Oleh Suparlan *)
Ranying Hatalla Langit (Allah Swt.) jualah yang mempertemukan saya dengan Dra. Russaly Andel Emond, M. Pd., penulis buku bertajuk Sejarah Asal Mula Terjadinya Permusuhan Antara Suku Dayak Kalimantan. Pada tanggal 19 Maret 2015 saya memperoleh tugas dari Sekretaris Ditjen Pendidikan Dasar untuk menghadiri acara wokshop Penguatan Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Tengah. Ibu Rusaaly adalah salah seorang panitia acara tersebut. Ibu Russaly pula yang mengantar jemput saya dari dan ke Bandara Tjilik Riwut di Palangka Raya (PKY) Kalteng.
Tulisan singkat ini merupakan resensi atau modifikasi dari novel sejarah novel sejarah karya Ibu Rossaly tersebut.
Kisah Sejarah Berdarah
“Mandau itu menyabet leher Singa Tondan”. Inilah salah satu penggalan kalimat dalam buku novel yang lugas dalam mengisahkan terjadinya malapetaka permusuhan Antarsuku Dayak Kalimantan. Malapetaka itu seakan berulang dan berulang lagi di dunia ini, sejak sejarah Nabi Adam sampai saat ini. Tidak lain karena sifat manusia yang cemburu buta. Padahal, sifat fitrah manusia itu sebagai makhluk yang tertinggi derajatnya. Tidak ada yang melebihi derajat manusia. Malaikat adalah makhluk selalu patuh kepada Yang Maha Kuasa. Sedang binatang adalah makhluk yang hanya memperturutkan nafsu (instink). Manusia memiliki kedua-duanya, fikir dan hati. Manusia itu ibarat malaikat dengan sifatnya yang tunduk patuh kepada Ranying Hatalla Langit (Allah). Sebaliknya, manusia itu dapat menjadi makhluk binatang buas jika telah hilang sifat kemalaikatannya. Itulah yang terjadi dalam sejarah, ketika Jaga Asang – tokoh dalam novel sejarah ini – menebas leher Singa Tondan, tokoh pesaingnya ketika memperebutkan Nyai Selong. Cinta segi tiga menjadi sumber penyebat terjadinya malapetaka permusuhan antarsuku Dayak Kalimantan. Tebas leher dipandang sebagai bukti ketinggian tingkat kepahlawanan seseorang. Berapa jumlah kepala yang dapat digantung menjadi simbolnya. Antar suku yang satu dengan suku yang lain saling bersaing. Untuk menunjukkan kemenangannya ditandai dengan tebasan leher. Jaga Asang bersaing dengan Singa Tondan untuk memperebutkan Nyai Selong. Ternyata Nyai Selong adalah seorang nyai yang telah serong oleh Jaga Asang. Kecintaan yang luar biasa Jaga Asang jualah yang telah membuat mata gelapnya dapat menebas leher Singa Tondan. Memang benar, manusia harus memiliki fikir yang rasional dan hati yang spiritual jika menghadapi tiga perkara, yakni tahta, harta, dan wanita. Insyaallah.
Kisah Cinta Segitiga
Bagaimana singkat cerita terjadinya peristiwa itu? Jaga Asang adalah perjaka setengah tua dengan dua adik. Kedua adiknya telah berkeluarga. Mereka sekeluarga tinggal di rumah betang (panggung) di Tumbang Anoi yang sunyi. Ayahnya Temanggung Tengah sudah lama galau kepada anak pertamanya ini. Jaga Asang belum juga menemukan jodohnya. Maka disepakati oleh keluarga agar Jaga Asang mencari jodoh. Dengan diantar oleh adiknya, Jaga Asang naik perahu ke arah matahari terbenam untuk mencari jodoh. Usaha pertamanya ini gagal, karena jodoh belum lagi cocok. Pantang menyerah. Usaha kedua pun direncanakan. Usaha pertama diulangi. Dengan membaca guci pusaka Amai Sahirai yang diikat di buritan perahu yang mau ditumpangi, Jaga Asang bersama adiknya merantau ke arah matahari terbit. Akhirnya setelah perjalanan lebih dari tiga hari, mereka berdua sampai di suatu desa tempat tinggal Temanggung Tawan. Tempat inilah yang menjadi persinggahan Jaga Asang bersama adiknya. Dalam cerita, di rumah Temanggung Tawan inilah seorang gadis nan elok ditemukan, yang diharapkan menjadi jodohnya kelak. Gadis ini tidak lain dan tidak bukan adalah Nyai Selong. Syarat dapat memasak daun singkong tumbuk pu telah terpenuhi. Kedua orang tuanya telah menyepakati untuk menjadi calon istri Jaga Asang. Sayang seribu sayang, Jaga Asang terlambat mengetahaui jika gadis manis ini sebenarnya telah memiliki calon sendiri, yang tidak lain adalah Singa Tondan.
Cemburu Buta Menjadi Petaka
Akhirnya petaka pun terjadi. Mungkin, akibat komunikasi kurang terjadi, maka terjadilah petaka yang menjadi penyebab utama terjadinya sejarah yang memilukan ini. Setelah sampai di desa sunyi Tumbang Anoi, ternyata dirasakan oleh Jaga Asang bahwa Nyai Selong tidak terlalu peduli. Meski Nyai Selong mau mengikuti Jaga Asang untuk menjadi istri, namun tampaknya sang Nyai lebih tertarik kepada Singa Tondan yang tampak lebih tampan di matanya. Nyai Selong ternyata menjadi nyai yang serong. Nyai lebih sigap ketika dipanggil oleh Singa Tondan. Tetapi dirasakan tidak peduli terhadap Jaga Asang. Akhirnya, Jaga Asang dibuatlah merah mata dan hatinya. Mandau ada di dinding rumah betang. Mata gelap pun terjadi. Maka ditebaslah leher Singa Tondan dan leher Nyai Selong. Sekali tebas putuslah kepala dengan badannnya. Inilah awal petaka terjadinya permusuhan antarsuku Dayak. Kepala menjadi lambang kekuatan cinta, yang sekaligus menjadi lambang cemburu buta, yang menimbulkan petaka berkepanjangan, mungkin sampai puluhan tahun lamanya. Mandau menjadi alat pelampiasan kebencian untuk saling mengayau antarsuku atau bahkan dengan suku lain, jika terjadi satu perselilihan dan perbedaan pendapat. Komunikasi tidak lagi dipakai sebagai media untuk saling berbagi dan saling berkasih cinta. Petaka ini menjadi tradisi yang seakan tidak dapat berhenti. Ibarat penyakit tak bisa diobati.
Berbeda itu, Satu itu
Ranying Hatalla Langit (Allah Swt.) menciptakan manusia sebagai fitrah dengan segala perbedaannya. Manusia diciptakan laki-laki dan wanita. Mereka berbeda untuk Saling menyinta. Manusia diciptakan bersuku-suku, berbangsa-bangsa dengan jiwa dan raga yang berbeda-beda, agar mereka saling bekerja sama. Ranying Hatalla Langit (Allah Swt.) sebenarnya dengan mudahnya untuk menjadikan manusia semua sama, tetapi tidak demikianlah yang dikehendaki-Nya. Untuk apa? Tidak lain agar mereka saling berkasih sayang dan bekerja sama.
Nenek moyang Nusantara meninggalkan warisan “beda itu, satu itu”. Aslinya, “pecah itu, satu itu”. Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrua. Perbedaan itu, satu itu, tidak ada pengabdian yang mendua. Pengabdian hanya untuk Ranying Hatalla Langit (Allah Swt.). Sejarah kelam petaka karena cemburu buta, mudah-mudahan dapat berakhir. Petaka itu mudah-mudahan hanya akan menjadi sejarah yang menyadarkan kepada kita agar kita dapat menjaga persatuan dan kesatuan. Mudah-mudahan hari ini menjadi lebih baik daripada hari kemarin. Amin.
Di dunia ini, manusia hanya memiliki tiga hari saja. Hari kemarin, hari ini, dan hari yang akan datang. Hari kemarin hanya akan menjadi sejarah. Hari yang akan datang tidak dapat kita ketahui. Untuk berbuat baik, jangan ditunda, marilah kita lakukan pada hari ini. Kepada Ibu Russaly Andel Emond, kita semua mengucapkan penghargaan dan terima kasih. Mudah-mudahan tulisan ini menjadi ilmu yang bermanfaat.
*) Surel: me@suparlan.com; Laman: http://www.suparlan.com.
Depok, 20 Maret 2015.