ArtikelDunia IslamPendidikan

Indeks Kesalehan Kita

303 views
7 Komentar

Oleh: Suparlan *)

“Neraka weil bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya, yang riya’ (tidak iklas karena Allah dan hanya pamer), dan menolak memenuhi keperluan dasar orang”
(QS 107: 4-7).

Artikel yang manis berjudul Agama dan Kuadran Kesalehan ini adalah karya Masdar Hilmy, dosen program pascasarjana IAIN Sunan Ampel, telah menjadi kliping saya. Tepat sekali jika artikel itu ditulis pada bulan Ramadan 1434 H, ketika umat yang menduduki jumlah mayoritas di negeri tercinta ini sedang berjuang untuk meningkatkan kesalehan kita. Bukan hanya kesalehan spiritual, tetapi juga kesalehan sosial dan publik sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel itu. Allahu akbar, tulisan semacam itu mudah-mudahan banyak dibaca oleh umat, dijelaskan dan dibahas dalam berbagai acara taklim di masjid-masjid, dalam acara peringatan hari besar agama, dan sebagainya. Sungguh, tulisan ini dimaksudkan juga untuk upaya menggalakkan kegiatan tablih, sebagai salah satu empat sifat Rasul SAW.

Taksonomi kesalehan dalam pandangan banyak umat dewasa ini memang lebih kepada kesalehan indivual atau yang disebut sebagai kesalehan spiritual, yang lebih menekankan pada aspek ibadah seperti syahadat, salat, puasa, zakat, dan naik haji. Lima ranah dalam taksonomi kesalehan itu dikenal dengan Lima Rukun Islam. Kita dikatakan sudah menjadi “orang saleh”, sebagaimana banyak dicita-citakan oleh orangtua kita, jika telah melakukan kelima ranah kesalehan spiritual tersebut. Dengan demikian, kesalehan sosial dan kesaleh-an publik, sebagaimana disebutkan dalam artikel itu meliputi etos kerja, disiplin waktu, tertib hukum dan peratuan perundang-undangan, keadilan, kejujuran, kesederajatan, dan kemanusiaan, sama sekali belum secara inklusif dimasukkan dalam ranah kesalehan pada umumnya. Itulah sebabnya, maka boleh jadi orang yang disiplin dalam memanfaatkan waktu, atau pun orang yang suka bekerja keras dengan etos kerja yang tinggi, sama sekali belum masuk dalam kategori orang saleh. Orang yang saleh identik dengan orang yang rajin salat, meski belum tentu rajin bekerja dan senantiasa tepat waktu dalam bekerja. Sebenarnya, orang yang rajin salat seperti itu sebenarnya dapat disebut sebagai orang yang belum melakanakan salat yang yang sebenarnya, atau disebut sebagai orang-orang yang lalai dalam shalatnya. Allah SWT berfirman: “Neraka weil bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya, yang riya’ (tidak iklas karena Allah dan hanya pamer), dan menolak memenuhi keperluan dasar orang” (QS 107: 4-7).

Dalam kehidupan sehari-hari kita memang masih sering melihat dan mendengar kenyataan seperti itu. Orang-orang yang shalat demikian khusuknya, tetapi ternyata ia juga sekaligus telah melakukan tindak korupsi. Bahkan, namanya pun sudah demikian Islami, tetapi kenyataannya, orang yang dalam kasat mata kita sebut “sholeh” ini, kenyataannya sangat paradok dengan nama dan penampilannya. Sebaliknya, seorang yang bernama Sigit, yang namanya “tidak Islami”, tetapi hanya “njawani”, karena lahir di Yogyakarta, pria pebulutangkis yang mengharumkan nama bangsa dalam Piala Thomas ini meyakini bahwa puasa (dalam hal ini kesalehan spiritual) dan membela negara (dalam hal ini kesalehan publik) adalah sebagai ibadah (Kompas, 31 Jul 2013). Dalam kontek itulah maka taksonomi kesalehan tidak hanya dapat diukur dari salah satu ranah kesalehan individual atau spiritual saja, tetapi harus diukur dengan ranah yang lebih komprehensif, yang termasuk di dalamnya adalah ranah kesalehan publik, sebagaimana dijelaskan dalam artikel yang manis itu.

Dalam artikel itu ditunjukkan tentang hasil penelitian tentang indeks kesalehan di berbagai negara, yang dilaksanakan oleh Scheherazade S Rehman dan Hosein Askari dari The George Washington University dalam artikel yang sangat menarik bertajuk “How Islamic are Islamic Countries?” dalam Global Economy Journal, Vol. 10, Issue 2/2010. Sebagaimana Islamikah Negara-Negara Islam? Hasilnya? Woah, ternyata negara-negara non-Islam dapat dikatakan lebih Islami dibandingkan dengan kebanyakan negara-negara Islam itu, karena indek kesalehan publik mereka lebih tinggi. Yang lebih menyakitkan, indeks kesalehan publik Indonesia ternyata juga berada di bawah kebanyakan negara-negara Islam yang lain. Indeks kesalehan yang tertinggi ternyata didominasi oleh negara-negara sekuler, yakni Selandia Baru (1), Luksemburg (2), Irlandia (3), Islandia (4), Finlandia (5), Denmark (6), dan seterusnya. Sementara itu, indeks kesalehan negara-negara Muslim ternyata hanya menduduki urutan ke-38 dan lebih rendah, termasuk Indo-nesia hanya menduduki peringkat ke-140. Secara lengkap, indeks kesalehan di beberapa negara di dunia tersebut dapat dijelaskan dalam tabel berikut:

Tabel 1: Indeks Kesalehan
No. Negara Sekuler (S) /Islam (I) Indeks Kesalehan
1 Selandia Baru S 1
2 Luksemburg S 2
3 Irlandia S 3
4 Islandia S 4
5 Finlandia S 5
6 Denmark S 6
7 Malaysia I 38
8 Kuwait I 48
9 Bahrain I 64
10 Brunei I 65
11 Turki I 103
12 Qatar I 112
13 Maroko I 119
14 Mali I 130
15 Arab Saudi I 131
16 Indonesia I 140

Sumber: Ditabulasi dari Masdar Hilmy, Kompas, 26 Juli 2013.

Berdasarkan tabel tersebut nampak jelas bahwa negara kita tercinta Indonesia, masih men-duduki indeks kesalehan publik jauh tertinggal dibandingkan dengan indeks kesalehan publik di negara-negara sesama muslim, apalagi jika dibandingkan dengan negara sekuler. Terkait dengan hasil penelitian tersebut, penelitian lain telah menunjukkan kepada kita tentang indeks korupsi terendah ( di bawah 5%) adalah Malaysia bersama dengan negara-negara sekuler yang indeks kesalehan publiknya menduduki peringkat luar biasa, seperti Selandia Baru, Finlandia, Australia, Finlandia, dan Denpark. Sementara itu Indonesia berada pada kisaran 30 – 39%, bersama dengan Banglades, Mesir, Kazakstan, Pakistan dan Vietnam.

Masalah Pengamalan

Tinggi rendahnya indeks kesalehan tersebut menggambarkan 4 (empat) kuadran hasil pengukuran. Kuadran I: kesalehan individual tinggi dan kesalehan publiknya rendah. Kuadran II, sebaliknya, yakni kesalehan individulnya rendah, tetapi kesalehan publiknya tinggi. Kuadran III adalah kuadran yang ideal, karena kedua kesalehan tersebut sama-sama tinggi. Kuadran keempat, jika kedua ranah kesalehan tersebut masing-masing rendah.

Berdasarkan empat kuadran tersebut, yang diharapkan adalah dapat menduduki kuadran III, yakni dengan kesalehan spiritual dan publiknya sama sama tinggi, sebagaimana yang telah dicapai oleh Malaysia dan Kuwait. Dalam hal-hal tertentu, kuadran II, sebagaimana yang ada di negara sekuler memang memiliki kelebihan dari aspek kesalehan publiknya dibandingkan dengan kuadran I sebagaimana yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, apa yang harus dilakukan Indonesia adalah meningkatkan kesalehan publik, selaras dengan tingginya kesalehan individual atau spiritual yang telah dimiliki. Kelemahan Indonesia dalam hal ini adalah kurangnya pengamalan terhadap konsep-konsep ideal yang telah dimiliki. Sebagai contoh, Indonesia telah memiliki mahakarya dasar negara, dengan 5 sila Pancasila, dan 45 butir pengamalannya, tetapi dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara sesungguhnya konsep ideal tersebut belum diamalkan secara konsis-ten dan konsekuen. Demikian juga dengan agama yang rahmatan lil alamin yang dipeluk oleh sebagian besar rakyatnya, pada umumnya masih dihayati secara ritual, dan belum diamal-kan secara operasional.

*) Suparlan, HP 0817727042, website: www.suparlan.com; e-mail: me@suparlan.com.

Depok, 1 Agustus 2013.

Tags: Islam, kesalehan

Related Articles

7 Komentar. Leave new

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts