ArtikelBudayaPendidikan

Mata Pelajaran di Sekolah

2 Komentar

Trending topic – itu bahasa TV – saat ini adalah penumbuhan budi pekerti. Itu konsep Mendikbud Anies Baswedan mulai tahun 2016. Kemendikbud saat ini sedang membenahi Kurikulum 2013. Boleh jadi, penumbuhan budi pekerti merupakan salah satu mata pelajaran baru yang akan dihadirkan dalam Kurikulum 2013?

Setelah saya baca sejenak konsep penumbuhan budi pekerti, saya membaca bahwa konsep penumbuhan budi pekerta merupakan bentuk kekecewaan terhadap ketidak keberhasilan P4 dalam membentuk karakter anak bangsa di negeri ini. Itulah sebabnya maka bersamaan dengan konsep penumbuhan budi pekerta telah lahir pula konsep prestasi tinggi dan jujur dalam Ujian Nasional. Itulah respon yang sangat bagus. Tetapi harus ditindaklanjuti. Tulisan ini tentang mata pelajaran yang selama ini berkembang di sekolah-sekolah di Indonesia.

Memang, perubahan adalah hukum kehidupan. Tidak ada yang tidak berubah di dunia ini. Tapi perubahan itu harus melalui proses preparing and planning.  Tulisan singkat ini membicarakan penumbuhan budi pekerti. Itu ide yang sangat bagus. Ide itu didukung oleh teori yang telah mapan, yakni teori Benjamin S. Bloom tentang tujuan pendidikan (educational objectives). Khususnya tentang ranah afektif yang terkait dengan hati.

Pertama, marilah kita tetapkan namanya untuk mata pelajaran tentang moralitas, karakter, budi pekerti. Sebagai perbandingan, mata pelajaran di Malaysia untuk pendidikan karakter menggunakan nama satu, yakni Pendidikan Islam (untuk Agama, dan selain Islam disebut Pendidikan Karakter). Itu dulu ketika saya menjadi Kepala Sekolah Indonesia Kuala Lumpur. Oleh karena itu, marilah kita tentukan nama yang satu tentang karakter ini. Akankah kita meniru Malaysia? Meniru yang baik boleh saja. Pendidikan Islam (toh 85% Islam) untuk seluruh jenjang pendidikan, pendikan dasar, menengah, dan tinggi. Ini pekerjaan besar, yakni menyusun kurikulum yang bukan “pengetahuan” agama, tapi pendidikan agama, yang titik beratnya adalah olah hati (afektif), bukan olah otak dan olah raga. Hal ini sama dengan mata pelajaran Olah Raga dengan ranah olah raga bukan ranah kognitif. Lalu bagaimana dengan yang beragama selain Islam tentu sesuai dengan agama masing-masing atau dijadikan satu dengan mata pelajaran Pendidikan Karakter.

Mata pelajaran tentang agama dan atau moral memang agak krusial, karena moralitas bisa merupakan moralitas agama, moralitas sosial kemasyarakatan, moralitas kesopan, dan aspek lainnya. Oleh karena itu, nama mata pelajaran ini perlu didiskusikan lebih lama. Penumbuhan budi pekerti menjadi salah satu alternatif. Pendidikan moral menjadi alternatif  lainnya. Pendidikan agama menjadi alternatif  yang lain lagi. Sudah lama mata pelajaran Pendidikan Agama diajarkan di sekolah, baik negeri maupun swasta. Baik Sekolah di bawah pembinaan Kemdikbud maupun Kemenag. Sudah lama pula ada mata pelajaran Budi Pekerti yang penilaiannya dengan cara kuantitatif maupun kualitatif. Bahkan telah diluncurkan Pendidikan Karakter untuk pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Pendidikan karakter tersebut diluncurkan pada peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2010. Dengan demikian, dalam kurikulum sekolah telah diajarkan beberapa mata pelajaran, yakni Pendidikan Agama sesuai dengan Agama yang dipeluk, PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewargaan Negara), PKn (Pendidikan Kewarganegaraan), serta Civics. Di samping itu, dalam kegiatan penataran atau pelatihan, baik di sekolah maupun di kantor-kantor pemerintah juga dilatihkan P4 (Bahkan nilai-nilai karakter juga sering disebut dengan Karakter Mulia.[1] Untuk menyatukannya perlu pertimbangan dari berbagai aspek. Mencari jalan keluarnya tentu akan memerlukan banyak pertimbangan. Akhirnya cara-cara bijak menjadi pertimbangan yang insya Allah paling ideal.

Kedua, untuk mata pelajaran yang terkait dengan nasionalisme, cinta tanah air, dan kewargaan negara, kita jadikan satu mata pelajaran terintegrasi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) atau Social Studies. Sedang Sains merupakan fusi mata pelajaran Kimia, Biologi, Fisika, dan sejenisnya. Mata pelajaran ini bersifat thematic-integrative untuk jenjang pendidikan SD dan SMP yang sebenarnya sejak tahun 1968 telah terjadi fusi mata pelajaran antara beberapa mata pelajaran, yakni geografi, sejarah, ekonomi, antropologi, civics, dan sejenisnya. Untuk SMA sederajat, integrasi tersebut dapat dilonggarkan, bahkan harus menjadi mata pelajaran tersendiri, misalnya Civics dengan mata pelajaran sendiri, juga Sejarah, Ekonomi, Antropologi, dan apa lagi. Itulah sebabnya, penjurusan dapat dimulai sejak SMA.

Ketiga, untuk mata pelajaran yang menekankan aspek ilmu pengetahuan dan teknologi, selama ini mengandalkan mata pelajaran yang diajarkan di SMA ke atas. Saat ini boleh disesuaikan dengan kemajuan zaman, integrasi mata pelajaran dapat diberikan mulai SMP. Tetapi perlu pertimbangan masak-masak apakah thematic-integrative tersebut masih diperlukan untuk jenjang SMP? Seperti ilmu kimia yang selama ini hanya diberikan secara integrative di SMP, apakah sudah waktunya diberikan secara mandiri, untuk ilmu kimia, biologi, dan ekonomi di SMP. Untuk SMA sudah harus sudah harus tunggal.

Kempat, untuk mata pelajaran yang bersifat metodologis, seperti TIK dan bahasa, mata pelajaran TIK dapat saja diberikan mulai SMP dan SMA dengan prinsip sesuai dengan kebutuhan dan berifat teknis. Mengapa? Karena ternyata banyak mahasiswa semester I di perguruan tinggi yang masih gaptek TIK, misalnya belum bisa mengirimkan e-mail dan belum dapat membuka internet. Padahal, proses pendaftaran mahasiwa, sistem penilaian, bahkan UNBK (ujian nasional berbasis komputer), updating data kemahasiswaan, semuanya sudah dilakukan secara elektronik.

Kelima, mata pelajaran yang sifatnya spesifik seperti kesenian dengan berbagai ragamnya seperti teater, baca puisi, olah raga, Pramuka, Paskibra, bahkan olah raga yang sebenarnya sudah masuk Pendidikan Kesehatan, dan lain-lain yang sifatnya memang dapat disebut single intelligence, lebih baik dimasukkan dalam kurikulum muatan lokal, atau ekstra kurikuler. Dengan demikian pelaksanaannya dapat lebih optimal, dan dilaksanakan secara spesifik. Dengan memasukkan single intelligence ini, pendekatan pendidikan kita bukan lagi berorientasi memilih salah satu multiple intelligences atau single intelligence, tapi kedua-duanya.

Keenam, untuk mata pelajaran untuk sekolah-sekolah kejuruan perlu dibahas tersendiri, karena lebih menekankan ranah psychomotor atau keterampilan. Untuk sekolah kejuruan inilah konsep link and match dari Menteri Wardiman memang harus diutamakan. Itulah sebabnya, sekolah kejuruan harus menjalin kerja sama dengan dunia usaha dan dunia industri. Jumlah sekolah kejuruan dan umum memang terkait dengan konsep link and match tersebut. Ingat, saya memiliki kata-kata mutiara bagus, yakni “peserta didik lebih penting dari mata pelajaran yang akan diajarkan”.

*) Laman: www.suparlan.com; Surel: me@suparlan.com.

Depok, 8 April 2016.

[1] Bajoeri Widagdo, Karakter Mulia, Jalan Kehidupan Sehari-Hari dari Sudut Pandang Islam dan Universal.

Tags: Anies Baswedan, budi pekerti, Sekolah

Related Articles

2 Komentar. Leave new

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.