Artikel

Dua Malam Iktikaf di Masjid Al-Fauzien

153 views
Tidak ada komentar

Oleh: Suparlan *)

Jika dalam tulisan sebelumnya bertajuk “Mengunduh Lailatur Qadar Dengan Iktikaf” saya belum pernah sekalipun iktikaf, maka kali ini saya ingin berbagi pengalaman tentang dua malam iktikaf di Masjid Al-Fauzien di Perumahan Gema Pesona Kota Depok. Alhamdulillah, pengalaman itu telah saya lakukan dalam dua malam terakhir puasa tanggal 28 – 29 Ramadan 1346 H atau tanggal 15 – 16 Juli 2015.

Sedikit Klarifikasi dan Pemikiran

Dua hari sebelumnya, saya menjadi makmum dalam shalat tarawih di Masjid Al-Mujahidin Taman Depok Permai Kota Depok. Dalam ceramah shalat tarawih tersebut, saya merasa tidak pas dengan dua contoh malam lailatur qadar yang telah diberikan contoh oleh ustadz. Contoh lailatur qadar yang diberikan terasa sebagai cerita mistis dan animistis, karena seperti menceritakan kejadian hantu yang animistis. Dalam contoh tersebut, penceramah memberikan contoh rumpun pohon bambu yang merunduk sehingga kopyah dan baju koko seseorang sampai terangkat ke puncak rimbunan pohon bamboo tersebut. Konotasinya ada seseorang yang telah memperoleh malam lailatul qadar, yakni malam yang ditunggu-tunggu untuk memperoleh nilai seribu bulan. Oh, seperti menemukan segenggam emaskah? Contoh berikutnya juga mirip dengan contoh pertama, yang mungkin tidak diambil dari khasanah cerita Islami. Padahal Islam sesungguhnya logis atau masuk akal.

Berikutnya tentang cerita kehidupan Nabi Muhammad Saw. saat-saat malam lailatur Qadar, beliau sampai mengencangkan ikat pinggang, dan seterusnya, yang terpaksa cerita tersebut saya potong, karena tidak etis dan tidak edukatif untuk diceritakan dengan semua jamaah yang di dalamnya bukan hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak.

Dengan latar belakang pengalaman tersebut, saya sungguh dapat membedakan pengalaman yang sangat berbeda ketika mengikuti iktikaf di Masjid Al-Fauzien, Gema Pesona Kota Depok. Ketika itu, sekitar pukul 13.00 WIB saya bersama Pak Wasnadi berangkat ke Masjid Al-Fauzien, kemudian disusul oleh Pak Iskandar. Sebenarnya, kedua-duanya sama-sama menjadi jamaah Masjid Al-Mujahidin. Kami bertiga ingin mencari suasana yang lain. Kebetulan, Pak Toifur, usia 82 tahun adalah mantan Ketua DKM-nya sama-sama teman anggota Senam Tera Indonesia (STI). Seusia beliau, tentu saja memiliki pengalaman yang segudang, termasuk pengalaman rohani dalam melaksanakan ibadah puasa Ramadan, khususnya dalam mengikuti iktikaf, yang menurut saya pribadi merupakan ritual utama dalam ibadah Puasa Ramadan. Boleh jadi, ritual iktikaf dalam ibadah pusasa Ramadan sama seperti ritual wukuf dalam pelaksanaan ibadah haji. Ritual iktikaf dan wukuf sama-sama menjadi media untuk melakukan akuntabilitas kepada Sang Khaliq. Dalam iktikaf seorang hamba menyatakan “Ya Allah, hamba bawa diriku ke hadapan-Mu ya Tuhan, inilah diriku yang sebenarnya, dengan sekian banyak dosa-dosa dan kesalahan hamba”. “Ampunilah dosa-dosa dan kesalahan hamba.” Jikalau tidak, maka pada akhir bulan Ramadan ini, kami pasti tidak akan menjadi manusia yang bersih seperti bayi yang baru saja dilahirkan. “Hanya Dirimulah yang Maha Pengampun dan dapat membersihkan dosa-dosa yang kesalahan hamba.”
Itulah sebabnya, iktikaf artinya berhenti untuk merenungi diri dengan banyak melakukan ibadah dan membaca Al-Quran, yang tidak lain adalah upaya untuk membersihkan kerak-kerak dosa dan kesalahan yang mungkin saja melekat pada diri seseorang. Untuk itulah maka iktikap merupakan upaya aktif dari hamba Allah. Itulah sebabnya lailatur Qadar tidak hanya ditunnggu di bawah pohon bambu, dan kemudian pucuk daun bambu itu merunduk dan kemudian kopyah dan baju kokonya dapat ditaruh dengan mudahnya, lalu kopyah dan baju kokonya tiba-tiba telah terngkat di puncak pohon bambu tersebut. Lalu, Alhamdulillah saya telah memperoleh malam lailatur qadar. Horeee.

Kegiatan Iktikaf

Sudah barang tentu, harus bangun di sepertiga malam, setelah siang harinya berpuasa Ramadan dan sore harinya shalat tarawih dan baca-baca Al-Quran. Istri tentu saja telah ikut membangunkan suami. Setelah minum air secukupnya, kami pun berangkat ke Masjid Al-Fauzien dengan kenaraan masing-masing. Pak Wasnadi kebetulan menawarkan diri untuk membawa mobil kecilnya. Kebetulan jarak dari rumah ke Masjid tidaklah jauh.

Kebetulan, saya sendiri belum pernah khatam Al-Quran, dan Bahasa Arab bukanlah Bahasa kedua saya. Surat Yasin memang hampir setengah hafal, tetapi sama sekali tidak tahu maknanya. Maklum, tidak pernah mondok dan tidak pernah bersekolah di madrasah. Dengan pengalaman ini, saya menyarankan agar para keluarga muda dapat memberikan les baca tulis Al-Quran kepada anak-anaknya sejak kecil (balita), bahkan kursus Bahasa Arab. Ingat, pendidikan adalah proses pembiasaan. Membaca dan menulis adalah kuncinya. Kata ustadz di Masjid Al-Mujahidin, membaca (tidak tahu artinya) itu sunnah, mengkaji (memahami artinya) itu hukumnya wajib. Bahkan pernah baca kata-kata mutiara begini. Membaca itu ibarat meniti kata-kata, sedang mengkaji itu adalah menangkap isinya. Kata-kata mutiara yang lebih kejam begini “jangan pernah percaya kepada seseorang yang tidak pernah membawa buku bersamanya.” Dengan kata lain, “never trust anyone who has not brought a book with them.” (Lemony Snicket).

Oleh karena itu, selain melakukan shalat-shalat sunnah, membaca Al-Quran adalah kegiatan yang dilakukan siapa yang melakukan iktikaf. Saya ikut seseorang membaca dengan berulang-ulang, dan saya di dekatnya ikut mengikuti dengan saksama, meski sama sekali tidak tahu maknanya. Membaca seperti inilah yang dimaksud dengan membaca sunnah. Tetapi membaca yang difahami maknanya adalah membaca yang wajib.

Sekitar pukul 14.30 WIB kegiatan inti pun dimulai. Seorang ustadz, namanya Bapak Sjahrial, yang masih kelihatan muda, menempatkan diri berdiri di mihrab. Ayat-ayat pun mulai mengalun sahdu. Dari satu ayat ke ayat berikutnya dengan lancar dan hafal. Saya hanya mengikuti dari kata demi kata. Untuk menjadi hafal dan sekaligus memahami artinya memerlukan waktu dan proses yang panjang serta upaya tersendiri. Dalam satu kali berdiri dalam satu rekaat, beberapa surat pun dilalui sekali lagi dengan lancar dan hafal. Hanya kadang-kadang beberapa makmum yang membawa Al-Quran telah mengulangi kata-kata yang mungkin salah untuk dibaca ulang oleh Imam. Tidak banyak yang seperti itu. Hanya saya saja yang mengikuti dari satu kata ke kata berikutnya, dari satu ayat ke ayat berikutnya, serta dari satu surah ke surah berikutnya, sampai akhirnya malam terakhir untuk menyelesaikan iktikaf, yakni tanggal 28 Juli 2015, dapat dilalui dengan sempurnya. Nafas menjadi lega setelah dapat melewati beberapa ritual iktikaf tersebut.
Pada saat pergantian rakaat dalam shalat malam itulah saya dapat membayangkan Ibuku yang suadah renta, dan Bapak yang sudah lama dipanggil Allah, dan istri, anak, dan cucu-cucu tercinta, serta sanak saudara. Mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya. Diterima amal ibadahnya. Amin ya robbal alamin.

Puncak Iktikaf

Entah berapa jus Al-Quran yang sudah diselesaikan. Sampailah pada saat membaca surah yang entah kalimat apa yang menyebabkan Imam dan beberapa makmum yang kemudian terisak-isak dan membuat air mata ini pun tidak terbendung lagi. Peristiwa ini persis saya alami pada saat Kutbah Wukup di tanah suci beberapa tahun lalu. Inilah yang kusebut sebagai puncak iktikaf yang saya alami saat itu. Sesungguhnya inilah lailatur Qadar yang saya nanti-nantikan sebenarnya.

Bagi saya lalilatur Qadar bukanlah peristiwa fisik, tetapi lebih sebagai peristiwa batin bagi sesiapa yang melakukannya. Mudah-mudahan pengalaman iktikaf ini dapat saya lakukan tahun depan dengan kualitas yang lebih baik lagi, lahir dan batin. Amin. Ya robbal alamin.

Kepada para pembaca tulisan yang sederhana ini, teriring dengan ucapan Selamat Idul Fitri, saya mengucapkan taqabbalallahu minna waminkum“, yang artinya “semoga Allah menerima amalan aku dan kamu“. Kemudian menurut riwayat ucapan ini diberikan tambahkan oleh para sahabat dengan kata-kata “shiyamana wa shiyamakum“, yang artinya puasaku dan puasamu. Dengan demikian, setelah melaksanakan ibadah Puasa Ramadan, dan kemudian diikuti dengan iktikaf di masjid, insyaallah kita menjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah, menjadi manusia yang suci ibarat bayi yang baru lahir. Amin.

*) Laman: www.suparlan.com; www.masdik.com; Surel: me@suparlan.com.

Depok, 16 Juli 2015.

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts

Artikel

Mau Sehat?

Ada kata-kata bijak yang selalu saya ingat. Life is a gift, but health is a responsibility. Hidup adalah…