***
Keterampilan menentukan tujuan dan menetapkan cita-cita adalah langkah awal bagi orang-orang yang akan sukses dalam hidupnya
(Kata mutiara enterpreneurship)
***
Kurikulum 2013 telah dilaksanakan secara terbatas dan bertahap mulai tahun 2013. Niat tulus untuk menyempurnakan pendidikan melalui pengembangan kurikulum ini memang harus dihargai. Proses pengembangan kurikulum merupakan satu keniscayaan. Tidak mungkin sistem pendidikan nasional hanya akan menggunakan satu kurikulum yang tidak pernah berubah, sementara ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang dan berubah dengan cepat.
Untuk sampai kepada upaya yang maksimal, meski harus melalui proses dengan sejumlah kendala dan masalah, buku ajar tematik intgratif di Sekolah Dasar dalam perjalananya perlu dievaluai. Ada lima langkah penting untuk menulis apa pun, termasuk penulisan buku ajar, yakni 1) preparing, 2) planning, 3) drafting, 4) incubating, dan 5) revising, editing, dan proofreading. Langkah akhir ini memang menjadi bagian penting yang harus dilakukan untuk menyempurnakan buku yang sudah siap pakai (Besser, Pam. 1994. A Basic Handbook of Writing Skills. California: Mayfield Publishing Company, page 1).
Ketika pergi ke Malang untuk memenuhi undangan acara pernikahan keponakan, saya sempat membuka-buka buku itu di atas meja belajar kakak kemanten. Buku itu ternyata buku ajar Tema 5 Kelas I Sekolah Dast. Kakak kemanten itu kebetulan guru SD yang mengajar di kelas I. Setelah membolak-balik buku itu untuk memahami isinya, buku itu lumayan baik, meski untuk siswa Kelas I SD font hurufnya sepertinya agak kurang sedikit besar. Saya tahu buku pembelajaran tematik integratif itu menjadi andalan penting pengembangan kurikulum 2013.
Dalam kesempatan ini saya harus mengatakan bahwa ada nuansa baru dalam penulisan buku itu. Bukan hanya dalam penggunaan nama-nama yang lebih variatif dan inklusif untuk anak-anak Indonesia, seperti Siti, Beni, dan sebagainya. Tidak hanya Budi, seperti yang digunakan dalam buku ajar sebelumnya. Lebih dari ini dengan pendekatan integratif, semua mata pelajaran konvensional yang ada telah diupayakan untuk dimasukkan secara terpadu dalam materi-materi tema yang akan diajarkan. Terdapat materi tentang IPA terpadu, matematika, IPS terpadu, pendidikan agama, ada pendidikan karakter, ada pula pendidikan multikultural dan seterusnya.
Bagaimana pun juga, untuk penyempurnaan buku ajar tersebut secara total, beberapa catatan berikut disampaikan untuk melengkapi tahapan proofreading dalam penulisan buku ajar.
Pertama, ada kalimat yang terlalu panjang. Sebaiknya setiap kaliman jangan lebih dari dua belas kata. Prinsip “ASAP” (as short as possible) untuk menulis perlu mendapatkan perhatian. Pada halaman 16 terdapat kalimat “Gambar di bawah ini adalah nilai tempat banyak yang dilakukan Beni dalam permainan tutup mata”. Mungkin kalimat tersebut memang belum menggunakan tanda baca (titik) yang lengkap. Penulisan kalimat yang terlalu panjang seperti itu akan mengganggu pemahaman siswa.
Kedua, penulisan ejaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar (EYD) harus sudah diperkenalkan sejak kecil. Mengapa? Karena kesalahan penulisan ejaan seperti itu, meski hanya dalam satu kata, akan dibawa sampai mereka terjun ke masyarakat. Sebagai contoh, kita sudah terbiasa melihat tulisan RUMAH DI JUAL dalam masyarkat. Seperti dalam halaman 24 buku ini, kita juga membaca sebaliknya, yakni “Siti ingin menghitung burung yang ada DISANA”. Penulisan DI JUAL yang kita sering lihat dalam masyarakat harus dijadikan satu, sedang penulisan DISANA dalam buku ajar ini harus dipisah, karena di dalam kata dijual terdapat awalan di. Sementara dalam di sana adalah terdapat kata depan di untuk menunjukkan tempat. Penulisan kedua kata tersebut jangan sampai salah.
Ketiga, pada halaman 35, lagu anak-anak Gundul-Gundul Pacul diperkenalkan kepada siswa. Sudah benar, judul lagu itu tertulis Gundul-Gundul Pacul, tetapi dalam kalimat, judul lagi itu ditulis secara tidak lengkap, yakni Gundul Pacul. Seharusnya antara judul lagu dan badan kalimatnya harus ditulis lengkap, bukan Gundul Pacul, melainkan Gundul-Gundul Pacul. Selain itu, karena lagu ini berasal dari lagu daerah Jawa, maka sebaiknya istilah serapan dari Bahasa Jawa perlu diberikan anotasi arti kata Bahasa Jawa tersebut, seperti dalam kata “saklatar” dan “gembelengan”. Demikian juga nanti kalau ada kata serapan dari bahasa daerah lain.
Keempat, pemahaman tentang makna butir-butir sila Pancasila memang sudah harus dijelaskan kepada siswa. Ada makna dalam lambang gambar burung garuda yang memang secara khusus memiliki makna tertentu, baik menurut Undang-Undang maupun makna secara umum. Dalam menonton pertandingan sepak bola di layar kaca, anak-anak Indonesia sudah mengenal istilah “garuda di dadaku”. Angkah baiknya jika hal ini dijadikan bahan introduksi. Burung garuda memiliki dua sayap. Sayap burung garuda masing-masing (kiri dan kanan) terdiri atas 17, yang menunjukkan tanggal proklamasi kemerdekaan. Demikian pula dengan ekor burung garuda juga berjumlah 8 yang menunjukkan bulan Agustus, bulan ke delapan. Sedangkan jumlah bulu pada pangkal ekor adalah 19 dan jumlah bulu pada leher burung garuda adalah 45, yang menunjukkan tahun kemerdekaan 1945. Dengan demikian lambang itu menggambarkan kapan Indonesia merdeka, yakni tanggal 17 Agustus 1945.
Demikian pula dengan perisai pada burung garuda, yang menggambarkan kelima sila Pancasila. Pertama, bintang segi lima yang menggambarkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, rantai menggambarkan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketiga, beringin menggambarkan sila Persatuan Indonesia, dan keempat, kepala banteng menggambarkan sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Akhirnya yang kelima, padi dan kapas menggambarkan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk memudahkan penyebutan urutan sila-sila Pancasila dari sila pertama, kedua, sampai sila ke lima, dari bintang segi lima di tengah-tengah (sila pertama) menuju ke kanan bawah (rantai), kemudian dengan arah berlawanan dengan jarum jam menuju sila ketiga (beringin), sampai ke sila keempat (kepala banteng), ke sila ke lima (padi kapas), yang dapat digambarkan sebagai berikut.
Selain itu, ada beberapa makna lambang yang lain, yakni kepala burung garuda menoleh ke kanan dengan makna jalan yang benar, dan garis tebal yang di tengah-tengah perisai menggambarkan garis khatulistiwa yang melintasi Indonesia.
Pada halaman 66, tertulis dua kalimat: “Berapa jumlah mata rantainya?” dan “Tahukah kamu arti angka tersebut?”. Dalam hal ini ada makna penting yang lain, yakni “mata rantai bulat melambangkan unsur perempuan, mata rantai persegi melambakan laki-laki” Sedang mata rantai yang bulat berjumlah 9 dan yang persegi empat berjumlah 8. Jumlah seluruhnya 17. Ketujuh belas mata rantai itu sambung menyambung tidak terputus yang melambangkan unsur generasi penerus yang turun temurun” (periksa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan). Pada halaman 4 dan 5 buku tersebut, mata rantainya tidak sama, yang satu jelas persegi dan bulatannya, sedang halaman yang lain tidak.
Kelima, jika lambang sila pertama dan kedua dibahas dengan tuntas mulai dari gambar dan maknanya, sila ketiga, keempat, dan kelima belum dibahas. Apakah akan dibahas dalam tema yang lain. Dalam hal ini, sesuai dengan prinsip holistik dalam pembelajaran tematik integratif, sebaiknya dijelaskan dahulu secara keseluruhan lambang burung Garuda tersebut, misalnya di mulai dari gambaran, misalnya tentang “gagahnya para pemain Garuda Muda yang memakai kaos berlogo Garuda” di lapangan hijau. Baru setelah itu penjelasan secara lebih mendetail setiap sila dari semua sila Pancasila.
Keenam, dijelaskan tentang tolong menolong merupakan salah satu bentuk pengamalan dari sila Kemanusiaan yang adil dan beradab dijelaskan dalam dua halaman, yakni pada halaman 66 dan 82. Kembali kepada prinsip holistik tersebut, penjelasan tentang lambang dan makna lambang dan pengamalan butir-butir nilai Pancasila perlu dirancang secara utuh, apakah akan dijelaskan dalam satu kali penjelasan untuk semua silanya ataukah akan disebar dengan subtema untuk setiap silanya.
Ketujuh, pada hal 97 terdapat materi tentang “tata tertib berkendaraan”. Terkait dengan prinsip holistik dalam pembelajaran tematik integratif, alangkah baiknya jika sebelumnya diawali dengan pemahaman konsep disiplin terlebih dahulu, terlebih tentang perbedaan konsep disiplin hidup dan disiplin mati, lalu dengan pentingnya tata tertib dalam kehidupan, mulai dari tata tertib dalam rumah, tata tertib di sekolah dan kelas, serta masyarakat, seperti tata tertib berkendaraan? Sebagai contoh, ketika saya menjadi kepala sekolah di SIK (Sekolah Indonesia Kuala Lumpur), saya pernah mengamati anak-anak Sekolah Rendah di Malaysia yang menerapkan budaya ANTRI MASUK BUS SEKOLAH. Mereka harus menaruh tas sekolah di trotoar secara tertib, dan kemudian setelah bus sekolahnya datang, mereka kemudian masuk ke bus sekolah secara tertib. Mungkin ANTRI MASUK BUS SEKOLAH ini perlu divisualisasikan. Namun, disiplin seperti itu harus dibiasakan secara faktual.
Demikianlah tujuh butir catatan sebagai masukan untuk proses revision, editing, dan proofreading terhadap buku tema 5 kelas I Sekolah Dasar. Catatan untuk tema-tema yang lain mudah-mudahan dapat dilakukan berikutnya.
Depok, 12 Januari 2013.