakal? Oh tidak. Anak-anak Malaysia sudah baik-baik. Karena itu anak-anak Malaysia malah banyak yang masuk ke “Smart School.” Cucuku bertanya lagi “apa itu Smart School?” Itu sekolah yang semua siswanya menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), seperti komputer. Nah, negara kita tidak kalah dengan Malaysia, kan kung? Karena saya dan adik-adik sudah menggunakan IPEd, misalnya untuk main game. Ya kan kung? Ya, tapi bukan hanya untuk main game, tapi untuk mempelajari ilmu pengetahuan. Bukan hanya game, tapi belajar ilmu. Ya kung, kemarin waktu kenaikan kelas, nilai saya dan adik semuanya dapat sembilan …
Ketika di Indonesia terjadi beberapa kasus guru di penjara gara-gara nyubit muridnya, guru SMKN 2 Makassar dipukuli orang tua siswa sampai babak belur, saya jadi ingat kembali tentang pengalaman di Malaysia tersebut. Ketika itu saya mengunjungi beberapa sekolah di Malaysia, dan saya dapat kenang-kenangan sebuah cambuk. Tapi kenang-kenangan cambuk rotan yang saya miliki tidak sama persis dengan gambar berikut. Gambar berikut cambuk yang digunakan di Aceh, Singapura, dan di beberapa tempat di kawasan Melayu kepulauan. Boleh jadi dulu juga terjadi di Tanah Jawa dan beberpa kepulauan di Bali dan Nusa Tenggara, serta pulau-pulau lain di Kalimantan, Sulawesi, Malupu dan Papua.
Itulah praktik penyelenggaraan pendidikan di tanah air dan di kawasan negara tetangga. Praktik tersebut kini sudah berubah karena telah terjadi pergeseran paradigma. Paradigma DDCH (datang, duduk, catat dan hafal) kini telah berubah menjadi PAIKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan). Belajar dengan menggunakan sabak dan kapur tulis, kini anak-anak begitu lancar buka-buka IPED. Belajar dengan menggunakan white board sekang sudah tidak laku lagi, yakni menggunakan Infocus lengkap dengan laptopnya. Perubahan terjadi dalam bidang ICT (information and communication technologies). Memasuki abad ke-21 dunia menjadi sempit ibarat kampung atau dunia tak berbatas (the borderless world). Masjid Al-Mujahidin pun sudah menggunakan Infocus untuk menayangkan bahan bahan taklim. Oleh karenanya, Paman Google kini menjadi papan semua anak manysia, karena semuanya ingin berkomunikasi dengan beliau untuk mencari data dan informasi melalui laman pribadinya. Sayangnya, saya dengan Paman Google sudah tidak adil lagi, karena konon peta Palestina sudah akan dihapus dari peta berbasis ICT. Padahal seharusnya umat manusia harus saling sayang menyayangi. Mudah-mudahan proses perdamaian dunia menjadi harapan semua orang. Karena Islam mengajarkan rahmatan lil alamin.
Kembali ke soal cambuk, bahasa Aceh cambuk adalah seunut. Pada tahun 1990-an, hukuman cambuk telah dilaksanakan di Singapura. Pada saat pelaksanaan hukuman cambuk tersebut mulai dilaksanakan, diperoleh informasi bahwa ada seorang pemuda yang telah mencoret-coret mobil dengan cat semprot. Orang itu telah dikenakan hukum cambuk sebanyak 15 kali. Ketika Singapura menerapkan hukuman cambuk, tidak satu negara pun yang memprotesnya. Hukuman cambuk di Serambi Mekah pada umumnya telah diterapkan untuk kesalahan-kesalahan yang terkait dengan perbuatan asusila, judi, pemadat dan sejenisnya, atau MOLIMO. Sejak hukuman cambuk diterapkan di daerah Serambi Mekah, banyak warga masyarakat yang telah dikenakan hukuman cambuk, dan banyak penjudi, pemadat, yang kena hukuman cambuk. Hukuman ini dilaksanakan di masjid atau mausijid atau di alun-alun dengan tujuan untuk membuat jera atau menimbulkan rasa malu. Sayang dalam pelaksanaannya ada petugas yang pilih kasih. Sejak hukuman cambuk diberlakukan di Provinsi Serambi Mekah, sudah sangat banyak pasangan asusila yang kena cambuk, demikian juga para penjudi dan pemadat yang kena cambuk. Hukum cambuk menjadi salah satu alternatif. Ada filosofi dalam cambuk. Masyarakat percaya bahwa di ujung cambuk ada mutiaranya. Artinya ujung cambuk dapat menjadi upaya mengurangi atau bahkan membersihkan dosa. Dengan hukuman cambuk Allah ingin hambanya yang beriman dan bertaqwa tidak ingin mengumpukan dosa-dosanya sampai menggunung di akhirat, tapi membersihkannya dosa-dosa tersebut untuk tidak menumpuk di akhirat. Amin.
Ketika saya mengikuti taklim di Masjid Al-Mujahidin Perumahan Taman Depok Permai Kota Depok, dijelaskan bahwa hukuman seperti ini diterapkan di Saudi Arabia. Ketika naik haji di Mekah, pernah mengikuti acara kegiatan di Masjid Qisos. Dalam acara ini kita diberi informasi bahwa Masjid Qisos adalah tempat untuk melaksanakan hukuman mati menurut Islam. Kantor Pengadilannya ada di depan Masjid tersebut. Namun saat itu tidak ada yang dapat kita saksikan. Boleh jadi dewasa ini tidak banyak yang dikenakan hukuman mati atau hukuman potong tangan.
Terkait dengan sistem pengadilan dan penerapan hukuman di Indonesia, Menteri dalam bidang hukum menjelaskan bahwa Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia sudah penuh. Oleh karena itu, Pemerintah akan mengadakan kajian untuk tidak mengkukum para koruptor. Kok enak buanget? Kalau korupto tidak perlu masuk penjara! Mengapa dan apa alasannya? Antara lain karena alasan penjara sudah penuh sesak. Emmm. Begitukah? Penjara telah penuh sesak! Itulah alasannya. Sementara susah sekali membuat jamaah penuh ketika taklim diadakan. Jumlahnya hanya dapat dihutung dengan jari tangan. Apa karena jamaah lebih suka masuk penjara? Oh …. Ndaklah. Mungkin ditambah dengan hukuman cambuk seperti pernah diberlakukan di Aceh dan Singapura. Alasannya karena di ujung cambuk itu ada mutiara. Demikianlah pepatah dalam bahasa Malaysia, bahasa lokal yang diakui di daerah Aceh, pesisir Barat Sumatera, dan bahkan juga diakui di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Mahasiswa saya yang berasal dari NTT membenarkan makna sebenarya “di ujung cambuk itu terdapat mutiaranya.”
Lalu, apakah jalan keluarnya agar lapas tidak penuh? Oleh karena itu tidak memasukkan koruptor ke penjara. Karena semakin penuh saja. Koruptor tidak jangan dimasukkan ke penjara, tapi harus mengembalikan semua uang hasil korupsi. Kalau perlu dimiskinkan saja itu koruptor. Juga jangan dikebiri seperti untuk yang melakukan kekerasan seksual. Karena dengan alasan kemanusiaan ternyata banyak yang tidak setuju. Lalu apa hukuman yang cocok untuk koruptor? Ada seorang ustadz yang cerdas yang memberikan alasan karena sistem hukuman di Indonesia sama saja untuk semua jenis kesalahan. Semua jenis kesalahan, misalnya hukuman untuk kesalahan MOLIMO pun juga dikenakan hukuman penjara. Ada yang hukuman yang lama, dan ada yang sebentar. Hal tersebut tidak sama dengan sistem Islam, seperti di Saudi Arabia. Sebagai contoh, ada yang cukup dihukum cambuk. Agar menjadi taubatanasuha. Agar tak dibawa sampai di akhirat. Ada yang dihukum rajam sampai meninggal. Ada yang potong tangan, dan bahkan hukuman qisos, seperti yang dijunjukkan di Masjid Qisos itu. Hukuman yang ditetapkan oleh Allah SWT memang jauh lebih adil. Wallahu alam.
*) Laman: www.suparlan.com; Surel: me@suparlan.com.
Depok, 13 Agustus 2016.
2 Komentar. Leave new
CUKUP ukup lama saya tidak membaca tulisan Pak Parlan — yang selalu memberikan pencerahan. Tulisan Pak Parlan pun seringkali mengingatkan saya akan masa kecil, ketika duduk di bangku SD atau SMP.
Ketika usia sekolah dasar, saya pernah dihukum ayah saya oleh karena ketika berjamaah salat asar saya bersama kawan cekikikan setengah ketawa. Begitu selesai salat langsung telinga saya disintreuk (istilah pak RR dikepret), padahal waktu itu bulan Ramadan. Fatal, saat magrib tiba saya tidak berada di rumah oleh karena “pundung”, akibatnya ayah mencari-cari ke mana gerangan saya waktu berbuka tidak ada di rumah — padahal saya ngumpet di dekat mimbar mihrab masjid. Memang masjid ketika itu sering dijadikan tempat bermain dengan kawan-kawan.
Ayah saya pun adalah guru saya di bangku kelas enam sekolah dasar. Masih ingat waktu itu, semua siswa diperiksa kebersihan kuku dengan jari disimpan di atas meja. Plak! Plak! kuku yang kotor dan panjang kena hukuman cambuk mistar kayu … Olala, tegasnya guru ketika itu. Tidak ada orang tua yang protes! Bahkan sebagai anak malu rasanya kalau melaporkan kepada orangtua karena mendapat hukuman dari guru di sekolah. Ketika itu kalau berpapasan dengan guru di jalanan, selalu berupaya untuk menghindar … sebagai rasa hormat.
Di bangku SMP saya punya guru yang tergolong ‘killer’, yakni guru ilmu ukur, aljabar, dan olah raga. Guru ilmu ukur kerap menghukum kawan yang tidak mengerjakan PR, demikian pula guru aljabar dengan cara menarik ujung rambut di sekitar telinga. Tentu terasa sakit. Guru olah raga menghukum yang telat masuk lapangan olahraga dengan cara push up, bahkan berlari sekian putaran lapangan sekolah…. Guru lainnya ada yang menghukum dengan cara siswa berdiri di depan kelas selama jam beliau mengajar.
Memang hukuman dari guru dan orang tua itu penting, sebagai CAMBUK untuk BERPRESTASI dan SIAP BERTARUNG dalam mengarungi kehidupan. Bukankah induk rajawali sengaja menendang dan menjatuhkan anaknya agar bisa terbang? Mandiri,
adalah pilihan. Kalau rajawali tidak bisa mandiri, ya mati!!
Assalamu’alaikum,
Sudah cukup lama saya tidak membaca tulisan Pak Parlan — yang selalu memberikan pencerahan. Tulisan Pak Parlan pun seringkali mengingatkan saya akan masa kecil, ketika duduk di bangku SD atau SMP. Ketika usia sekolah dasar, saya pernah dihukum ayah saya oleh karena ketika berjamaah salat asar saya bersama kawan cekikikan setengah ketawa. Begitu selesai salat langsung telinga saya disintreuk, padahal waktu itu bulan Ramadan. Fatal, saat magrib tiba saya tidak berada di rumah oleh karena “pundung”, akibatnya ayah mencari-cari ke mana gerangan saya waktu berbuka tidak ada di rumah — padahal saya ngumpet di dekat mimbar mihrab masjid. Memang masjid ketika itu sering dijadikan tempat bermain dengan kawan-kawan. Ayah saya pun adalah guru saya di bangku kelas enam sekolah dasar. Masih ingat waktu itu, semua siswa diperiksa kebersihan kuku dengan jari disimpan di atas meja. Plak! Plak! kuku yang kotor dan panjang kena hukuman cambuk mistar kayu … Olala, tegasnya guru ketika itu. Tidak ada orang tua yang protes! Bahkan sebagai anak malu rasanya kalau melaporkan kepada orangtua karena mendapat hukuman dari guru di sekolah. Ketika itu kalau berpapasan dengan guru di jalanan, selalu berupaya untuk menghindar … sebagai rasa hormat.
Di bangku SMP saya punya guru yang tergolong ‘killer’, yakni guru ilmu ukur, aljabar, dan olah raga. Guru ilmu ukur kerap menghukum kawan yang tidak mengerjakan PR, demikian pula guru aljabar dengan cara menarik ujung rambut di sekitar telinga. Tentu terasa sakit. Guru olah raga menghukum yang telat masuk lapangan olahraga dengan cara push up, bahkan berlari sekian putaran lapangan sekolah…. Memang hukuman dari guru dan orang tua itu penting, sebagai CAMBUK untuk BERPRESTASI dan SIAP BERTARUNG dalam mengarungi kehidupan. Bukankah induk rajawali sengaja menendang dan menjatuhkan anaknya agar bisa terbang? Mandiri,
adalah pilihan. Kalau rajawali tidak bisa mandiri, ya mati!!