Oleh Suparlan *)
Dunia pendidikan nasional masih membutuhkan kerja keras yang tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Proses perbaikannya membutuhkan kerja sama seluruh stakeholder pendidikan dan komitmen pada pendidikan
(Abdul. Malik Fadjar)Tinggi rendahnya mutu pendidikan di daerah dan sekolah menjadi tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah. Kualitas pendidikan untuk masa yang akan datang lebih bergantung pada komitmen daerah — dalam hal ini termasuk komitmen orangtua dan masyarakat”
(Prof. Suyanto, Ph.D)
Pengantar
Dalam pembukaan UUD 1945, para pendiri NKRI secara cerdas telah berhasil merumuskan empat tujuan negara yang baru saja dibentuk, yaitu (1) melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Rumusan tersebut sangat indah, namun baru sebagai sebuah konsep, tetapi pelaksanaanya harus melalui jalan terjal dan berliku. Itulah hakikat kehidupan dan pendidikan.
Hakikat Pendidikan dan Kehidupan
Jika kita membicarakan masalah pendidikan, maka pada hakikatnya kita sedang membicarakan masalah yang lebih luas, yakni masalah kehidupan. Betapa tidak, urusan pendidikan ini dimulai sejak sang janin baru saja dihembuskan rohnya oleh Allah SWT. Fase kehidupan inilah yang dikenal dengan pendidikan pralahir (prenatal education). Sampai akhir menginjak usia dini, yang dikenal dengan pendidikan usia dini (PAUD) sampai dengan ketika kita melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, bahkan sampai ajal harus menjemput kita. Semuanya memerlukan urusan pendidikan. Kita mengenal tiga jalur pendidikan, yaitu (1) pendidikan formal, (2) pendidikan informal, dan (3) pendidikan informal.
Untuk menjelaskan hakikat pendidikan dan kehidupan tersebut, baik sekali jika kita mencoba mendalami pandangan ketiga tokoh pendidikan berikut, yaitu (1) Ki Hadjar Dewantara, (2) KH. Ahmad Dahlan, dan (3) John Dewey sebagai berikut.
Ki Hadjar Dewantara, bapak pendidikan nasional, terkenal dengan sistem among. Konsepsi pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara, ”…. anak sebagai figur sentral dalam pendidikan dengan memberikan kemerdekaan sepenuh-penuhnya untuk berkembang”. Sementara itu, ”Guru hanya membimbing dari belakang dan baru mengingatkan anak kalau sekiranya mengarah kepada sesuatu tindakan yang membahayakan (tut wuri handayani) sambil terus membangkitkan semangat dan memberikan motivasi (in madya mangun karsa) dan selalu menjadi contoh dalam perilaku dan ucapannya (ing ngarsa sung tuladha)” (Ki Gunawan, Kompas, 21 Juli 2003).
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (sejak 1922 menjadi Ki Hadjar Dewantara, lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 – wafat di Yogyakarta, 26 April 1959 dalam umur 69 tahun; selanjutnya disingkat sebagai “Soewardi” atau “KHD”) adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda (http://www.tokohindonesia.com)
Jika Ki Hadjar Dewantara dikenal dengan Perguruan Taman Siswanya, maka KH. Ahmad Dahlan menggagas pendidikan berbasis Islam. Organisasi Muhammadiyah yang dirikan pada tanggal 18 November 1912 mempunyai amal usaha yang komprehensif, termasuk di dalamnya adalah amal usaha dalam bidang pendidikan. Melalui organisasi yang didirikan itu, Ahmad Dahlan bercita-cita untuk mengadakan pembaharuan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. la ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur’an dan al-Hadits. KH. Ahmad Dahlan tidak hanya menekankan ilmu yang sifatnya teoritis, membaca, menghafal ayat dan sunah Nabi, tetapi lebih menekankan pada aspek pengamalannya. Dalam pengamalan syariat agama, KH. Ahmad Dahlan dikenal dengan koreksinya terhadap arah kiblat yang selama ini tidak pernah mendapatkan perhatian ummat. Kehidupan dunia adalah bekal untuk kehidupan akhirat.
Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991; 1968: 6).
Berkenaan dengan konsepsi pendidikan pula, Dewey mempunyai beberapa keyakinan yang sampai saat ini masih diakui kesahihannya oleh para ilmuwan dan ahli pendidikan. Dari beberapa keyakinannya itu, Dewey berpendapat bahwa “education is not a preparation of life, but education is life itself”. Pendidikan adalah bukan persiapan kehidupan, tetapi pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Pendapat Dewey ini memberikan pengertian pendidikan seluas dengan pengertian kehidupan itu sendiri. Pendidikan adalah kehidupan dan kehidupan adalah pendidikan. Pendapat yang lain dinyatakan bahwa, “education is the fundamental method of social progress and reform” (Dewey, 1896b). Dengan kata lain, pendidikan tidak lain adalah metode fundamental dari kemajuan dan reformasi sosial. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ho Chi Minh, bapak pendidikan negara Vietnam, yang menyatakan bahwa ”No teacher, no education. No education no social-economic development”.
John Dewey (1859-1952) was an American psychologist, philosopher, educator, social critic and political activist. He was born in Burlington, Vermont, on 20 October 1859. Dewey graduated from the University of Vermont in 1879, and received his PhD from Johns Hopkins University in 1884. He started his career at the University of Michigan, teaching there from 1884 to 1888 and 1889-1894, with a one year term at the University of Minnesota in 1888 (http://dewey.pragmatism.org)
Dari beberapa pandangan tentang konsepsi pendidikan menurut beberapa tokoh dan bapak pendidikan tersebut, tidap pelak lagi bahwa pendidikan menduduki dan memiliki peran sentral dalam kehidupan manusia, bahkan peran sentral dalam pembangunan sosial-ekonomi suatu negara. Konon, ketika Jepang telah mengalami kehancuran total sebagai akibat dari serangan bom nuklir yang dijatuhkan ke Hiroshima dan Nagasaki, Kaisar Jepang yang sedang meninjau kawasan yang telah hancur total itu justru menanyakan tentang “berapa guru yang masih hidup”, dan bukan berapa tentara yang masih tersisa. Pertanyaan Kaisar Jepang itu menunjukkan bahwa pendidikan pada umumnya, khususnya guru memiliki peran yang sangat istimewa untuk dapat membangun kembali negara Jepang di masa yang akan datang.
Sekitar Kecerdasan dan Kesejahteraan
Bukan satu hal yang kebetulan jika di dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan salah satu tujuan negara ”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Ternyata terminologi ”kecerdasan” memiliki dimensi yang sangat luas dalam kehidupan manusia. Howard Gardner, ahli psikologi dari Harvard College of Education, pada tahun 1983 menulis buku bertajuk Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. Dalam teorinya tersebut, disebutkan 7 (tujuh) tipe kecerdasan, yang kemudian ditambah satu kecerdasan lagi menjadi 8 (delapan) tipe kecerdasan, yang kalau disingkat menjadi SLIM n BIL, yaitu (1) spatial, (2) language, (3) interpersonal, (4) music, (5) naturalis, (6) bodily kinesthetics, (7) intrapersonal, dan (8) logical mathematics. Dalam Bahasa Indonesia, delapan kecerdasan itu dapat disebutkan (1) kecerdasan visual (gambar), (2) bahasa, (3) interpersonal atau hubungan antarmanusia, (4) musik, (5) cinta alam, (6) olahraga atau gerak badan, (7) mawas diri atau melihat diri sendiri, (8) logis-matematis (Suparlan, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Dari Konsepsi Sampai Dengan Implementasi, 2004).
Dari kedelapan tipe kecerdasan tersebut, ternyata jenis kecerdasan yang sering kita perhatikan kehidupan ini hanyalah soal angka dan kata, atau soal matematika dan bahasa, dengan apa yang disebut sebagai Intelligence Quotions (IQ). Sementara kecerdasan yang lain tidak atau kurang mendapatkan perhatian. Anak yang memiliki kemampuan luar biasa dalam bidang olahraga, sebagai contoh, justru tidak pernah kita anggap memiliki kecerdasan. Demikian juga dengan kecerdasan dalam bidang musik atau juga yang lain. Ketika Andrea Hirata menjadi sangat terkenal dengan tetraloginya ”Laskar Pelangi”, lagi-lagi kita baru memahami bahwa kesepuluh anggota Laskar Pelangi tersebut ternyata memiliki pelangi kecerdasarkan ganda itu. Si Lintang memiliki kecerdasan luar biasa dalam bidang ”logis-matematis”. Sedang anggota Laskar Pelangi yang lain memiliki kecerdasan dalam bidang yang lain lagi. Kita dapat menyebut bahwa mereka itu semuanya menggambarkan adanya plurisme dalam kecerdasan ganda. Semua peserta didik dapat belajar. All students can learn, demikian pesan Prof. Rene Edmonds dalam bukunya bertajuk ”Effective School for the Urban Poor”.
Adalah sangat tepat dalam kesempatan ini dapat dijelaskan serba sedikit tentang ”Correlates of Effective Schools” sebagaimana dijelaskan oleh Lawrence Lezotte. Beliau menyebutkan tujuh korelat, atau sering disebut sebagai ciri-ciri, atau faktor penentu (key determinant factors) yang menentukan apakah sekolah itu dapat disebut sebagai sekolah efektif atau bukan. Tujuh korelat itu adalah:
- Safe and orderly environment
- Climate of High Expectation for Success
- Opportunity to Learn and Student Time on Task
- Home-School Relations
- Instructional Leadership
- Clear and Focused Mission
- Frequent Monitoring of Student Progress
Ketujuh korelat tersebut merupakan faktor penentu keberhasilan suatu sekolah. Sekolah akan maju jika ketujuh korelat tersebut dapat dipenuhi oleh sekolah, yaitu:
- lingkungan sekolah yang aman dan teratus,
- suasana dengan harapan tinggi untuk bisa berhasil,
- kesempatan untuk belajar dan menggunakan waktunya hanya untuk belajar, bukan untuk yang lain,
- ada hubungan yang baik antara keluarga dengan sekolah,
- kepemimpinan instruksional kepala sekolah,
- misi sekolah yang jelas dan terfokus,
- monitoring perkembangan hasil belajar siswa secara teratur.
Keberadaan Dewan Pendidikan sebenarnya adalah untuk meningkatkan layanan pendidikan agar dapat memenuhi ketujuh korelat sekolah efektif tersebut. Sudah tentu bersama dengan institusi lain yang terkait, termasuk Dinas Pendidikan, serta semua pemangku kepentingan pendidikan di daerah.
Pelaksanaan Peran Dewan Pendidikan
Dalam pasal 56 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan sebagai berikut;
”Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat Nasional, Propinsi, dan Kabupaten/ Kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis”
Berdasarkan rumusan yang tertuang dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tersebut dapatlah dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, Dewan Pendidikan dibentuk di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Dewan Pendidikan Nasional, Dewan Pendidikan Provinsi, dan Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota tidak mempunyai hubungan hirarkis.
Kedua, peran Dewan Pendidikan adalah (1) memberikan pertimbangan dan arahan, (2) memberikan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, (3) melakukan pengawasan pendidikan. Ketiga peran ini memang sedikit berbeda dengan peran yang disebutkan dalam Keputusan Mendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tidak tercantum peran sebagai mediator.
Untuk dapat melaksanakan ketiga peran tersebut, maka Dewan Pendidikan tidak akan bisa bermain sendiri. Dewan Pendidikan bukan sebagai lembaga birokrasi sebagaimana institusi dinas di pemerintahan daerah. Dewan Pendidikan adalah lembaga mandiri, bukan sebagai subordinasi dari pemerintah daerah. Oleh karena itu, kedudukan Dewan Pendidikan tidak berada dalam komando Bupati/Walikota apalagi Dinas Pendidikan. Dewan Pendidikan merupakan mitra sanding dari lembaga birokrasi untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan.
Sinergi Dewan Pendidikan Dengan Institusi Terkait
Terkait dengan pelaksanaan peran Dewan Pendidikan tersebut, kerja sama dengan institusi terkait menjadi satu keniscayaan. Sebagai contoh, kerja sama Dewan Pendidikan dengan institusi sosial-kemasyarakatan lainnya seperti HKTI, KNPI, dan Komite Independen dinilai mempunyai nilai strategis yang sangat tinggi.
Pertama, Dewan Pendidikan menjadi lebih dikenal oleh masyarakat, termasuk institusi sosial dalam masyarakat. Dewan Pendidikan tidak akan banyak dikenal masyarakat, jika tidak dapat bekerja sama dengan institusi-institusi lain yang ada dalam masyarakat. Kenalilah masyarakatmu, dan masyarakat akan mengenalimu. Itulah kalimat nasihat yang sering kita dengarkan.
Kedua, dalam dunia yang semakin transparan, mana networking, team working menjadi satu kemestian. Untuk melaksanakan peran tersebut, Dewan Pendidikan harus bekerja sama dan membangun kebersamaan dengan institusi terkait, termasuk institusi DUDI.
Masalah Mikro Pendidikan
Masalah pendidikan sesungguhnya dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yakni (1) masalah makro, (2) masalah meso, dan (3) masalah mikro. Masalah makro adalah masalah yang terkait dengan kebijakan dan perumusan standar di tingkat pemerintah pusat. Masalah meso terkait dengan pelaksanaan kebijakan dan standar yang telah ditetapkan. Sementara masalah mikro terjadi di dalam teknis pelaksanaan dan penyelenggaraan pendidikan, termasuk masalah yang ada di tingkat satuan pendidikan. Urusan pendidikan dewasa ini telah diserahkan seluruhnya kepada pemerintah kabupaten/kota, bahkan sebagiannya telah diserahkan kepada sekolah, selaras dengan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS). Jika pemerintah pusat tinggal mempunyai peran dalam perumusan kebijakan, standar, dan norma-norma, maka pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Itulah sebabnya, maka Prof. Suyanto, Ph.D menyatakan dengan tegas bahwa ”tinggi rendahnya mutu pendidikan di daerah dan sekolah menjadi tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah. Kualitas pendidikan untuk masa yang akan datang lebih bergantung pada komitmen daerah — dalam hal ini termasuk komitmen orangtua dan masyarakat”, yang didalamnya termasuk peran Dewan Pendidikan dan institusi terkait dalam bidang pendidikan.
Kesimpulan dan Harapan
Dewan Pendidikan adalah lembaga mandiri yang relatif baru. Keberadaan lembaga ini memang sudah cukup kuat karena diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun sampai saat ini peraturan pelaksanaannya masih belum juga lahir. Latar belakang kelahirannya semula diharapkan dapat ikut mengawal pelaksanaan otonomi pendidikan yang telah diluncurkan sejak tahun 2000. Melalui tiga peran Dewan Pendidikan yang harus diembannya, diharapkan lembaga mandiri ini dalam meningkatkan mutu layanan pendidikan. Untuk dapat melaksanakan ketiga peran tersebut, maka tidak boleh tidak Dewan Pendidikan harus dapat membuat jejaring kerja sama (networking) dan teamworking dengan institusi terkait, termasuk DUDI.
*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.
Jakarta, Desember 2008
* Lampiran: Meningkatkan Sinergi Dewan Pendidikan.ppt