ArtikelBudayaPendidikan

Do’a Makan Ala Anak-Anak Korea

284 views
Tidak ada komentar

***

Alangkah indahnya, apabila yang luas itu adalah ilmu;
apabila yang tebal itu adalah iman; apabila yang lembut itu adalah hati;
apabila yang kokoh itu adalah ukhuwah; apabila yang ringan itu adalah sholat
dan dzikir; apabila yang mudah itu adalah shadaqoh; apabila yang halus itu adalah akhlaq; apabila yang manis itu adalah senyum dan salam;
apabila yang hebat itu adalah jihad fii sabilillah;
insya allah semua bisa kalau kita yakin apa yang kita lakukan.
(http://facebook.com/profile.php)

***

Pada saat melaksanakan kegiatan workshop Komite Sekolah pada tanggal 14 Juli 2014 di Hotel Permata Bogor, saya telah mendapatkan pelajaran berharga dari Prof. Dr. Dasim Budimansyah, guru besar Universitas Pendidikan Bandung. Pelajaran berharga itu adalah mengenai praktik pelaksanaan pendidikan karakter tentang cinta kerja yang telah ditanamkan sejak dini bagi anak-anak Korea. Cinta dan semangat kerja di Korea memang telah ditanamkan sejak masih anak-anak di Korea. Cara yang sama dengan menanamkan tentang pentingnya penanaman budaya antri di Australia. Budaya antri lebih penting untuk ditanamkan sejak dini di Australia dibandingkan dengan belajar matematika. Konon, matematika dapat diajarkan dalam kurun waktu sekitar enam bulan. Tetapi budaya antri memerlukan waktu dalam kehidupan. Pendidikan etika dan budaya kerja di Korea menjadi yang utama untuk ditumbuhkembangkan sejak dini di Korea. Sudah barang tentu, kita perlu belajar banyak dari Korea. Bukankah Baginda Rasulullah mengingatkan kepada kita bahwa kita perlu belajar, sampai ke negeri Cina dan Korea sekali pun.

Cheng Ren Bu Zi Zai, Zi Zai Bu Cheng Ren

Budaya dan semangat kerja itulah yang telah melahirkan budaya dan etos kerja dalam kehidupan sehari-hari di negeri ginseng ini. Cheng Ren Bu Zi Zai, Zi Zai Bu Cheng Ren. Artinya, orang sukses tidak santai, orang santai tidak sukses. Kakek nenek kita sebenarnya sudah sering memperingatkan agar kita tidak hanya dapat berpangku tangan. Tetapi, nenek kita belum dapat menciptakan strategi pendidikan yang dapat membentuk sikap “tidak berpangku tangan” itu. Malah yang sering terjadi di negeri ini adalah malah banyak orang hanya “berpangku tangan, sambil menghabiskan beberapa batang rokok yang terakhir. Puntung-puntung rokok ini dapat kita lihat berceceran di mana-mana, meski itu di kantor pemerintah yang nota bene telah menerapkan Perda larangan merokok, dengan denda jutaan rupiah. Negeri ini memang sangat pandai membuat hukum dan perundang-undangan, tetapi sayangnya tidak konsekuen dam konsekuen dalam melaksanakannya. Denda pun hanya menjadi alat untuk menakut-nakuti belaka, yang akhirnya benar-benar tidak takut lagi, karena pelaksanaan hukum tidak benar-benar terjadi. Pungli di jalan raya masih terjadi, pungli di mana-mana masih menjadi tradisi. Banyak telah dibeli tempat sampah, dan bahkan telah dibangun dengan indahnya tempat sampah itu. Ridwan Kamil, Walikota Bandung berhasil membangun tempat sampah di lorong jalan Kota Bandung. Tetapi, apa yang terjadi? Tempat sampahnya banyak yang rusak dan dicuri. Tempat sampah itu belum dimanfaatkan secara maksimal dan fungsional untuk kebersihan kota. Sampahnya pun kembali harus dipungut secara manual, tidak menggunakan tempat sampah tersebut. Mengapa? Yang dibangun seharusnya perilaku orangnya, dan bukan hanya alatnya. Bukankah yang terpenting adalah “the man behind the gun”.

Malah, bagi orang Indonesia, kata-kata bijak dari Korea itu pun dipelesetkan pula. Kenapa kita harus menunggu nanti kalau sudah sukses jika nanti hanya untuk bersantai-santai? Bersantai-santai sudah dapat kita lakukan sekarang juga, tanpa harus menunggu nanti?? Orang kita tidak mau menunggu-nunggu lama untuk dapat bersantai, karena saat ini pun kita sudah dapat hidup dengan santai. Orang kita tidak mau mengikuti sukses Chairul Tanjung, si penulis buku “Anak Singkong” itu, untuk berlama-lama untuk menjadi sukses, karena saat ini pun sudah biasa santai, tegas orang-orang kita sambil tertawa terkekeh-kekeh.

Citra Rendah Orang Indonesia

Ada pula cerita perih dari Thailand, saat teman-teman LPMP Makasar mengadakan studi banding di Thailand. Ketika itu beberapa teman telah menggunakan jembatan penyeberangan untuk menuju tujuan. Namun di antaranya ada yang menerabas, satu kebiasaan yang biasa dilakukan di Indonesia. Saat itu, nyeletuklah teriakan “Indonesia” dari banyak orang yang melihatnya. Demikianlah citra kita saat ini. Itulah sebabnya, dengan Kurikulum 2013, kita berusaha untuk mendidik anak-anak tentang bagaimana hidup secara prosedural. Kehidupan harus dilalui dengan etika dan prosedural. Bahkan anak-anak suda dilatih untuk menggunakan metakognitif, berfikir tentang masa depan. Perlu ada revolusi mental untuk perubahan mendasar dalam paradigma pembelajaran, mulai dari pendidikan di rumah, di sekolah, dan dalam masyarakat.

Tangan Dilipat, Mulut Ditutup

Sejak di zaman TK, kita sudah dibiasakan oleh sang guru untuk melakukan ritual itu, yakni “tangan dilipat, mulut ditutup”. Begitulah sang guru memerintahkan kepada para siswanya. Murid-murid mungil itu pun mengikutinya tanpa reserve. Ya, tanpa reserve, karena anak-anak adalah peniru yang ulung. Anak-anak yang baik adalah anak yang harus mengikuti perintah Pak dan Ibu Gurunya. Padahal paradigma pembelajaran sekarang ini, para siswa harus lebih aktif dibandingkan dengan gurunya. Murid-murid sekarang ini pun harus lebih banyak bertanya kepada sang gurunya, dan harus banyak melakukan observasi untuk “mencari tahu” dari sumber-sumber informasi di lapangan, buku, internet, dan sumber ilmu lainnya. Anak-anak sekarang, mengingat era teknologi informasi dan komunikasi yang telah maju, tidak untuk “diberi tahu” seperti zaman dahulu. Bahkan sang guru jangan merasa serba tahu, karena siswanya kemungkinan telah lebih tahu lebih dahulu daripada guru. Lebih dari itu, sejak kecil anak-anak sudah diperkenalkan dengan lagu anak-anak seperti ini. Di sini senang, di sana senang, di mana-mana hatiku senang. Di sini senang, di sana senang, di mana-mana hatiku senang”. Bahkan Prof. Dr. Dasim Bidimansyah pun memberikan contoh bahwa anak-anak sudah dibiasakan menyanyikan lagu “Potong bebek masak di kuali, nona minta dansa, dansa empat kali, serong ke kanan, serong ke kiri; La-la, la-la. Ya, memang sekolah harus ramah anak. Pendekatan pembelajaran pun memang harus dilaksanakan dengan aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM). Pendekatan pembelajaran tersebut haruskan dilaksanakan secara seimbang dengan pendekatan lain seperti pendekatan saintifik, karena tujuan pendidikan yang akan dicapai meliputi empat aspek yang saling kait mengait antara 1) sikap spiritual, 2) sikap sosial, 3) pengetahuan, dan (4) keterampilan. Dengan kata lain, tujuan pendidikan yang akan dicapai meliputi empat aspek yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain.

Ritual Makan Ala Anak-Anak Korea

Strategi kebijakan pendidikan di Korea luar biasa. Jika di Indonesia sejak kecil hanya dilatih menyanyikan lagu “Di sini senang, di sana senang”, anak-anak di Korea sejak balita tentang dibiasakan dengan ritual makan yang luar biasa. Ketika makan siang di sekolah, sebagai misal, anak-anak makan bersama, dan ada satu anak yang memimpin do’a ala Korea. Bagaimana do’anya? Inilah 4 (empat) kalimat yang diucapkan oleh seorang pemimpin do’a dan ditirukan oleh semua anak dengan tertib: 1) Makan bukan untuk makan, 2) Makan untuk kerja, 3) Tidak kerja, tidak makan, 4) Satu kali kerja, empat jam kerja.

Mari kita bayangkan dan rasakan, kalau setiap hari anak-anak Korea selalu berjanji seperti itu. Kebiasaan mengucapkan empat kalimat itu akan merasuk ke dalam jiwa anak-anak Korea, sehingga pada saatnya mereka dewasa, jiwa tersebut akan menjadi kebiasaan, dan kemudian menjadi perilaku (budaya) dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai sikap dan karakter yang diharapkan akan dapat tumbuh dalam kehidupan anak-anak adalah untuk meningkatkan etos dan semangat kerja, cinta kerja, dan pada akhirnya juga tumbuh rasa disiplin dalam kehidupan.

Tradisi yang Baik

Sebenarnya, di Indonesia ada juga kebiasaan yang baik yang menjadi tradisi ketika makan. Kakek saya selalu mengingatkan agar kalau makan jangan sampai sisa, yang pada ujung-ujungnya dibuang di tempat sampah. “Habiskan nasimu, nanti pak tani mengangis”. Petuah kakek ini menjadi kebiasaan hidup dalam diri saya. Jika menghadiri undangan, saya selalu mengambil makanan secukupnya, dan pasti akan saya habiskan makanan yang telah saya ambil tersebut, karena takut “pak tani akan menangis”. Nilai karakter yang dapat dipetik dari kebiasaan ini adalah untuk menumbuhkan rasa syukur terhadap nikmat Allah, membiasakan hidup hemat dan sederhana.

Untuk urusan kesehatan, cara makan menurut Nabi sebenarnya sangat bagus, yakni “makan ketika lapar, dan berhentilah makan sebelum kenyang”. Maknanya, jangan makan secara berlebih-lebihan, apalagi makanan yang tidak sehat.

Mulai dari Pendidikan Usia Keemasan (the golden ages)

Anak-anak kita memang memiliki kemampuan yang luar biasa untuk meniru. Perkembangannya secara optimal pada usia balita. Oleh karena itu nilai-nilai pendidikan harus kita berikan sejak dini. Apalagi perkembangan otak secara optimal terjadi pada usia balita. Baik buruknya masa depan suatu bangsa ditentukan oleh pendidikan anak pada masa kini.

Depok, 17 Juni 2014.

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts

Puisi

Sebuah Interupsi

Oleh: Winaria Lubis, Dosen FKIP Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Tama Jagakarsa Jakarta Selatan.   Pada…