Oleh: Suparlan *)
Menoleh ke belakang sebenarnya pantang dilakukan. Karena yang lebih penting adalah masa depan. Tetapi menoleh ke belakang untuk bahan refleksi dan evaluasi diri, dapat kita gunakan untuk belajar dari ukiran sejarah masa lalu. Jasmerah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Demikian pesan Bung Karno. Tulisan ini mencoba melihat kembali kiprah Korpri pada tahun 1982-an, minilal kegiatan saya pada dua puluhan tahun lalu, ketika saya menjadi anggota Korpri. Pada saat itu Almarhum Amir Machmud menjadi Menteri Dalam Negeri. Bagi saya, momentum itu merupakan detik sejarah yang tak terlupakan. Piagam Juara Pertama Tingkat Nasional terbuat dari kayu tergantung di tembok ruang tamu, bersama dengan piagam dan foto kenangan lainnya.
PNS dan Korpri
Pada tahun 1974 saya diangkat pertama kali menjadi guru di SPGN (Sekolah Pendidikan Guru Negeri) di Pamekasan, dengan gelar B.A. menempel di belakang nama saya. Sekarang gelar itu tidak ada lagi. Beberapa orang berseloroh menyebut B.A. dengan Bapak Anak-anak. Heee. Tahun 1982 adalah tahun kenangan yang tak terlupakan, karena pada tahun itu saya menjadi Juara Pertama dalam Lomba Karya Tulis Korpri Tingkat Nasional. Dengan demikian, gelar B.A. itu tertulis dalam piagam tersebut.
PNS memang menjadi dambaan masyarakat ketika itu. Apalagi menjadi guru. Pada zaman sekarang banyak anak-anak yang berkarir dalam berbagai bidang, seperti penguasaha atau entrepreneurship, atau berbagai karir dalam bidang teknologi informasi (TI). Oleh karena itu banyak karir yang dapat kita pilih. Tetapi guru memang menjadi ibu semua karir. Orangtua kita banyak memilih karir sebagai PNS atau guru bagi anak-anaknya. Alhamdulillah, itulah pilihan orang tua saya, orang desa yang kebetulan berasal dari daerah pedesaan di Kabupaten Trenggalek, daerah yang dikenal sebagai “terang nggone wong elek.” Tentu wajah Trenggalek tidak seperi itu sekarang. Trenggalek bermakna “terang ing galih.” Artinya terang dalam pikir (head), hati (heart), dan tangan (hand) atau sekarang dikenal dengan 3H. Insyaallah demikian sekarang.
Hijrah dari Trenggalek ke Pamekasan merupakan sebuah tuntutan keadaan pada saat itu. Tentu untuk meningkatkan derajat kehidupan. Apa lagi menjadi guru calon guru. Foto kenang-kenangan yang saya miliki kini sudah mulai buram. Itu menandakan bahwa memang sudah cukup lama tinggal di kota Pamekasan. Harap maklum saja, kini saya sudah menginjak enam puluh enam tahun, dan kalau dihitung tinggal di Pamekasan saja sudah lima belas tahun (1974 – 1989).
Menjadi guru negeri tentu saja menjadi PNS, dan menjadi PNS artinya menjadi Korpri. Pada masa itu keberadaan Korpri untuk memperkuat posisi politik Orde Baru. Korpri yang berdiri pada 29 November 1971 berdasarkan Keppres Nomor 82 Tahun 1971 tersebut kaanggotaannya terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, pegawai BUMN, BUMD, sampai perangkat Pemerintah Desa, kini menjadi organisasi yang netral dan tidak berpihak kepada partai tertentu. Sejalan dengan perubahan zaman, konon nama Korpri kini menjadi Korps Aparatur Sipil Negara (ASN). Dibandingkan dengan PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), Korpri memang sebagai produk zaman Orde Baru, sedang PGRI memang produk zaman yang lebih dahulu. PGRI lahir pada tahun 1912 dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB). Dewasa ini ada beberapa organisasi profesi guru yang menawarkan rekrutmen aggota baru. Baik juga, karena dengan menjadi anggota organisasi profesi tentu dapat kawan dan sejawat, serta dapat tambahan pengalaman dan wawasan. Apalagi jika programnya dirancang dengan baik. Minimal ada arisan atau mendirikan koperasi, agar tidak terjerat hutang. Apalagi bisa bikin program inovatif untuk organisasi profesi. Misalnya menyusun bulletin atau buat manual atau aplikasi praktis yang diperlukan untuk kegiatan organisasi. Kini zaman IT, semuanya bisa dirancang. Menyusun e-book, misalnya.
Media Untuk Peningkatan Kompetensi
PGRI dan Korpri sama-sama menjadi organisasi profesi. Sebagai organisasi profesi pada zaman itu. Media sosial yang masih lumayan efektif pada saat itu adalah media cetak koran. Kalau tak salah, pada zaman itu TV masih hitam putih. Itu pun satu desa mungkin masih ada satu TV. Orang desa seperti saya belum punya TV. Cerita ini untuk menggambarkan bahwa pada saat itu media cetak masih lebih popular. Sebagai anggota organisasi profesi Korpri saya membaca koran. Waktu itu koran yang dibaca masyarakat adalah Koran Suara Karya. Dari koran inilah informasi tentang Lomba Karya Tulis Korpri Tingkat Nasional saya peroleh. Dengan membaca koran itu, saya alhamdulillah dapat mengikuti kegiatan Korpri, mengikuti Lomba Karya Tulis Korpri Tingkat Nasional, dan alhamdulillah dapat memenangkannya. Pada saat itu, juara ke-sepuluh adalah seorang dosen dari Universitas Nusa Cendana (Uncen). Saya tidak dapat lagi berkomunikasi saat ini. Sayang tidak ada organisasi alumninya. Saya juga tidak mengetahui lagi apakah kegiatan Lomba Karya Tulis Korpri itu masih ada sekarang. Itulah kelemahan kita pada umumnya. Tidak ada konsistensi dan kontinuitasnya.
Saya menggunakan mesin ketik Brother untuk menulis karya tulis. Mesin ketik itu kini masih saya simpan, meski sudah karatan. Dalam beberapa malam saya mengetik naskah karya tulis dengan sebelas jari. Lho, kok sebelas jari? Ya, karena saya mengetik dengan dua jari telunjuk atau jari tengah. Heee. Saya belum faham mengetik sepuluh jari. Ya, sama dengan zaman sekarang banyak ibu-ibu yang main gadget dengan menggunakan dua jempol tangannya. Ya, karena jari tangannya untuk memegang HP-nya. Kini media sosial yang paling heboh adalah HP. Kalau kita naik angkot, kebanyakan penumpang angkot memakai HP. Inilah kemajuan yang dapat dinikmati. Mestinya memang untuk meningkatkan pembelajaran dan kompetensi. Saya lihat ibu-ibu banyak yang baca surat Yasin dan surat-surat pendek dengan menggunakan HP. Alhamdulillah.
Judul karya tulis yang saya ajukan pada tahun 1982 adalah tentang Pembinaan Pegawai. Saya lupa judulnya secara lengkap. Maklum lebih dau dua puluh tahun. Ketika itu belum ada dokumen berupa soft-file. Hard kopinya tidak tersimpan dengan rapi. Karena itu raiblah jadinya.
Akhirul kalam, program apa yang harus dapat kita rancang dalam era Abad XXI? Setiap zaman akan melahirkan program kegiatan yang tentu saja berbeda dari masa ke masa yang berbeda. Mudah-mudahan kita tidak hanya melahirkan generasi penerus, tetapi melahirkan generasi pelurus dan pencerah. Amin.
*) Laman: www.suparlan.com; Surel: me@suparlan.com; Kritik Anda untuk tulisan ini akan saya simpan dalam guci emas untuk perbaikan. Terima kasih.
Depok, 2 Desember 2015.
4 Komentar. Leave new
bagus, sip (y)
Terima kasih Pak Abdullah NS. Bolehkan saya berkenalan dengan Bapak. Saya punya kawan lama. Takut Bapak adalah ornagnya. Karena itu saya ingin berkenalan dengan Bapak. Salam, Suparlan.
Izin tambah quote, mumpung hari ini RABU, pekan pertama Desember 2015:
Saya berikan quote tulisan Pak Parlan di atas, persis pada Rabu (2/12) pagi bakda Subuh, yang oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan) Rabu dimaknai “Rajin Menabung” dalam menggaungkan kembali gerakan nasional menabung (GNM) dengan menjadikan (hari) Rabu pada pekan pertama setiap bulannya sebagai Hari Menabung dengan nama produk SimPel (Simpanan Pelajar), yang aktivasi dilakukan mulai 8 September 2015 lalu.
Kampanye GNM melalui lagu merupakan salah satu alat edukasi yang cukup efektif. Lagu berikut adalah modifikasi dari lagu TASWA (Tabungan Abadi) SDN Cibeusi Jatinangor Sumedang (Rekor MURI Noreg 2999/2008).
“SIMPEL” TABUNGAN CEMERLANG
Lirik : Dadang Adnan Dahlan
Lagu & Arr. : Budi Yanto
Vocal : GitaVici SDN Cibeusi
Hman… hman… hman …. !!!
Teman-teman, yuk kita menabung
(Bung-bung-bung)
Menabung ‘slalu bersama SimPel
(Pel-Pel-Pel …)
SimPel: ini Simpanan Pelajar
(Jar-jar-jar …)
Pelajar hemat pangkal bahagia
(Ya-ya-ya …)
Ayah bunda, kita bergembira
(Ra-ra-ra …)
Gembira SimPel menjadi bekal
(La-la-la …)
Bekal awal lanjutkan sekolah
(Ha-ha-ha …)
Sekolah: cerdas berbudi sehat
(Ta-ta-ta …)
Reff.
SimPel sukseskan wajib belajar
Belajar ‘tuk menggapai impian
Impian masa depan gemilang
Gemilang … tabungan cemerlang
Jatinangor, 21 April 2007/ 29 November 2015
https://soundcloud.com/dadang-adnan-dahlan/06-taswa-sdn-cibeusi?in=dadang-adnan-dahlan%2Fsets%2Flagu-lagu-sdn-cibeusi-jatinangor-sumedang-rekor-muri-2008
Membaca tulisan Pak Parlan di atas, saya teringat pada ayah dan bunda sebagai guru sekolah dasar. Pula, apabila mengingat nama Korpri, yang pertama terbayang adalah seragam dan kopiah hitamnya — itulah brand image yang kuat — ketika mengikuti kewajiban upacara 17-an setiap bulan. Bagi saya, kopiah atau peci hitam — apalagi kalau digunakan oleh ‘duta bangsa’ di luar negeri, atau ketika pejabat kita menerima kunjungan tamu dari luar negeri — tampak memesona. Namun sayang, akhir-akhir ini pejabat kita tampak seringkali tak mengenakannya, sehingga dalam sebuah konferensi internasional misalnya, sulit dibedakan keberadannya. Yang mana yah pemimpin kita? Rasanya perlu cukup waktu untuk mengenalnya. ‘Penglihatan’ itulah yang menginspirasi bait puisi ini.
KARISMA PECI HITAM
Karya Dadang Adnan Dahlan
Peci, songkok, kopiah penutup kepala
Ajang resmi bisa, tak resmi juga bisa
Makna filosofis tidak besar kepala
Jati diri masyarakat Indonesia
Peci hitam pejabat (serta) wakil rakyat
Ranah lokal, nasional sudi merakyat
Hadirkan impian, maslahat, pun martabat
Konsisten, amanah, benar, jujur berbuat
Peci hitam wakil resmi duta bangsa
Kancah percaturan pergaulan dunia
Tampil beda, tegap, perbawa, memesona
Muruah karisma cinta budaya Indonesia
Jatinangor, 27 November 2015