Oleh Suparlan *)
Di masa sekarang dan yang akan datang pengelolaan pendidikan harus lebih demokratis dalam bentuk memberikan otonomi seluas-luasnya kepada masyarakat.
(A. Malik Fadjar)
Provinsi Jawa Tengah kelihatannya tidak mau kalah dengan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), khususnya dalam hal pembentukan Dewan Pendidikan Provinsi. Bedasarkan Surat Keputusan Nomor 136 Tahun 2004, Provinsi DIY telah membentuk Dewan Pendidikan Provinsi. Menyusul kemudian. pada tanggal 1 Maret 2004 yang lalu. Gubernur Provinsi Jawa Tengah mengesahkan pembentukan Dewan Provinsi Jawa Tengah. Struktur oraganisasi Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Tengah ini terdiri atas sepuluh orang Penasihat dan sepuluh orang yang duduk dalam kepengurusan. Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Tengah ini dipercayakan kepada Prof. Dr. Retmono (Republika,5 Maret 2004).
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah memang telah muncul dalam Bagian Ketiga, Pasal 56 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun Peraturan Pemerintah yang mengaturnya memang masih dalam proses penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang akan segera diajukan kepada Presiden. Tanpa menunggu turunnya Peraturan Pemerintah, beberapa provinsi di Indonesia kelihatannya telah merasa terpacu untuk segera membentuk Dewan Pendidikan Provinsi. Hal ini sangat menggembirakan semua pihak.
Sampai saat ini, hampir semua kabupaten/kota telah memperoleh subsidi dari pemerintah untuk membentuk Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota. Namun untuk tingkat provinsi, pemerintah (Depdiknas) baru dapat memberikan subsidi kepada Tim Fasilitasi Provinsi yang digunakan untuk membentuk Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota dan Komite Sekolah di satuan pendidikan.
Setelah Dewan Pendidikan Provinsi dibentuk, program prioritas apakah yang harus segera menjadi agendanya? Inilah pertanyaan besar yang segera muncul di kalangan masyarakat. Tulisan ini mencoba untuk sedikit memaparkan proses pembentukan Dewan Pendidikan. Lebih dari itu, tulisan ini akan menawarkan beberapa alternatif agenda prioritas Dewan Pendidikan Provinsi.
Proses Pembentukan dan Kepengurusan
Seperti Dewan Pendidikan Provinsi DIY, proses pembentukan Dewan Pendidikan Provinsi dibentuk oleh gubernur, dan bahkan bertanggung jawab kepada gubernur. Proses pembentukan seperti ini memang merupakan proses awal, karena ketentuan mengenai hal itu belum ada. Dapat dianalogikan dengan proses pembentukan Komite Sekolah, yang untuk pertama kalinya dapat dibentuk oleh Bupati, maka proses pembentukan Dewan Pendidikan Provinsi oleh gubernur dapat dibenarkan. Kepada Republika Ketua Dewan Pendidikan Provinsi DIY juga menjelaskan bahwa seharusnya lembaga ini dibentuk langsung oleh masyarakat. Tapi karena baru pertama dibentuk, maka yang berinisiatif adalah gubernur. Lebih lanjut beliau menegaskan lagi bahwa idealnya, lembaga dewan pendidikan itu memang dibentuk oleh masyarakat, dari masyrakat, dan bekerja untuk masyarakat (Republika, 18 Februari 2004). Meski untuk pertama kalinya Dewan Pendidikan Provinsi dibentuk oleh gubernur, diharapkan agar proses pembentukan tersebut tidak mengurangi kemandirian organisasi.
Struktur kepengurusan Dewan Pendidikan Provinsi mungkin akan berbeda dari satu provinsi dengan provinsi lain. Namun yang harus sama dalam kepengurusan tersebut adalah bahwa kepengurusan Dewan Pendidikan Provinsi harus merupakan representasi berbagai elemen masyarakat. Yang duduk dalam kepengurusan tersebut bukan hanya tokoh pendidikan, tetapi juga tokoh masyarakat, tokoh agama, dan juga dari kalangan LSM peduli pendidikan, serta dari dunia usaha dan dunia industri (DUDI).
Agenda Prioritas
Prof. Dr. Suyanto, M.Ed dan Pror. Dr. Retmono sama-sama menegaskan bahwa tugas menghadang di hadapan Dewan Pendidikan. Anggaran pendidikan dan upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan dipandang sebagai tantangan dan sekaligus masalah besar di negeri ini. Keduanya merupakan variabel yang saling pengaruh mempengaruhi dan tidak dapat dipisahkan.
Sebagai bahan masukan, ada beberapa agenda prioritas yang harus diperhatikan oleh Dewan Pendidikan Provinsi yang baru saja dibentuk.
Pertama, program penataan organisasi dan manajemen Dewan Pendidikan Provinasi. Sebagai organisasi yang baru lahir, langkah pertama yang harus dibenahi adalah organisasi dan manajemennya, termasuk kelengkapan instrumen operasionalnya. Meski para pengurus ini mengaku sukarela dan tidak dibayar, namun dalam melaksanakan kegiatan organisasi sudah pasti memerlukan sarana dan prasarana organisasi. Tidak mungkin organisasi sebesar Dewan Pendidikan tidak mempunyai kantor dan hanya mengandalkan kecanggihan teknologi informasi berupa HP pribadi dan e-mail untuk berhubungan dengan sesama pengurusnya. Apalagi rapat formal Dewan Pendidikan Provinsi DIY direncanakan akan diselenggarakan setiap dua pekan sekali. Cara darurat seperti itu sudah barang tentu tidak dapat secara terus menerus dilaksanakan secara profesional.
Dalam rangka penataan organisasi dan manajemen inilah maka Tim Pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah mencoba menerbitkan buku Acuan Operasional baik untuk Dewan Pendidikan maupun untuk Komite Sekolah, yang mudah-mudahan pada awal tahun 2004 ini dapat disebarluaskan kepada Dewan Pendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota dan Komite Sekolah.
Kedua, program peningkatan mutu guru dan tenaga kependidikan. Dalam ilmu hukum terkenal dengan ungkapan sebagai berikut: “berilah aku hakim dan jaksa yang baik, yang dengan undang-undang yang kurang baik sekali pun aku masih akan dapat menghasilkan keputusan yang baik”. Dalam dunia pendidikan, ungkapan itu dapat diubah menjadi: “berilah aku guru yang baik, yang dengan kurikulum yang kurang baik sekalipun aku masih akan dapat menghasilkan lulusan yang baik”. Ungkapan ini menggambarkan tentang pentingnya guru dalam proses pembelajaran dan pengajaran di dalam kelas. Proses pembelajaran di dalam kelas, yang dikenal sebagai balck box amat ditentukan oleh guru. Untuk melaksanakan program ini, pemerintah provinsi harus bekerjasama dengan lembaga preservice education, yakni lembaga pendidikan tenaga kependidikan untuk mencetak guru yang memiliki kompetensi yang memadai, dan lembaga pre-service training (seperti Pusat Pengembangan Penataran Guru Matematika Yogyakarta, Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan di masing-masing provinsi) untuk membengkeli kompetensi guru yang masih rendah. Lembaga pre-service education dan in-service training, harus secara sinergis bekerjasama dengan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam upaya peningkatan mutu guru dan tenaga kependidikan.
Ketiga, program “wajib belajar yang bermutu dan bebas biaya” atau “compulsory”, “quality”, and “free education”. Program ini sebenarnya telah disepakati dalam The Dakar Framework for Action, hasil Forum Pendidikan Dunia yang diselenggarakan pada tanggal 28 April 2000 di Dakar, Senegal, Afrika. Mutu dan bebas biaya pendidikan untuk jenjang pendidikan dasar harus menjadi agenda prioritas untuk penuntasan program wajib belajar sembilan tahun. Sebagai perbandingan, Malaysia tidak mencanangkan adanya pogram wajib belajar, tetapi hampir semua anak usia sekolah telah memperoleh kesempatan belajar secara meluas. Mengapa? Karena pendidikan rendahnya, yakni sekolah rendah (SR) gratis. Orang Malaysia menyebutnya “pendidikan percuma”. Program pendidikan bebas biaya untuk satuan pendidikan SD tidak berarti bebas untuk semua kalangan, khususnya untuk kalangan yang mampu dan untuk semua kebutuhan sarana pembelajaran. Sebagai contoh, para siswa yang orangtuanya yang memiliki pendapatan di bawah RM1.000,00 di Malaysia akan bebas memperoleh pinjaman buku teks. Sementara siswa yang orangtuanya mampu harus membeli buku teks sendiri. Sebagai Kepala Sekolah Indonesia Kuala Lumpur, penulis biasa menandatangani surat keterangan gaji tukang kebun Sekolah Indonesia Kuala Lumpur, sebagai surat keterangan bebas memperoleh pinjaman buku teks dari sekolah. Untuk itulah maka, Komite Sekolah harus memiliki data yang akurat tentang status sosial ekonomi orangtua siswa di semua sekolah. Dengan demikian, Dewan Pendidikan juga harus memiliki data rekapitulasi dari Komite Sekolah. Dengan data ini, Dewan Pendidikan dapat melaksanakan konsep “subsidi silang” secara adil untuk semua siswa di daerahnya masing-masing. Dengan demikian, program pendidikan bebas biaya ini sama sekali tidak menutup kemungkian peran serta masyarakat untuk memberikan dukungan berupa bantuan biaya untuk pendidikan, termasuk peran serta dunia usaha dan dunia industri (DUDI).
Kami tidak ingin anak-anak kami tertinggal dan kalah dalam mutu pendidikan, ungkap Prof. Dr. Retmono (Republika, 5 Maret 2004). Peran serta dan dukungan DUDI harus dapat digalang untuk meningkatkan mutu pendidikan. Ada satu contoh, yang lagi-lagi kebetulan dapat dipetik dari Malaysia. Kampus Universitas Utara Malaysia (UUM) terletak di negara bagian Kedah (tempat lahir Dr. Mahathir Muhammad). Lokasi kampus itu boleh dikatakan di tengah hutan. Semua mahasiswanya harus tinggal di asrama. Asrama mahasiswa di Malaysia dikenal dengan nama “kolej kediaman”. Siapa yang membangun asrama untuk semua mahasiswa sebanyak itu? Ternyata semua asrama itu dibangun oleh BUMN di Malaysia. BUMN memiliki andil yang sangat besar untuk membangun universitas di Malaysia. Jadi, di universitas itu terdapat “Kolej Kediaman Bumi Putera” (salah satu bank pemerintah), “Kolej Perwaja” (perusahaan baja), “Kolej EON” (Edaran Otomotif Nasional, perusahaan distribusi otomotif milik negara), dan lain-lain. Artinya apa? Dunia usaha dan dunia industri di Malaysia memberikan dukungan yang amat besar untuk dunia pendidikan. Kalau untuk pendidikan tinggi DUDI mestinya juga dapat dilibatkan di Indonesia, kenapa tidak untuk pendidikan dasar dan menengah?
Keempat, program dukungan untuk meningkatkan anggaran pendidikan 20% dalam APBD. Ketua Dewan Pendidikan Provinsi DIY sendiri mengakui bahwa biaya pendidikan merupakan masalah yang paling besar di DIY. Jika anggota dewan yang terhormat secara terbuka tidak segan-segan menuntut pesangon, kenapa untuk keperluan pendidikan ini Dewan Pendidikan tidak berani secara terbuka menuntut dipenuhinya anggaran pendidikan 20%. Demikian selorohnya kepada para wartawan. Sudah barang tentu, tuntutan itu memiliki tanggung jawab yang besar untuk dapat membangun program pendidikan yang benar-benar dilaksanakan secara demokratis, transparan, dan akuntabel. Dengan demikian tuntutan untuk menaikkan anggaran mencapai 20% bukan hanya sebagai pepesan kosong, melainkan memiliki konsekuensi dan tanggung jawab moral bawi semua pihak.
Kelima, program “sekolah efektif”. Menurut Edmonds (1979) sebagaimana dikutip oleh Shahril @ Charil Marzuki, dalam penelitiannya bertajuk “Profil Sekolah Berkesan di Malaysia: Berdasarkan Model Lima Faktor”, disebutkan bahwa sekolah yang efektif memiliki lima faktor utama, yakni “(1) strong principal leadership, (2) safe and conducive school climate, (3) emphasis on the acquisition of basic skills, (4) teacher high expectation, dan (5) frequency of evaluation” (Shahril @ Charil Marzuki, 1977: 97). Dengan kata lain, sekolah efektif memiliki cirri: (1) kepemimpinan kepala sekolah yang kuat, (2) iklim sekolah yang aman dan kondusif, (3) menekankan pada penguasaan kecakapan dasar, (4) guru yang memiliki harapan tinggi, (5) penilaian yang dilaksanakan secara teratur. Berdasarkan lima karakteristik tersebut, tampak bahwa karakteristik kepala sekolah dan guru yang berkualitas menjadi karakteristik yang amat penting, yakni kepala sekolah dan guru yang memiliki harapan yang tinggi untuk mau dan mampu meningkatkan mutu hasil belajar siswa (high expectation). Harapan yang tinggi ini akan dilihat dari semangat dan kinerja guru dalam melaksanakan tugasnya. Mengingat pentingnya faktor kepala sekolah dan guru dalam rangka peningkatan mutu sekolah, maka Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah harus dapat merumuskan kriteria kepala sekolah dan guru, dan kemudian memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai rekrutmen kepala sekolah dan guru.
Untuk membangun sekolah efektif, peran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah memiliki peran yang jelas, yakni sebagai badan pertimbangan (advisory council), badan penontrol (controlling agency), dan mediator antara pemerintah dan masyarakat. Dalam kaitannya dengan peran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah ini, kasus yang terjadi di Kabupaten Kampar, sebagai perbandingan, patut menjadi pelajaran berharga bagi Dewan Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Sekolah efektif akan lahir jika kepala sekolah dan gurunya, faktor iklim sekolah, penguasaan kecakapan hidup, dan penilaian secara kontinyu dapat dilaksanakan di sekolah. Untuk menghidupkan iklim sekolah yang kondusif, sekolah harus memiliki visi, misi, dan tujuan yang jelas, program dan kegiatan sekolah, termasuk di dalamnya penegakan disiplin yang hidup. Penyusunan visi, misi, tujuan, program dan kegiatan, serta tata tertib sekolah harus melibatkan siswa dan orangtua yang tergabung dalam Komite Sekolah. Ide untuk melibatkan para akademisi, pakar dan berbagai profesi untuk ikut terjun ke sekolah merupakan ide yang kreatif. Orangtua siswa yang kebetulan dokter di sekolah perlu diajak oleh Komite Sekolah untuk membendung masuknya narkoba di sekolah, misalnya dengan melakukan tes urin secara berkala. Ide mendirikan klinik sekolah seperti digagas oleh salah satu SMP di Jakarta, sebagai contoh, akan dapat membangun iklim sekolah yang kondusif. Di Sekolah Indonesia Kuala Lumpur, pernah dilaksanakan pemeriksaan gigi bagi anak-anak usia SD, yang dilaksanakan oleh orangtua siswa yang kebetulan menjadi dokter. Banyak program kreatif yang dapat diadakan di sekolah. Memasukkan mata pelajaran Bahasa Arab, Bahasa Mandarin, teknologi informasi dalam konsep SMA berwawasan khusus menjadi ide yang amat ditunggu oleh peserta didik, orangtua siswa, dan masyarakat. Di Malaysia, telah lahir program sekolah bestari atau sekolah pintar (smart school) yang proses pembelajarannya sepenuhnya menggunakan computer multimedia. Di samping itu, Kementerian Pendidikan Malaysia juga mengusulkan adanya program “sekolah wawasan” atau “vision school” yang bertujuan untuk mengadakan sharing dalam penggunaan laboratorium dan fasilitas sekolah bagi sekolah-sekolah fernakuler (Melayu, Cina, dan India), dengan tujuan akhir untuk membangun semangat kebersamaan dan perpaduan antarkaum. Malaysia juga telah membangun satu sistem pendidikan yang amat dibanggakan yang disebut Sekolah Berasrama Penuh (SBP). Kini Malaysia memiliki 30 (tiga puluh) Sekolah Berasrma Penuh. Ada sepuluh matlamat atau tujuan yang akan diraih melalui sistem pendidikan ini, yakni (asli dalam Bahasa Malaysia): (1) mewujudkan peluang untuk pelajar-pelajar yang berpotensi terutama dai kawasan luar Bandar bagi mendapatkan pendidikan dengan kemudahan yang teratur, sempurna dan terkini dalam iklim persekolahan yang kodusif, (2) memperbanyak pelajar bumi putera mendapat pendidikan berkualiti sebagai persediaan kea rah pendidikan tingi untuk memenuhi keperluan negara, (3) melahirkan pelajar-pelajar yang mempunyai kepimpinan cemerlang melalui pendedahan hidup bermasyarakat serwajagat, (4) melahirkan insane dan warganegara yang bertanggung jawab, berilmu, beriman dan beramal sesuai dengan nilai-nilai hidup masyarakat Malaysia, (5) melahirkan pelajar-pelajar yang mempunyai kemapanan sahsiah yang mampu menghadapi alam remaja, (6) melahirkan kesedaran kepada seluruh warga SBP supaya dapat menghayati matlamat kecemerlangan SBP, (7) mewujudkan warga SBP yang mengamalkan budaya penyayang, (8) melahirkan kejituan semangat patriotisme di kalangan pelajar SBP, (9) menghasilkan pelajar-pelajar yang dapat menguruskan kerja-kerja dengan cekap, pantas, tepat dan bijaksana, (10) menjayakan program pendidikan menengah yang berorientasikan sains bagi mewujudkan tuntutan Wawasan 2020.
Kalau Malaysia memiliki Sekolah Bestari dan Sekolah Berasrama Penuh, maka konsep Sekolah Unggulan seperti SMA Taruna Nusantara di Magelang, SMA Soposurung di Sumatera Utara sebenarnya harus benar-benar dikembangkan, bukan hanya menjadi unggulan daerah, tetapi unggulan nasional, yang peserta didiknya berasal dari seleksi dari berbagai daerah di Indonesia. Provinsi DIY mungkin sudah saatnya memiliki sekolah berwawasan internasional, dengan program-program unggulan yang dapat dibanggakan.
Keenam, program penataan program studi unggulan sesuai dengan kebutuhan pasar. Jika program studi di perguruan tinggi juga perlu ditata kembali untuk menyesuaikan dengan kebutuhan pasar di lapangan, maka penataan program studi unggulan di sekolah juga harus ditata kembali. Program studi unggulan atau wawasan unggulan SMA harus ditata sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Misalnya, ada SMA yang dikembangkan sebagai sekolah berwawasan khusus teknologi informasi di kawasan tertentu, ada pula yang berwawasan khusus bahasa asing, ada pula yang berwawasan khusus olah raga dan kesehatan seperti SMA olah raga, dan sebagainya. Dengan demikian, konsep multi entry-multi exit di sekolah menengah kejuruan menjadi cukup berarti untuk mengambil hal-hal yang positif dari SMK, dan menularkan hal-hal yang positif dari SMA kepada SMK. SMA dan SMK harus menjalin kebersamaan dalam meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.
Ketujuh, program peningkatan sinergi untuk semua stakeholder pendidikan. Di Amerika Serikat, ada seorang guru yang mengusulkan adanya semacam media untuk membangun sinergi bagi semua stakeholder pendidikan, yang disebut “The First Day Festival”. Festival ini dilaksanakan setiap awal tahun pelajaran baru. Semua elemen stakeholder pendidikan bersama-sama membuat berbagai acara dalam festrival di awal tahun pelajaran ini. Para pelajar dan orangtuanya, para kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasinya, para tokoh masyarakat, para pakar dan praktisi pendidikan, pengusaha dan industri yang bergerak dalam bidang pendidikan, semuanya berpesta dalam acara festival untuk membangun semangat kebersamaan untuk membangun pendidikan yang bermutu. Acara semacam ini dapat digunakan oleh Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah untuk menjalin tali silaturahim antara semua komponen stakeholder pendidikan. Untuk ini, “kantor” Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah harus terbuka untuk menampung aspirasi dan permasalahan masyarakat.
Kedelapan, program pemberian beasiswa. Jika di SD terdapat program pendidikan bebas biaya (free education), maka program beasiswa ini lebih ditujukan kepada peserta didik sekolah menengah menengah sampai ke perguruan tinggi. Jika program pendidikan bebas lebih ditujukan untuk semua peserta didik pada jenjang pendidikan dasar, khususnya bagi mereka yang tidak mampu bersekolah, yang akan putus sekolah, atau yang bernasib kurang beruntung secara geografis, sosial ekonomis, daerah yang dilanda konflik, dan di daerah bencana alam, maka program pemberian beasiswa ini lebih ditujukan kepada mereka yang berprestasi yang tinggi pada jenajang pendidikan menengah dan tinggi, termasuk yang akan dikirim untuk melanjutkan belajar di luar negeri. Dari sekian banyak peserta didik pada jenjang SMA dan dari sekian banyak mahasiswa yang memperoleh beasiswa diharapkan akan lahir para calon pemimpin bangsa di negeri ini di masa depan. Sebagai contoh, lagi-lagi di Malaysia, di negeri itu terdapat badan yang disebut JPA (Jabatan Perkhidmatan Awam) atau dalam Bahasa Indonesianya dapat disebut Kantor Pelayanan Umum, yang bertugas untuk memberikan layanan pemberian beasiswa masyarakat yang memerlukan, bahkan termasuk mahasiswa dari Indonesia. Ketika Malaysia dilanda krisis moneter, badan ini tetap menjalankan tugasnya, meski hanya mampu memberikan dana dalam bentuk pinjaman (loan). Sudah barang tentu mereka yang memperoleh beasiswa atau pinjaman akan memperoleh hak dan kewajibannya secara jelas, termasuk kewajiban untuk mengembalikan pinjaman (loan) tersebut dengan cara pemotongan gaji setelah mereka bekerja. Kekhawatiran para peserta didik tidak akan mau dan mampu mengembalikan pinjaman itu tidak pernah terjadi di Malaysia, karena tertib hukum di Malaysia telah dipatuhi dengan baik. Dengan demikian, dana untuk beasiswa ini sebenarnya merupakan dana bergulir yang dapat secara terus menerus untuk membantu biaya pendidikan bagi anak-anak bangsa di masa depan. Sebagai contoh yang ada di negeri sendiri, Dewan Pendidikan Kota Batam telah meluncurkan program SABAS (Siap Aktif Bantu Sekolah), yang antara lain bertujuan untuk menghimpun dana yang akan diberikan untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.
Akhir Kata
Seperti virus need for achievement, pembentukan Dewan Pendidikan di Provinsi DIY dan Provinsi Jawa Tengah diharapkan akan segera menular dan diikuti secara positif oleh daerah-daerah lainnya. Kedelapan program unggulan yang ditawarkan tersebut sekedar sebagai contoh. Masih banyak program inovatif lain yang dalam dikembangkan oleh Dewan Pendidikan Provinsi. Jika semua provinsi dan semua kabupaten/kota telah membentuk Dewan Pendidikan, termasuk semua sekolahnya telah membentuk Komite Sekolah, maka semakin banyak pula pihak yang peduli terhadap penyelenggaraan dan upaya peningkatan mutu pendidikan di tanah air. Mudah-mudahan.
*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com. Kepala Bidang Pelayanan Teknis, PPPG Matematika Yogyakarta. Sekretaris II Tim Pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Yogyakarta, 24 Februari 2004