ArtikelPendidikan

Laporan Kegiatan Studi Banding di Australia

377 views
Tidak ada komentar

Oleh Suparlan *)

I. PENDAHULUAN

Salah satu tolok ukur Bagian Proyek Publikasi dan Sosialisasi Pendidikan adalah kegiatan studi banding di Australia. Tujuan kegiatan studi banding tersebut antara lain adalah untuk memperoleh bahan perbandingkan antara konsep dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di lapangan, khusuanya tentang status dan peran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah di Indonesia dengan School Council di Australia.

Kegiatan studi banding ini dinilai amat penting mengingat konsep dan pelaksanaan kebijakan pendidikan tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah di Indonesia masih relatif baru, dan oleh karena itu maka masih diperlukan penilaian secara dini terhadap praktik-praktik terbaik (best practices) maupun praktik-praktik yang mungkin terjadi penyimpangan atau kekeliruan dalam pelaksanaan roda organisasi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah di lapangan. Hasil kegiatan studi banding ini diharapkan akan dapat menjadi bahan pemikiran dan sekaligus masukan untuk perbaikan kinerja Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah di masa depan.

Kegiatan studi banding ini ternyata tidak hanya memperoleh data dan informasi tentang School Council, melainkan juga memperoleh data dan informasi tentang berbagai aspek pendidikan yang lain, seperti jenjang persekolahan dan kurikulum.

II. WAKTU, PESERTA, DAN TEMPAT-TEMPAT YANG DIKUNJUNGI

Studi banding dilaksanakan pada tanggal 29 September – 4 Oktober 2004, diikuti oleh 5 (lima) orang dari Ditjen Dikdasmen, dan 20 (dua puluh) orang dari Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota daerah Provinsi Nusatenggara Barat.

Tempat-tempat yang dikunjung adalah:

  1. Gibbs Street Primary School, West Australia
  2. School for Isolated and Distance Education (SIDE), West Australia
  3. Leadership Center, West Australia
  4. Saint Mary Primary School, Sydney
  5. KBRI di Canberra

III. HASIL STUDI BANDING

1. Sistem Persekolahan

All school system and sectors in this State are committed to the learning outcomes in the Framework as they are the ones that are valued by the community (Curriculum Framework, Curriculum Council, Department of Education and Training, West Australia)

Rentang persekolahan (spend of schooling) di berbagai negara mungkin saja terdapat persamaan dan sekaligus perbedaan, baik dari segi penamaan maupun penjejangannya. Rentang persekolahan di Indonesia dan Australia terdapat kesamaan, yakni mulai dari Taman Kanak-kanak (Kindergarten) sampai ke tahun ke-12. Nama-nama jenjang persekolahan di Australia Barat adalah Taman Kanak-kanak (Kindergarten) atau Prasekolah, Sekolah Dasar (Primary School) dari Kelas I sampai dengan Kelas 7, dan Sekolah Menengah (Junior Secondary School dari Kelas 8 sampai dengan Kelas 10, serta Senior High School) dari Kelas 11 sampai dengan Kelas 12. Sedang jenjang persekolahan di Indonesia dimulai Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar dari Kelas 1 sampai dengan Kelas 6, Sekolah Menengah Pertama (SMP) dari Kelas 7 sampai dengan Kelas 9, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dari Kelas 10 sampai dengan Kelas 12.

Secara lebih rinci, perbedaan sistem persekolahan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di Indonesia dan Australia Barat akan dipaparkan sebagai berikut.

a. Pendidikan Prasekolah

Jenjang pendidikan sebelum sekolah dasar di Indonesia dan Australia Barat sama-sama dikenal dengan pendidikan prasekolah (kindergarten). Pendidikan prasekolah (TK) di Indonesia kebanyakan merupakan lembaga yang berdiri sendiri dengan gedung yang terpisah dari gedung sekolah dasar. Sedang kindergarten di Australia Barat kebanyakan menyatu dalam satu kompleks dengan Primary School, meski lokasinya agak terpisah sedikit dari sekolah dasar tersebut, seperti kindergarten di kompleks Gibbs Street Primary School. Di samping itu, jumlah TK Swasta di Indonesia jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan TK Negeri di Indonesia. Baik di Australia maupun Indonesia, kelulusan Taman Kanak-kanak tidak menjadi persyaratan untuk masuk Sekolah Dasar. Meskipun kindergaten tidak menjadi persyaratan untuk masuk sekolah dasar, namun kebanyakan siswa sekolah dasar di Australia kebanyakan merupakan tamatan taman kanak-kanak Selain itu, sebelum masuk TK, ada anak-anak di bawah lima tahun dapat dimasukkan ke lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

b. Pendidikan Dasar dan Menengah

Di Indonesia, sekolah dasar dan sekolah menengah pertama masuk dalam jenjang pendidikan dasar. Jenjang persekolahan di Sekolah Dasar (SD) di Indonesia dimulai dari Kelas 1 sampai dengan Kelas 6. Sedang di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dimulai dari Kelas 7 sampai dengan Kelas 9, dan di Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dimulai dari Kelas 10 sampai dengan Kelas 12. Sementara di Australia, sekolah dasar dimulai dari Kelas 1 sampai dengan Kelas 7, sekolah menengah pertama dimulai dari Kelas 8 sampai dengan Kelas 10, dan sekolah menengah atas dimulai dari Kelas 11 sampai dengan Kelas 12. Perbedaan jenjang persekolahan tersebut dapat dijelaskan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 1
Rentang Pesekolahan Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah
di Indonesia dan Australia

Sekolah Indonesia Australia
Prasekolah Usia 4 dan 5 Usia 4 dan 5
SD Kelas 1 s/d Kelas 6 Kelas 1 s/d Kelas 7
SMP Kelas 7 s/d Kelas 9 Kelas 8 s/d 10
SMA Kelas 10 s/d Kelas 10 Kelas 11 s/d Kelas 12

Sumber: Diolah dari Informasi Departemen Pendidikan, Australia Barat.

c. Wajib Belajar

Dalam brosur bertajuk “Informasi Mengenai Sekolah Umum di Australia Barat” oleh Departemen Pendidikan, Pemerintah Australia Barat, dinyatakan bahwa “pendidikan adalah wajib untuk semua siswa di Australia Barat berdasarkan School Education Act 1999” (di Indonesia dikenal dengan UU Nomor 20 Tahun 2003).

Semua anak mulai dari usia 6 sampai 15 tahun harus masuk sekolah yang sesuai. Sejak tahun 2003 usia wajib belajar akan dinaikkan ke usia 6 tahun 6 bulan. Minimal usia dapat keluar dari sekolah akan tetap pada usia 15 tahun sampai tahun 2012 yang akan dinaikkan menjadi 15 tahun 6 bulan. Dengan kata lain, usia wajib belajar di Indonesia tidak jauh berbeda dengan di Australiaa, yakni yang dikenal dengan wajib belajar sembilan tahun, yakni kewajiban belajar untuk sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, mulai dari umur 7 tahun sampai dengan 15 tahun.

Sebagai penjelasasn, program wajib belajar di Indonesia telah dicanangkan dengan Wajib Belajar Sekolah Dasar 6 Tahun pada tahun 1984, dan dilanjutkan dengan pencanangan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun pada tahun 1994, yang menurut rencana akan dituntaskan pada tahun 2004 ternyata diundur pada tahun 2008.

d. Sistem Ujian dan Masuk ke Perguruan Tinggi

Untuk dapat lulus sekolah menengah di Australia Barat, seorang siswa harus: (1) menyelesaikan mata pelajaran-mata pelajaran sebagaimana ditetapkan oleh Curriculum Counci, paling tidak selama 10 tahun, (2) memperoleh nilai rata-rata C atau lebih untuk mata pelajaran-mata pelajaran sebagaimana ditetapkan oleh Curriculum Council selama delapan tahun (atau sepadan dengan paling tidak empat tahun penuh atau sepadan dengan penyelesaian mata pelajaran di Kelas 12, (3) memenuhi persyaratan kemampuan berbahasa Inggris dengan memperoleh nilai C atau lebih dalam mata pelajaran mata pelajaran Bahasa Inggris, Sastra Inggris, Bahasa Inggris Senior, Bahasa Inggris sebagai Bahasa Kedua atau Bahasa Inggris untuk bekerja pada Kelas 12. Bila seorang siswa gagal memenuhi hal ini, kemampuan berbahasa Inggris dapat dipenuhi dengan lulus tes Curriculum Council English Language Competence Test. Siswa yang telah lulus akan memperoleh Western Australia of Education (WACE).

Sementara di Indonesia, ujian akhir untuk SD telah dihapuskan dan diganti dengan sistem ujian akhir sekolah (UAS). Sejak tahun pelajaran 2002, ujian akhir nasional (UAN) diberlakukan untuk SMP dan SMA/SMK untuk tiga mata pelajaran, yakni (1) Bahasa Indonesia, (2) Bahasa Inggris, dan (3) Matematika.

Untuk masuk ke perguruan tinggi negeri, lulusan sekolah menengah tingkat atas harus lulus dalam UMPTN (ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri). Sedang untuk masuk ke perguruan tinggi swasta, mereka mengikuti seleksi yang diadakan oleh perguruan tinggi swasta masing-masing.

2. Kurikulum

Kurikulum merupakan salah satu dari tiga komponen pendidikan yang paling esensial dalam pendidikan, selain komponen siswa dan guru. Kurikulum merupakan dokumen yang berisi bahan ajar yang harus disampaikan oleh guru kepada para siswanya dalam proses interaksi edukatif. Kurikulum merupakan perangkat substansial yang menjadi pegangan guru untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Curriculum Framework

Kurikulum pendidikan dasar dan menengah di negara bagian Australia Barat disebut sebagai Curriculum Framework for Kindergarten to Year 12 Education in Western Australia, setebal 324 halaman. Dokumen kurikulum tersebut menjelaskan tentang garis-garis besar kompetensi siswa yang dituntut untuk semua mata pelajaran. Warna halaman yang terdapat di dalam Curriculum Framework menunjukkan mata pelajaran tersebut, yaitu:

  1. The Art,
  2. English,
  3. Health and Physical Education,
  4. Languages Other Than English (LOTE),
  5. Mathematics,
  6. Science,
  7. Society and Environment,
  8. Technology and Enterprise.

Jika dibandingkan dengan kurikulum di Indonesia, maka perbedaannya ada pada mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan, yang di kurikulum Australia Barat tidak ada. Sedang mata pelajaran Technology and Enterprise yang terdapat di kurikulum Australia Barat ternyata tidak ada dalam kurikulum di Indonesia.

Kurikulum di Australia Barat disusun oleh Curriculum Council, Departemen Pendidikan dan Pelatihan, sedang di Indonesia disusun oleh Pusat Kurikulum dengan bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Curriculum Framework di Australia Barat diluncurkan pada tanggal 23 Juli 1998, dan secara penuh telah digunakan di seluruh Australia Barat pada tahun 2004. Sebagaimana kita ketahui, Kurikulum Berbasis Kompetensi di Indonesia baru akan diluncurkan pada tahun ajaran baru 2004/2005 dan akan dilaksanakan secara bertahap.

Curriculum Framework di Australia Barat disusun dalam rangka menyongsong datangnya Abad XXI, dengan semboyan “Educating our Children to succeed in the 21th Century”. Prof. Lesley Parker, Chair of the Curriculum Council, menyatakan rasa bangganya, karena “The Curriculum Framework was developed through a unique cosultative process that involved almost 10.000 teachers, parents, academics, curriculum officers, students and other members of the community”. Dengan kata lain, pengembangan kurikulum di Australia Barat telah melibatkan semua stakeholder pendidikan.

Ada beberapa hal yang menarik dalam Curriculum Framework. Pertama, ada 8 kondisi yang melatarbelakangi pengembangan kurikulum di Australia Barat, yaitu (1) cultural diversity, (2) changes in the family structure, (3) rapid pace of technologival change, (4) global environmental issues, (5) changing nature of social conditions, (6) change in the workplace, (7) inter-dependence in the global economy, (8) uncertain standards of living. Kedua, ada lima karakteristik nilai (values) yang akan dibangun melalui kurikulum tersebut, yaitu: (1) pursuit of knowledge and commitment to achievement of potential, (2) self acceptance and respect of self, (3) respect and concern for others and their rights, (4) social and civic responsibility, dan (5) environmental responsibility.

Apakah kurikulum di Australia Barat telah menganut konsep kurikulum yang berbasis kompetensi? Curriculum Framework tidak mengggunakan istilah “berbasis kompetensi” atau “competency-based”, namun menggunakan istilah “student outcomes statement” atau dikenal dengan “overarching statement learning outcomes”, yang rumusannya pada hakikatnya sama dengan rumusan kompetensi. Ada 13 (tiga belas) student outcomes statement yang akan dicapai melalui delapan mata pelajaran secara sinergis dengan menggunakan konsep “links across the curriculum”, yaitu:

  1. Students use language to understand, develop and communicate ideas and information and to interact with others
  2. Students select, integrate and apply numerical and spatial concepts and techniques
  3. Students recognize when and what information is needed, locate and obtain it form a range of sources and evaluate, use and share it with others
  4. Students select, use and adapt technologies
  5. Students describe and reason about patterns, structures and relationship in order to understand, interpret, justify and make patterns
  6. Student visualize consequences, think laterally, recognize opportunity and potential and are prepared to test options
  7. Students understand and appreciate the physical, biological and technological world and have the knowledge and skills and values to make decision in relation to it
  8. Students understand their cultural, geographic and historical context and have the knowledge, skills and values necessary for active participation in life in Australia
  9. Students interact with other people and cultures other than their own and are equipped to contribute to the global community
  10. Student participate in creative activity of their own and understand and engage with the artistic, cultural and intellectual work of others
  11. Students value and implement practices that promote personal growth and well being
  12. Students are self-motivated and confident in their approach to learning and are able to work individually and collaboratively
  13. Students recognize that everyone has the right to feel valued and be safe, and, in this regard, understand their rights and obligations and behave responsible.

Catatan:
Untuk students 1 – 11 dicapai melalui kolaborasi dari 8 mata pelajaran. Sedang untuk outcomes 12 dan 13 dicapai melalui pemberian kebijakan dan usaha sekolah (policies and initiatives at the school) yang kondusif

3. Jumlah Siswa dalam Satu Kelas dan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM)

Yang amat berbeda dengan sekolah di Indonesia adalah masalah jumlah siswa dalam satu kelas. Jumlah siswa dalam satu kelas di Australia Barat tidak lebih dari 20 orang siswa. Jumlah siswa di kelas yang dikunjungi rombongan studi banding ternyata hanya 18 orang siswa. Jumlah siswa dalam satu kelas memiliki implikasi yang sangat besar terhadap efektivitas proses belajar mengajar.

Terkait dengan pelaksanaan KBK yang sebentar lagi akan dilaksanakan, maka jumlah siswa yang besar di Indonesia akan menjadi kendala yang amat berat yang harus dihadapi oleh para guru. Hal ini harus diantisipasi sejak awal oleh para pengambil kebijakan dalam hal pelaksanaan KBK, karena KBK menuntut guru dapat memantau dan menilai kompetensi masing-masing siswa secara individual, bukan secara klasikal.

Yang amat menarik jika kita melihat kelas di Australia adalah suasana yang amat kondusif untuk belajar, karena semua media dan alat peraga telah dipajang semua di kelas itu, temasuk beberapa PC, dan tidak lupa kumpulan portofolio. Dinding kelas di Australia memang dirancang dengan bahan berupa ‘soft board’ atau papan lunak yang digunakan untuk memajang atau menempel berbagai media dan alat peraga buatan guru. Tidak ada dinding kelas yang kosong tanpa gambar, media, dan alat peraga. Ruang kelas di Australia benar-benar sebagai tempat yang menyenangkan bagi anak-anak untuk dapat belajar dengan tekun. Rata-rata ruang kelas di Indonesia amat kering dengan media dan alat peraga.

Ketika bel berbunyi, sebagai tanda jam pelajaran telah usai, dengan spontan anak-anak meneriakkan yel-yel motivasi diri ‘I HAVE SUPER BRAIN’ dengan bersemangat, yang di Indonesia kelihatannya belum dilakukan.

4. School Council dan Komite Sekolah

“The School Council discussed a number of issues, including the need for security fences, parent ethos statement, school charges, children’s personal items and the school’s curriculum priorities for 2004”
(School Council, Gibbs Street Primary School, Australia Barat)

Salah satu aspek penting tentang pendidikan yang perlu dibandingkan adalah mengenai perbedaan antara School Council di Australia Barat dan Komite Sekolah di Indonesia. Aspek ini amat penting, mengingat keluarga dan masyarakat merupakan satu dari tripusat pendidikan, sebagaimana telah dirumuskan sejak zaman perjuangan kemerdekaan dalam konsep pendidikan oleh Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara.

Dalam bagian ini akan dijelaskan secara singkat tentang peran dan fungsi School Council di Australia Barat dan perbandingannya dengan peran dan fungsi Komite Sekolah di Indonesia.

a. Keterlibatan Orangtua dan Masyarakat

Keterlibatan dan peran serta orangtua dan masyarakat di Australia pada umumnya dan di Australia Barat pada khususnya lebih dicurahkan terhadap penyelenggaraan pendidikan di tingkat satuan pendidikan, tidak di tingkal district (kabupaten) atau pun negara bagian. Hal ini disebabkan oleh beberapa latar belakang penyebab. Pertama, keterlibatan dan peran serta orangtua dan masyarakat di tingkat sekolah dirasakan secara langsung dalam pemberian perhatian, bimbingan, dan pengawasan kepada putra dan putri mereka. Ini terbukti dengan inikadi banyak orangtua yang ikut mengirimkan baby sitter untuk dapat memberikan bantuan dan pengawasan bagi anak didik di Pre-Primary School dan kelas-kelas rendah di Primary School (pengamatan di prasekolah di SD Jalan Gibbs di Australia Barat, dan St. Mary Primary School di Sydney). Kedua, pemerintah negara bagian dan federal memang telah memberikan dukungan yang besar terhadap pendidikan, baik dari komitmen maupun pembiayaannya, sehingga peran orangtua dan masyarakat tidak terlalu diperlukan dalam konteks pembiayaan pendidikan. Hal ini terlihat dari uang sekolah yang relatif rendah yang dibebankan kepada orangtua siswa. Itulah sebabnya maka apa yang dikenal dengan Dewan Pendidikan di Indonesia, di tingkat district maupun negara bagian di Ausralia dipandang kurang diperlukan. Oleh karena itu, pemerintah Australia, baik di tingkat district maupun negara bagian, lebih menangani sekolah-sekolah negeri (government school), meski di Australia terdapat tiga macam sekolah Australia, yakni (1) governement school atau sekolah negeri, (2) sekolah swasta, Katolik dan Kristen, dan (3) sekolah indepen. Dengan demikian, Department of Education and Training di Australia memiliki tugas dan fungsi secara lebih khusus, yakni memberikan penanganan terhadap sekolah pemerintah. Sementara itu, sekolah-sekolah swasta dan independen diberikan sepenuhnya kepada lembaga atau badan swasta atau keagamaan untuk mengurusnya dengan tetap memiliki kewajiban untuk mengikuti sistem pendidikan nasional (termasuk kurikulum negara bagian yang berlaku) yang dikeluarkan oleh pemerintah (dalam hal ini Curriculum Council). Karena latar belakang itulah maka peran serta orangtua dan masyarakat dalam bidang pendidikan di Auatralia difoukuskan pada tingkat satuan pendidikan, baik pada tingkat district (kabupaten/kota) ataupun state (negara bagian). Ketika peserta studi banding menanyakan tentang peran pemerintah dalam jalur pendidikan nonformal, Department of Education and Training di Canning District merasa perlu menanyakan kembali apa yang dimaksud dengan pendidikan nonformal, karena Department of Education and Training tidak memiliki Devisi atau Direktorat Jenderal yang mengurus tentang pendidikan nonformal. Yang ada dalam struktur organisasi Department of Education and Training di Canning District adalah justru devisi yang mengurus pendidikan untuk masyarakat Aborigin.

b. Struktur Organisasi

Struktur organisasi School Council di SD Jalan Gibbs adalah terdiri atas Ketua dan beberapa anggota yang merepresentasikan elemen-elemen masyarakat, seperti orangtua siswa, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha dan industri, dan staf sekolah. Dalam School Report 2003 yang terdiri atas empat halaman tersebut disebutkan bahwa pengurus School Council di SD Jalan Gibbs adalah sebagai berikut:

Nama Kedudukan dan Perwakilan

Teresa Fewtrell, Chairperson (Ketua)
Heidi Sheedy, P & C Association (Asosiasi Orangtua dan Warga Masyarakat)
Hohnene Sariago, ASSPA Representative (Wakil dari Dunia Usaha)
Meryl Joy Tancred, Parent Representative (Wakil dari Orangtua Siswa)
Chris Daines, Community Representative (Wakil dari Masyarakat)

Untuk mendukung pelaksanaan peran dan fungsi School Council tersebut, Gibbs Street Primary School mempunyai empat staff representative, yaitu: (1) Denise Porphett, (2) Peta Green, (3) Fances Hoetmer, dan (4) Roy Reynold.

Kepengeurusan School Council di SD Jalan Gibbs di Australia tersebut sangat mirip dengan keanggotaan Komite Sekolah di Indonesia yang berasal dari beberapa unsur sebagai berikut: (1) perwakilan orangtua siswa/wali peserta didik, (2) tokoh masyarakat, (3) anggota masyarakat yang memiliki perhatian terhadap pendidikan, (4) pejabat pemerintah setepat, (5) dunia usaha dan dunia industri, (6) pakar pendidikan, (7) organisasi profesi tenaga kependidikan, (8) perwakilah siswa, (9) perwakilan forum alumni siswa (Buku Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah).

c. Peran dan Fungsi

Laporan Sekolah Dasar Jalan Gibbs Tahun 2003 menjelaskan tentang penyelenggaraan sekolah, baik intra maupun ekstrakurikuler, baik sebagai pertanggungjawaban kepala sekolah maupun dari ketua School Council. Laporan seperti itu masih dibuat oleh sekolah dan apalagi bersama dengan Komite Sekolahnya. Laporan tersebut dibuat sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban akuntabilitas sekolah dan Komite Sekolah trerhadap orangtua dan masyarakat.

Dari laporan tersebut, orangtua dan masyarakat dapat meketahui betapa kepala sekolah dan ketua School Council-nya telah berusaha secara maksimal untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Disebutkan bahwa “The School Council discussed a number of issues, including the need for security fences, parent ethos statement, school charges, children’s personal items and the school’s curriculum priorities for 2004” atau “Dewan Pendidikan telah mendiskusikan sejumlah isu, termasuk kebutuhan akan pagas keamaan, ‘pernyataan sikap tentang etos orangtua siswa’, uang sekolah, berbagai persoalan personal tentang anak-anak, dan prioritas kurikulum untuk tahun 2004”. Berdasarkan laporan tersebut, maka peran dan fungsi Dewan Sekolah di SD Jalan Gibbs tidak banya berkutat dalam masalah keuangan atau iuran atau uang pangkal yang harus dibayar oleh orangtua siswa, tetapi juga menyangkut penentuan bahan ajar dalam kurikulum yang harus diprioritaskan pada tahun ke depan. Tidak benar bahwa orangtua murid tabu membicarakan masalah kurikulum, dengan alasan karena terlalu masuk ke bidang garapan guru. Justru orangtua siswa harus memiliki kepedulian tentang mata pelajaran apa yang harus dipelajari para siswa, dengan strategi dan metode apa yang paling tepat, dan mata pelajaran itu diajarkan oleh guru yang bagaimana.

Dikaitkan dengan empat peran Komite Sekolah di Indonesia, yakni (1) sebagai badan pertimbangan (advisory agency), (2) sebagai badan pendudukng (supporting agency), (3) sebagai badan pengontrol (controlling agency), dan (4) sebagai badan mediator antara sekolah dan masyarakat. Tampat jelas dalam pelaksanaan peran dan fungsi Dewan Sekolah di Australia Barat lebih memfokuskan pada pelaksanaan peran sebagai badan pemberi pertimbangan dan pendukung. Hal ini terbukti mengingat kegiatan diskusi banyak dilakukan oleh Dewan Sekolah. Dijelaskan lebih lanjut dalam Laporan SD Jalan Gibbs bahwa “The Council is a very cohesive group who have an important role in ensuring the quality of the education at the School” atau “Dewan ini adalah satu kelompok yang sangat kohesif yang memiliki satu peran yang penting dalam menjamin kualitas pendidikan di sekolah”.

Dibandingkan dengan pelaksanaan peran dan fungsi Komite Sekolah di Indonesia, maka pelaksanaan peran dan fungsi Dewan Pendidikan di SD Jalan Gibbs tidak jauh beberda. Meski Dewan Sekolah di SD Jalan Gibbs tidak mencantumkan empat peran secara eksplisit, namun dalam pelaksanaannya, empat peran tersebut telah dilaksanakan dalam bentuk aktivitas nyata dalam kegiatannya, misalnya dalam ikut menentukan besarnya uang sekolah bagi siswa, termasuk siswa yang kurang mampu, ikut menentukan prioritas kurikulum yang akan diajarkan kepada siswa pada tahun pelajaran yang akan datang. Pendek kata, sekelompok anggota masyarkat yang tergabung dalam Dewan Sekolah perlu dibangkitkan untuk bersama-sama sekolah meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Pada akhir laporannya, Ketua Dewan Sekolah di SD Jalan Gibbs mengharapkan kepada orangtua siswa dan masyarakat untuk tetap memberikan “on-going contribution to the School” atau kontribusi yang sedang berjalan kepada sekolah.

Dalam buku “Parent Information Booklet” lebih jauh dijelaskan bahwa “jika P & C Association adalah sekelompok orangtua yang mengadakan pertemuan secara rutin untuk mendiskusikan dan memberikan dukungan secara lebih luas kepada sekolah”, maka Dewan Sekolah adalah satu kelompok yang terdiri atas orangtua dan warga masyarakat, serta dan staf sekolah untuk membantu melaksanakan kegiatan prioritas di sekolah dan mengkaji lebih lanjut kebijakan sekolah. Dengan demikian, organisasi, peran dan fungsi School Council lebih luas daripada Asosiasi Orangtua dan Warga Masyarakat atau Parent and Citizen Association. Setiap tahun P & C Association mengadakan pemilihan untuk menentukan orangtua siswa yang akan akan menjadi wakil orangtua dalam School Council.

d. Pernyataan tentang Etos Orangtua atau ‘Parent’s Ethos Statement’

Ini yang belum lazim dilakukan oleh orangtua siswa di tanah air. Justru sebaliknya, ada orangtua yang kurang peduli tentang keadaan anaknya di sekolah. Mereka merasa telah membayar uang sekolah, dan dengan demikian tanggung jawab pendidikan anaknya telah mereka serahkan bulat-bulat kepada sekolah. Di Australia Barat tidak demikian. Tanggung jawab pendidikan anaknya tetap melekat pada orangtua siswa, meski anaknya telah dimasukkan ke sekolah tertentu. Parent’s Ethos Statement dirumuskan oleh School Council, semacam acuan bagi orangtua untuk mau dan mampu memberikan dukungan kepada sekolah untuk dapat mencapai upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Dengan demikian dapat diartikan bahwa “Parent’s Ethos Statement” adalah semacam “Pernyataan Sikap” atau semacam “Piagam Etos Orangtua” atau “Janji Suci Orangtua” untuk dapat memberikan dukungan dan bantuan bagi pendidikan anaknya di sekolah. Adanya “Parent’s Ethos Statement” tersebut menunjukkan adanya kepedulian orangtua dan masyarakat terhadap kepentingan pendidikan anak-anaknya di lembaga pendidikan sekolah. Bukti kepedulian orangtua dan masyarakat seperti itu di Amerika diwujudkan pula dalam kegiatan awal tehun sekolah dalam “The First Day Celebration” (Wescott Dood, Anne dan Konzal, Jean L: 2002).

Satu hal yang memang belum menjadi kebiasaan di Indonesia adalah membuat dan menyampaikan laporan akutabilitas dari Kepala Sekolah dan Ketua Komite Sekolah kepada orangtua siswa dan masyarakat. Bahwa masyarakat mempunyai hak azasi untuk memperoleh informasi juga belum menjadi budaya. Sebagai contoh yang ada di sekitar kita, Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) dari unit organisasi pada level yang lebih besar, seperti Instansi Pemerintah sebagai instansi publik seharusnya juga perlu memberikan laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat, misalnya melalui media massa, termasuk lembaga pendidikan sekolah milik pemerintah. Laporan pertanggungjawaban dari Kepala Sekolah dan Ketua Komite Sekolah di Indonesia akan memberikan pelajaran berharga bagi sekolah, orangtua, dan masyarakat tentang pentingnya prinsip keterbukaan, kebersamaan, dan hak azasi untuk memperoleh informasi. Jika kebiasaan memberikan laporan ini telah membudaya di negeri ini, maka penyakit KKN akan secara berangsur-angsur hilang dengan sendirinya. Insyaallah.

Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Lain Komite Sekolah di Indonesia, lain pula School Council di Australia Barat. Meskipun karakteristik kedua badan itu masing-masing berbeda, namun hakikatnya peran dan fungsinya sama, yakni menjadi wadah peran serta masyarakat untuk bersama-sama stakeholder pendidikan memberikan pengabdian terbaik bagi semua peserta didk.

IV. PENUTUP

Banyak berjalan, banyak dilihat. Banyak tempat yang dikunjungi, banyak pula kita memperoleh pengalaman dan perbandingan. Inilah beberapa hasil studi banding yang dapat digunakan sebagai bahan perbandingan untuk pendidikan di Indonesia. Hasil studi banding ini baru menyentuh kulit yang paling luar secara sekilas. Masih banyak aspek yang belum terungkap dalam laporan singkat ini.

Di samping itu, perlu disadari bahwa dari sekian banyak aspek yang dapat dipaparkan dalam laporan ini, tidak semua aspek dapat diterapkan di Indonesia, karena latar belakang kondisi dan permasalahan yang berbeda. Namun demikian, banyak hal yang mungkin dapat dijadikan pelajaran, bahkan dapat diadopsi untuk diterapkan di Indonesia, seperti ruang kelas yang amat kondusif untuk belajar, pengajaran portofolio yang sudah mulai diterapkan di Indonesia, peran masyarakat melalui School Council, akuntabilitas sekolah kepada masyarakat, kurikulum yang dikembangkan secara unik dengan melibatkan lebih dari 10.000 orang, dan masih banyak lagi.

Mudah-mudahan hasil studi banding ini tidak menjadi bahan yang hanya ditaruh di dalam laci para pegawai, tetapi menjadi bahan yang dipelajari, yang pada gilirannya dapat dinilai, dan kemudian hal-hal yang baik, kenapa tidak dapat diterapkan di negeri tercinta ini? Insyaallah.

*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts