ArtikelPendidikan

Penguat Kapasitas Stakeholder

483 views
Tidak ada komentar

Oleh Suparlan *)

Education is not preparation for life; education is life itself
(John Dewey).

Mendidik pikiran tanpa pendidikan untuk hati sama dengan tidak ada edukasi
(Aristotle, 384 BC – 322 BC, Filsuf Yunani)

Tujuan pendidikan adalah pengembangan karakter anak-anak
(Aristoteles)

Ketika saya mencari bahan untuk menyusun makalah ini, saya menemukan satu tulisan yang cukup bagus dari Wahyu Wibowo dalam website http://www.wahyuwibowo.net bertajuk “Angka Pengangguran di Indonesia Tinggi, Tanyakan Mengapa?”. Satu tulisan yang sangat ringan dan sederhana. Siapa tahu tulisan itu akan mampu memberikan satu wacana tersendiri bagi kita, ketimbang kita terlalu dihadapkan masalah berat-berat yang bersifat teoritis atau malah filosofis. Beberapa butir jawabannya adalah sebagai berikut.

Pertama, pemalas. Dalam tulisan itu dijelaskan bahwa banyak lulusan yang ternyata malas membuat lamaran dan mempersiapkan diri untuk mencari kerja. Itu jawaban sederhananya. Tidak! Sistem pendidikan kita kelihatannya memang kurang memberikan bekal yang cukup untuk dapat bekerja. Itu jawaban teoritisnya. Bahkan ada beberapa kalangan yang mengatakan bahwa sistem pendidikan kita tergolong sistem pendidikan antikerja. Konon katanya kita lama terkungkung dalam perdebatan panjang tentang aliran kurikulum perenialistik yang kita anut. Satu kalangan menyatakan bahwa pendidikan kita memang hanya menghasilkan lulusan yang ”siap latih”. Sementara yang lain menyatakan bahwa pendidikan kita harus menghasilkan lulusan yang ”siap kerja”. Aliran perenialistik versus konstruksionistik. Di samping masih tetap masih bersifat perenialistik, dewasa ini  kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) telah bergeser ke pendulum yang bersifat konstruksionistik, karena disusun oleh stakeholder pendidikan di sekolah berdasarkan kondisi dan karakteristik daerah. Jika kurikulum idealnya sudah memperhatikan kearifan lokal (local wisdoms), maka kurikulum faktualnya dalam proses pembelajaran seharusnya juga sudah lebih memperhatikan kehidupan sehari-hari dan lingkungan. Itulah sebabnya kini telah digalakkan konsep pembelajaran CTL atau contextual teaching and learning. Konsep ini dalam pelaksanaannya memang baru dalam tataran teori belaka. Belum masuk ke tataran praktik yang sebenarnya. To make one undertand is the most difficult. Mengubah paradigma adalah yang paling sulit. Dahulu, konsep ”sekolah pembangunan” dapat kita jadikan sebagai bahan perbandingan dan bahan evaluasi.

Kedua, suka-suka pilih pekerjaan. Cari pekerjaan pada tempat yang basah. Begitu maksudnya. Cari pekerjaan yang dekat rumah. Itu maunya. Ingin menjadi pegawai negeri. Begitu pesan orangtua. Biar dapat pensiun, tambahnya. Bahkan kalau perlu dengan cara menyogok segala. Begitu jawabnya, dengan gaya bahasa anak muda yang ceplas-ceplos. Menurut saya, akar masalahnya sebenarnya pendidikan kita memang belum dapat menyiapkan peserta didik agar memiliki multi-skills atau kecakapan yang berorientasi kerja. Kalau pendidikan telah dapat memberikan multi-skills yang memadai, maka lapangan kerja akan terbuka untuk mereka. Bahkan, lebih dari itu, para lulusan tidak hanya sibuk mencari kerja, tetapi malah dapat menciptakan kerja untuk orang lain.

Ketiga, maunya jadi pegawai negeri, nggak mau wirausaha. Katanya, ini merupakan penyakit turun menurun yang sangat sulit diobati. Dengan kata lain, sebenarnya ini adalah budaya lama yang diwariskan dari kaum feodal. Pada zaman penjajahan Belanda, para ningrat memang diberikan kesempatan untuk menuntut ilmu untuk menjadi pegawai yang akan mengabdi untuk penjajah. Kehidupan mereka jauh lebih makmur dari rakyat biasa. Tidak mustahil, kebiasaan ini menjadi penyakit turun temurun yang telah diwariskan kepada kita sampai saat ini. Pekerjaan menjadi alat untuk menaikkan status dalam stratifikasi sosial. Walau ternyata dewasa ini banyak pegawai negeri sipil yang makan gaji buta. Bahkan ada yang menyebutkan pegawai ”galtu” atau hanya masuk pada tanggal satu. Bukankah ini menjadi beban berat pemerintah? Oleh karena itu, sebaiknya pendidikan harus mampu menciptakan wirausaha.

Keempat, tidak mau ambil resiko. Banyak lulusan yang hanya menunggu lamarannya diterima. Pelamar tidak berani menjamin bahwa kalau sudah diterima mereka akan mampu meningkatkan kinerjanya. Misalnya, mereka memberikan jaminan ”jika bapak tidak puas dengan hasil pekerjaan saja selama tiga bulan, bapak bisa memecat saya”. Ya, tentu saja pelamar tidak akan berani ambil resiko seperti itu, karena pada dasarnya pelamar kerja tersebut sebenarnya memang belum siap untuk terjun menjadi pekerja yang handal. Untuk itu, proses magang menjadi keniscayaan bagi sekolah yang berorientasi kerja.   

Kelima, kriteria pengangguran mungkin salah kali. Dengan gayanya yang sangat polos, dalam tulisan itu tersurat pertanyaan tentang kriteria bekerja itu seperti apa sih? Apa yang sejak pagi sampai larut malam berada di kantor, tetapi tidak mempunyai produk yang jelas? Tidak! Istilah pengangguran itu dalam wacana akademis sudah jelas kriterianya. Ada pengangguran terbuka, dan ada pengangguran yang tidak kentara. Ada petani di desa yang luas tanahnya tidak sebanding dengan jumlah petaninya. Kriteria seperti ini termasuk pengangguran yang tidak kentara (disguised unemployment). Istilah pengangguran yang dimaksud adalah juga pengguran struktural (structural unemployment), dan jenis lainnya.

Angka Pengangguran

Tingkat pengangguran di Riau masih tinggi, pasalnya hingga oktober 2006 sebanyak 278.865 orang dari 1.623.300 angkatan kerja di Riau masih menganggur. Sementara itu, dari 1.344.434 orang jumlah tenaga kerja di Provinsi Riau tersebut, sebanyak 397.546 orang masuk dalam kelas unskill atau sekitar 54 persen tidak tamat sekolah dasar. Untuk itu, Pemerintah Provinsi Riau akan segera mensosialisasikan peraturan perizinan investasi dan peningkatan SDM yang nantinya akan dapat menciptakan iklim ekonomi dan durnia kerja yang kondusif. Kebijakan tersebut diharapkan akan mampu menyerap tenaga kerja untuk mengurangi jumlah pengangguran di Provinsi Riau. Selain itu, telah dibangun juga Balai Latihan Kerja (BLK) di sejumlah daerah di Riau.

Berdasarkan statusnya, dunia kerja sebanyak 725.053 orang bekerja disektor formal dan 619.381 orang lagi bekerja disektor informal. Berdasarkan sektornya, sektor lapangan kerja yang menyerap jumlah tenaga kerja tersebut antara lain di sektor industri sebanyak 701.526 orang dan di sektor jasa sekitar 410.321 orang dan sektor pertanian sebanyak 232.587 orang (http://riau.go.id)

Pendidikan dan Ekonomi

Amich Alhumami peneliti di Research Institute for Culture and Development, Jakarta (http://www.kompas.com) telah menulis tentang korelasi antara pendidikan dan ekonomi. Dalam tulisan tersebut, Alhumammi mencoba menjelaskan buku bertajuk Smart Money: Education and Economic Development (2004), karangan William Schweke. Penulis mencari rujukan tersebut dalam www.google.com dan ditemui potongan kalimat sebagai berikut:

A compelling body of research links primary and secondary education to economic development and growth. This research recognizes people as a type of economic asset – “human capital” – and shows that increased investment in health, skills, and knowledge provides future returns to the economy through increases in labor productivity. Education increases workers’ average earnings and productivity, and it also reduces the incidence of social problems such as drug abuse, crime, welfare dependency, and lack of access to medical care, all of which can weigh heavily on the economy.

Singkat kata, pendidikan dipandang sebagai ”human capital” yang dapat meningkatkan produktivitas para pekerja. Pendidikan meningkatkan penghasilan rerata para pekerja, dan selain itu juga mengurangi insiden masalah-masalah sosial seperti pelbagai pelanggaran penggunaan obat-obatan terlarang, kriminalitas, ketergantungan kesejahteraan, kekurang akses dalam memperoleh layanan kesehatan, yang semua itu dapat membuat berat dalam bidang ekonomi. Dengan kata lain, pendidikan bukan saja akan melahirkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, memiliki pengetahuan dan keterampilan serta menguasai teknologi, tetapi juga dapat menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi.
Memasuki abad XXI, paradigma pembangunan yang merujuk kepada knowledge-based economy tampak kian dominan. Paradigma ini menegaskan tiga hal sebagai berikut. Pertama, kemajuan ekonomi dalam banyak hal bertumpu pada basis dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, hubungan kausalitas antara pendidikan dan kemajuan ekonomi menjadi kian kuat dan solid. Ketiga, pendidikan menjadi penggerak utama dinamika perkembangan dan pertumbuhan ekonomi, yang mendorong proses transformasi struktural berjangka panjang. Sebagai ilustrasi, Jepang adalah negara Asia pertama yang menjadi pelopor pembangunan perekonomian berbasis ilmu pengetahuan.

Pelajaran Dari Malaysia dan Korea Selatan

Tidak diragukan lagi, salah salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi di Malaysia dan Korea adalah adalah komitmen yang kuat dalam membangun pendidikan.  Berbagai studi menunjukkan, basis pendidikan di Malaysia dan Korea memang amat kokoh. Jika pada tahun 1970-an banyak orang Malaysia yang belajar di Indonesia, kini sebaliknya. Pemerintah Malaysia dan Korea telah mengambil langkah-langkah ekspansif dan strategis antara tahun 1960-an sampai 1990-an guna memperluas akes pendidikan bagi segenap warga negaranya. Sebagai contoh, kebijakan pemerintah Malaysia tentang ”Sekolah Rendah Percuma” mulai dilaksanakan pada tahun 1960. Tanpa acara seremonial pencanangan yang megah seperti Indonesia, melalui kebijakan tersebut semua anak usia 7 – 12 tahun di Malaysia dapat memperoleh askes yang amat luas untuk pendidikan dasar. Di negara Korea, program wajib belajar pendidikan dasar (universal basic education) sudah dilaksanakan sejak lama dan berhasil dituntaskan tahun 1965, sementara Indonesia baru mulai tahun 1984. Sedangkan wajib belajar jenjang SLTP berhasil dicapai tahun 1980-an; dan jenjang SLTA juga hampir bersifat universal pada periode yang sama. Yang menakjubkan, pada jenjang pendidikan tinggi juga mengalami ekspansi besar-besaran; lebih dari setengah anak-anak usia sekolah pada level ini telah memasuki perguruan tinggi.

Komitmen Pemerintah Korea terhadap pembangunan pendidikan itu tercermin pada public expenditure. Pada tahun 1959, anggaran untuk pendidikan mencapai 15 persen dari total belanja negara, guna mendukung universal basic education dan terus meningkat secara reguler menjadi 23 persen tahun 1971. Setelah program ini sukses, Pemerintah Korea mulai menurunkan anggaran pendidikan pada kisaran antara 14 sampai 17 persen dari total belanja negara atau sekitar 2,2 sampai 4,4 persen dari GNP. Menyadari bahwa pendidikan dasar merupakan bagian dari kebutuhan dasar manusia atau public good, tercermin pada social return lebih tinggi dibanding private return, maka Pemerintah negara gingseng tersebut telah mengalokasikan anggaran pendidikan dasar jauh lebih besar dibanding level menengah dan tinggi. Kalau Malaysia dapat mengalokasikan anggaran pendidikan sampai 19%, anggaran untuk pendidikan dalam APBN di Indonesia hanya berkisar angka 8%-an.

Penting dicatat, dengan landasan pendidikan yang lebih kuat, kelas menengah ekonomi di Korea juga terbentuk dengan baik dan mapan. Pada dekade antara 1960-an dan 1980-an, kalangan pengusaha Korea telah membangun hubungan dagang dan membuka akses pasar ke negara-negara kawasan seperti Jepang, bahkan telah menyeberang ke benua Amerika
dan Eropa. Korea sukses melakukan inovasi teknologi (otomotif dan elektronik) karena memperoleh transfer teknologi melalui hubungan dagang dengan negara-negara maju tersebut. Bercermin pada pengalaman Korea, Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah-langkah strategis dalam upaya membangun pendidikan nasional. Investasi di bidang pendidikan secara nyata berhasil mendorong kemajuan ekonomi dan menciptakan kesejahteraan sosial.

Untuk itu, investasi di bidang pendidikan harus didukung pembiayaan memadai, terutama yang diperuntukkan bagi penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Mengikuti agenda Millenium Development Goals (MDGs), tahun 2015 Pemerintah Indonesia harus menjamin bahwa seluruh anak usia sekolah dasar akan memperoleh
pendidikan dasar.

Bersamaan dengan itu, akses ke pendidikan menengah dan pendidikan tinggi juga harus diperluas, guna mendukung upaya menciptakan knowledge society yang menjadi basis akselerasi pembangunan ekonomi di masa depan.

Kapasitas stakeholder (pemangku kepentingan) pendidikan

Apakah semua para pemangku kepentingan dalam bidang pendidikan menguasai berbagai aspek pembangunan pendidikan dan hubungannya dengan ekonomi? Di sini persoalannya. Perlu peningkatan kapasitas (capacity building) secara terus menerus. Apalagi SDM kita mengalami proses rotasi dan mutasi yang cukup tinggi. Di NTB proses itu disebut sebagai ”tsunami”. Rotasi dan mutasi pegawai tampaknya belum mempunyai development path yang standar. Gubernur atau bupati/walikota bisa saja dapat memindahkan bawahannya dari satu tempat ke tempat yang lain. Tim sukses ketika pilkada akan mempengaruhi proses rotasi dan mutasi pegawai. Dengan demikian, pemangku kepentingan perlu terus dibina dan ditingkatkan kapasitasnya.

Siapa para pemangku kepentingan pendidikan? Versi Australia Indonesia Basic Education Program (AIBEP), para pemangku kepentingan pendidikan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota adalah: (a) Bappeda, (b) DPRD, (c) Dinas Pendidikan, (d) Depag, dan (e) Dewan Pendidikan. Sementara di tingkat sekolah adalah (a) kepala sekolah, (b) guru, (c) pengawas atau dinas pendidikan, (d) Komite Sekolah, dan (e) orangtua siswa. Semua pemangku kepentingan tersebut harus terlibat dalam perumusan konsep pendidikan berorientasi kerja, termasuk pelaksanaannya, serta evaluasinya.

Kapasitas tentang apa? Sesuai dengan bidangnya masing-masing, kapasitas yang harus dikuasai sudah barang tentu adalah sebagi berikut: (1) teori, aliran, konsepsi, dan filsafat pendidikan pada umumnya, (2) perencanaan pendidikan, (3) dimensi mutu pendidikan, (4) data akurat tentang pendidikan, (5) sistem pendidikan, (6) perbandingan pendidikan di negara-negara lain, terutama negara yang sudah maju, (7) hubungan atau korelasi antara pendidikan dengan pelbagai aspek pembangunan lain, seperti ekonomi dan sebagainya, dan masih banyak yang lainnya.

Pendidikan dan Pendidikan Berorientasi Pasar Kerja 

Menurut John Dewey, pendidikan merupakan proses sosial. Mantan Mendikbud Fuad Hasan menyebut pendidikan sebagai proses pembudayaan, transformasi nilai-nilai sosial budaya masyarakat. Individu yang akan memperoleh pendidikan — mulai sejak bayi yang dilahirkan — berada dalam kehidupan sosial yang tidak dapat dipisahkan dengan individu tersebut. Individu tersebut disebut sebagai ”social individual” atau individu yang hidup dalam kehidupan sosial. Sedang masyarakat adalah satu kesatuan organik dari individual-individual. Jika akan memisahkan faktor sosial dari individu, maka yang tertinggal adalah hanyalah sebuah abstraksi tentang pendidikan. Sebaliknya, jika akan memisahkan faktor individu dari masyarakat, maka yang tersisa adalah masyarakat tanpa proses kehidupan.

Dengan demikian, menurut John Dewey, kehidupan manusia pada hakikatnya sebagai proses pendidikan yang sebenarnya (the true educational process). Education is not preparation for life, education is life itself.  Jelasnya, pendidikan bukanlah persiapan untuk kehidupan, tetapi pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Demikian John Dewey  dengan tegas menjelaskan kepada kita.

Proses pendidikan telah membentuk manusia secara individual. Proses pendidikan pulalah yang telah membentuk manusia sebagai komunitas, atau bahkan sebagai bangsa dan negara. Kita dapat belajar dari sejarah kehidupan suatu bangsa, katakanlah bangsa Jepang yang melatarbelakangi bagaimana bangsa Jepang telah mendidik bangsanya menjadi negara dan bangsa yang maju di dunia. Ketika Jepang mengalami kehancuran karena kalah dalam Perang Dunia II, kaisar Jepang menanyakan ”berapa guru yang masih tersisa”. Beliau tidak menanyakan berapa tentara yang masih ada. Bukan pula kekayaan alam yang masih ada. Tetapi dengan guru yang masih tersisa, bangsa Jepang mulai membangun bangsanya. Ternyata, kemajuan suatu bangsa tidak ditentukan oleh melimpahnya kekayaan alamnya, tetapi oleh kegigihan bangsa itu dalam perjuangan hidupnya.

Pendidikan berorientasi pasar kerja terlihat dari indikator proses dan hasilnya. Dari segi proses, maka proses pendidikan mempunyai beberapa karakteristik utama sebagai berikut: (1) sekolah dibangun dengan memperhatikan kebutuhan dan kondisi lingkungan/daerah, (2) dilaksanakan lebih banyak melakukan praktik daripada teorinya, (3) lebih banyak menjalin dan bekerja sama dengan institusi terkait, terutama dengan dunia usaha dan dunia industri.

Bagaimana membangun pendidikan berorientasi pasar kerja?

Pertama, dimulai dari pemahaman yang benar tentang pendidikan oleh semua pemangku kepentingan, mulai dari keluarga sebagai pusat pendidikan yang pertama dan utama, sampai dengan pemangku kepentingan pendidikan yang lain, termasuk sector pemerintah dan swastanya. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama. Bukan tanggung jawab dinas pendidikan semata-mata, bukan tanggung jawab pemerintah daerah semata-mata. Keluarga dan masyarakat luas harus dilibatkan dalam keseluruhan proses pembangunan pendidikan, mulai dari perecanaan, pelaksanaan, penilaian hasil pembangunan pendidikan. Keluarga dan masyarakat harus memahami dan meyakini bahwa tujuan untuk mendidik anak-anaknya ke lembaga pendidikan tidak hanya untuk menjadi pegawai negeri. Bukan. Untuk dapat terjun ke kancah dunia kerja dalam masyarakat. Buat sosialisasi tentang hal yang sangat mendasar ini. Buat reklame tentang hal ini di semua sudut kota dan desa. Bukan hanya reklame rokok yang ada di mana-mana!!!! Yogyakarta nyaris tidak lagi dipandang sebagai kota pendidikan, ketika di semua pojok kotanya penuh dengan reklame rokok. Sementara reklame tentang pendidikan dapat disebut sangat minim sekali. Sebagai contoh, reklami “Pendidikan adalah ibadah, bekerja adalah ibadah”. “Ingin sukses dalam pekerjaan? Lakukan Apa Saja, Asal tidak berdosa”. Masih banyak yang lain.

Kedua, kebijakan pembangunan unit sekolah baru (USB) kejuruan, baik SMK ataupun MAK dengan program studi yang sesuai dengan kebutuhan daerah. Studi kelayakan harus dilakukan sebelum membangun USB tersebut. Termasuk dalam kebijakan ini adalah juga ada kemungkinan melakukan konversi SMA menjadi SMK, pembangunan SMK Kecil  sesuai dengan kebutuhan daerah itu.

Ketiga, mengubah paradigma pembelajaran di sekolah. Model pembelajaran kita harus diubah dari teacher-centered ke student-centered, dari penggunaan ceramah ke CTL dan PAKEM. Perubahan paradigma ini tidak mudah, karena ini mengubah mindset dan budaya para guru kita. Di dalam kelas, anak-anak masih selalu dibiasakan untuk melakukan kegiatan atau pekerjaan “orang kerah putih” untuk pegawai negeri, bukan “kerah biru” untuk pekerja di pabrik atau perusahaan. Alangkah naifnya jika model pengajaran di SMK masih menggunakan metode ceramah. Alangkah naifnya pula jika ada sekolah menengah kejuruan yang tidak memiliki alat-alat praktik, atau tidak memiliki bengkel-bengkel kerja, atau pun unit-unit produksi.

Menoleh ke belakang tentang pentingnya tujuan pendidikan nasional, negara Brazil dan Indonesia memang menggunakan rumusan tujuan pendidikan yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari kedua undang-undangnya sebagai berikut.

The National Educational Bases and Guidelines Law enacted in 1961 (untuk Brazil) says that, “national education, inspired in the principles of freedom and in the ideals of human solidarity, has the purpose of:

  • understanding individual rights and responsibilities, as well as those of citizens, the State and other community groups;
  • respecting man’s dignity and fundamental freedoms;
  • strengthening national unity and international solidarity;
  • integral development of the human personality and his/her participation in the work towards common welfare;
  • preparing individuals and society to master scientific and technological resources which will allow the use existing possibilities to common welfare;
  • protecting, disseminating and expanding cultural heritage;
  • condemning any unequal treatment resulting from philosophical, political or religious belief, as well as any social classes or racial prejudices.

Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, fungsi dan tujuan pendidikannya dirumuskan sebagai berikut:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Dengan  kemampuan tersebut, diharapkan lulusannya dapat terjun ke dunia kerja. Namun rumusan tentang dunia kerja tersebut tidak tersurat, hanya tersirat, karena tidak secara eksplisit dinyatakan dalam ketentuan tersebut. Berbeda dengan KonstitusiBrazil1988 yang dengan tegas menyatakan bahwa

“Education” is “a right for all, a duty of the State and of the family, and is to be promoted with the collaboration of society, with the objective of fully developing the person, preparing the individual for the exercise of citizenship and qualifying him/her for work“.

Dengan kata lain, pendidikan adalah hak untuk semua, satu kewajiban negara dan keluarga, dan ditingkatkan melalui kolaborasi dengan masyarakat, dengan tujuan untuk mengembangkan peserta didik secara penuh, mempersiapkan setiap individu untuk mengikuti latihan kewarganegaraan dan meningkatkan kualifikasinya untuk bekerja.

Dari kedua rumusan tujuan pendidikan di Brazildan Indonesiatersebut, tampak jelas bahwa rumusan tujuan pendidikan di Brazilsecara langsung telah mengaitkan dengan dunia kerja (in the work) menuju kesejahteraan bersama. Sementara di Indonesia, rumusan tujuan pendidikan nasional hanya merumuskan secara implisit atau hanya tersurat, yakni mengembangkan potensi peserta didik agar cakap, kreatif, mandiri.

Keempat, kebijakan pendidikan yang pro-poor. Kebijakan pendidikan di negeri ini harus pro rakyat miskin, dan pro para penganggur. Sekolah gratis untuk pendidikan dasar harus mendapatkan prioritas dari pemerintah. Untuk meningkatkan mutu pendidikan di mana pun juga, masyarakat yang mampu tidak serta merta harus dilarang. Kebijakan ini tidak seharusnya menjadi halangan bagi masyarakat luas untuk terus memberikan partisipasinya melalui wadah peran serta masyarakat, yakni Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Untuk itu, data siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu harus dimiliki oleh Dinas Pendidikan setempat.

Kelima, kebijakan pendidikan yang pro kepada jenis pendidikan kejuruan, minimal dalam kondisi rasio yang seimbang antara peserta didik pada pendidikan kejuruan dengan peserta didik dalam pendidikan umum. Beberapa kebijakan yang dipandang pro kepada jenis pendidikan kejuruan, antara lain adalah sebagai berikut: (a) membangun SMK yang sesuai dengan kondisi, lingkungan, dan kebutuhan daerah kabupaten/kota masing-masing, (b) membangun fasilitas dan fasilitas praktik yang memadai untuk SMK yang telah dibangun tersebut, (c) menyelenggarakan sistem magang yang efektif terutama untuk memberikan bekal keterampilan yang memadai bagi calon lulusan, (d) membangun jejaring kemitraan dengan institusi terkait, terutama dengan dunia usaha dan industri, (e) menyediakan dana beaiswa kepada siswa yang berprestasi untuk dapat menempuh pendidikan selanjutnya, atau untuk memperoleh kecakapan lanjutan yang diperlukan agar lulusannya mampu bersaing pada level nasional maupun internasional.

Keenam, meneruskan jalinan dan kerja sama sekolah dengan institusi terkait, khususnya dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI). Kebijakan ini telah lama diterapkan dalam pendidikan menengah kejuruan, mulai dari penyusunan kurikulum pendidikan menengah kejuruan sampai dengan pelaksanaan ujian dan pelaksanaan kegaitan magang atau praktik kerja, baik di dalam maupun di luar negeri.

Ketujuh, terus mengembangkan unit produksi dan penerapan prinsip manajemen moderen yang demokratis, transparansi, dan akuntabel di lembaga pendidikan sekolah.

Bagaimana Dengan Jenjang Pendidikan Dasar?

Beberapa kebijakan tersebut memang terkait khusus dengan kebijakan untuk pendidikan menengah kejuruan. Lalu, bagaimana dengan peranan pendidikan dasar untuk menunjang pendidikan berorientasi pasar kerja?

Dahulu kita mengetahui bahwa peserta didik sudah diberikan pilihan untuk memasuki pendidikan kejuruan mulai pada jenjang pendidikan dasar (setingkat SMP), seperti STN, SKKN, dan sebagainya. Kita tidak ingin menghidupkan kembali lembaga-lembaga pendidikan yang sudah mati itu. Tidak! Mungkin yang kita perlukan adalah orientasi tentang perlunya peserta didik memahami pentingnya pendidikan kejuruan. Materi itu dapat dimasukkan ke dalam mata pelajaran muatan lokal, atau setidaknya pada pengembangan diri, misalnya informasi tentang konsep kecerdasan majemuk (multiple intelligences). Secara dini peserta didik perlu memahami tentang pentingnya sejak dini mengetahui tentang tipe kecerdasan yang mereka miliki. Peserta didik harus memahami bahwa kecerdasan yang mereka miliki bukan hanya kecerdasan logik-matematik saja alias kecerdasan intelektual. Kecerdasan ini hanya diperlukan 20% saja. Selebihnya adalah kecerdasan yang lain.

Bahkan secara periodik sekolah perlu mengadakan tes psikologi untuk menentukan bakat dan minat mereka sejak dini sudah harus diketahui peserta didik. Bakat itu bukan hanya kecerdasan intelektual atau (IQ) saja, tetapi juga tipe-tipe kecerdasan lainnya. Peran terpenting pendidikan tidak lain adalah menemukan secara dini kecerdasan peserta didik.

Mengingat jumlah mata pelajaran yang ada dalam standar isi sudah cukup banyak dan telah menyebabkan kurikulum kita menjadi kurikulum yang terlalu ”gembrot”, maka akan lebih memungkinkan jika nilai-nilai sosial-budaya, seperti kerja keras, menghargai waktu, menghargai kerja sama, termasuk juga kecerdasan majemuk tersebut dapat diintegrasikan ke dalam muatan lokal atau pengembangan diri peserta didik. Dengan demikian, peserta didik lulusan jenjang pendidikan dasar secara dini telah memiliki pilihan pendidikan pada jenjang menengah. Bukan hanya sekedar ikut-ikutan masuk ke SMA, sementara bakat dan minatnya sebenarnya tidaklah mendukungnya.

Penutup

Ada empat butir kesimpulan sementara yang dapat kita petik dari tulisan ini. Tentu saja, kesimpulan berikut ini saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Pertama, polemik akademis tentang pendidikan siap latih versus pendidikan siap kerja tidak akan akan pernah selesai. Kedua, sebagai negara yang sedang berkembang dan masih belum dapat sepenuhnya keluar sepenuhnya dari dampak krisis multidimensional, kita harus yakin bahwa masalah itu semua akan dapat diselesaikan hanya melalui pendidikan. Ketiga, pendidikan adalah investasi utama suatu bangsa. Menurut Sayidiman Suryohadiprojo, inti permasalahan pendidikan di Indonesia adalah rendahnya kesadaran pemimpin bangsa terhadap pendidikan dan rendahnya dana atau anggaran yang dialokasikan untuk pendidikan. Keempat, membangun pendidikan yang berorientasi pasar kerja akan dapat dicapai jika peningkatan komitmen para pemangku kepentingan, penguatan kapasitasnya, dan peningkatan anggaran pendidikan yang memadai.

*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.

Depok, 29 Juni 2008

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts