***
Sesungguhnya setetes air hujan itulah yang lama-lama menjadi seluas samurdera
(Anoname)
Jika hujan adalah kegagalan, dan matahari adalah keberhasilan, maka kita memerlukan kedua-duanya untuk melihat indahnya pelangi
(Anoname)
***
Gagasan ini muncul saat saya naik jemputan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dari Depok ke Senayan Jalan Jenderal Sudirman Jakarta. Sambil terkantuk-kantuk, saya memikirkan tentang apa yang harus saya lakukan untuk menjalankan lembaga kursus Bahasa Inggris gratis untuk anak-anak di kompleks yang banyak berkeliaran di jalanan, tidak ada kegiatan. Sebagai penulis, saya mencoba untuk menulis buku pelajaran Bahasa Inggris untuk anak-anak (English for Children) yang saya beri judul “Bukan Dari Nonl” atau “Not From Zero”. Saya punya prinsip belajar bukanlah dari nol, karena anak-anak dilahirkan dengan potensi. Mereka memang lahir dengan fitrah atau suci, tetapi mereka telah memiliki potensi yang terpendam yang harus dikembangkan. Pekerjaan orangtuanya adalah menyiapkan lahan yang subur dengan pupuk yang penuh nutrisi untuk menumbuh-kembangkan potensi anak-anak.
Jadi belajar Bahasa Inggris pun demikian pula. Ini selaras dengan paradigma baru pembe-lajaran, guru dalam posisi serba tahu. Ini selaras dengan konsep Ki Hajar dengan Tut Wuri Handayani. Guru dan orang tua lebih sebagai failitator, atau sebagai pendamping, dan siswa aktif untuk belajar. Nah inilah yang terpikir dalam benak saya. Saya akan menerapkan kursus Bahasa Inggris model ini untuk anak-anak Sekolah Dasar. Istri saya kebetulan mengajar di Sekolah Dasar. Saya minta izin untuk dapat mengajar Bahasa Inggris di sekolah itu, tanpa dipungut biaya. Kursus gratis, begitulah. Kalau pun ada orang tua akan memberikan donasi, maka donasi itu mohon disalurkan dengan sukarela melalui Lembaga Pendidikan Bestari yang saya gagas ini.
Baiklah, mengapa namanya Bestari? Bestari artinya cerdas. Istilah ini saya bawa dari negeri jiran Malaysia. Istilah itu berasal dari Bahasa Melayu “bijak bestasi”. Tahu bukan? Istilah itu sama dengan “cerdas” yang sebenarnya kita gunakan dalam Pembukaan UUD 1945 “Mencerdaskkan Kehidupan Bangsa”, yang sudah saya tulis dalam buku pertama saya “Mencerdasakan Kehidupan Bangsa” pada tahun 2004, yang saya bedah dari konsep “Multiple Intelligence” atau “Kecerdasan Majemuk” atau “Kecerdasan Ganda” menurut Howard Gardner. Menurutnya, cerdas atau bestari tidak sama dengan pandai, tidak sama dengan pintar, tetapi memiliki pengertian yang jauh lebih luas, karena meliputi kecerdasan intelektual (otak kiri), kecerdasan emosional, kecerdasan kinestetik (ragawi), dan bahkan juga kecerdasan spiritual yang terkait dengan olah hati. Itulah pengertian “Bestari” yang saya gunakan sebagai nama lembaga pendidikan yang saya gagas itu, yakni CERDAS.
Landasan
Apa landasan lembaga pendidikan ini? Landasannya, pertama adalah “Kemanusiaan”. Kita dilahirkan ke dunia sebagai manusia yang tertinggi derajatnya. Nilai-nilai kemanusiaan inilah yang harus kita implementasikan dengan rasa “Persaudaraan”. Kita lahir sebagai saudara, yang harus memiliki “Cinta Kasih” antara satu dengan yang lain. Jadi landasan Lembaga Pendidikan Bestari ini memiliki landasan Kemanusiaan, Persaudaraan, dan Cinta Kasih. Kita singkat KPC, yang dalam Bahasa Inggris dinamakan Humanity, Frienship, and Love, disingkat HFL.
Visi, Misi, dan Tujuan
Dengan landasan tersebut, visi Lembaga Pendidikan Bestari adalah “Mengolah Potensi Kemampuan Manusia Menuju Masyarakat Madani yang Cerdas” selaras dengan amanat Pembukaan UUD 1945.
Visi ideal Lembaga Pendidikan Bestari tersebut dijabarkan ke dalam beberapa misi dan tujuan sebagai berikut:
Pertama, menyelenggaraan kursus Bahasa Inggris gratis yang di dalamnya diintegrasikan dengan nilai-nilai pendidikan karakter utama, yakni 1) rajin, 2) disiplin, 3) kerja sama, 4) kerja keras, dan 5) prestasi. Untuk mencapai bestari, kita harus menjadi manusia yang rajin dan disiplin, dan untuk itu harus dilakukan dengan kerja sama dan kerja keras. Untuk itu semua dilakukan dengan keyakinan bahwa akhirnya kita harus dapat mencapai prestasi yang tertinggi. At last, we are to be the winner. Konsep ini selaras dengan konsep Unesco tentang belajar, yakni empat pilar pembelajaran, yakni: 1) learning to know, 2) learning to do, 3) learning to be, dan 4) learning to live to gether.
Kedua, menyelenggarakan lembaga pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan menengah, dan jika mungkin pendidikan tinggi.
Ketiga, menyelenggarakan kegiatan pemberdayaan masyarakat, melalui konsep kerja sama dan kepedulian untuk maju bersama-sama.
Akhir Kata
Demikianlah konsep yang saya lahirkan selama menjadi salah seorang penumpang jemputan bus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, selama kurang lebih tiga jam perjalanan. Pak Dahlan, sopirnya yang sabar, yang sebenarnya sudah pensiun seperti saya, mengendalikan bus tanpa AC itu, dan kini penumpangnya berjubel, penuh penumpang sampai beberapa orang terpaksa harus duduk di kertas koran. “Dulu penumpangnya hanya tujuh orang saja Pak, sekarang semenjak ada program remunerasi pegawai, penumpangnya jadi berjubel”, katanya kepada saya. “Ya, alhamdulillah, para pegawai menjadi rajin sekali. Minimal rajin absensi, mudah-mudahan nanti rajin dan produktif”, jawab saya sekenanya, dan bus jemputan pun telah sampai di depan gedung Kemdikbud yang megah itu. Alhamdulillah, ungkap saya sambil turun dari bus yang sebenarnya sudah perlu regenerasi tersebut.*) www.suparlan.com, e-mail: me@suparlan.com.
Depok, 6 Januari 2014.