ArtikelBudaya

TAIKO: Sekelumit Renungan Tentang Etos Kerja dan Beorganisasi

299 views
Tidak ada komentar

Oleh Mas Bambang Purnomo Sigit

Source: http://www.mayfieldrenshukan.com/

Dalam beberapa hari yang lalu saya berhasil tamat membaca buku berjudul TAIKO karya klasik dari Eiji Yoshikawa (Penulis Musashi) pinjaman dari mahasiswa saya, Banu, yang tebalnya lumayan juga sekitar 1100 halaman. Buku itu sangatlah menarik bagi saya karena berisi tentang sejarah Jepang pada dekade abad XVI. Dalam buku itu dikisahkan kehidupan samurai yang penuh dengan darah, intrik, pengabdian, perjuangan, taktik dan strategi di masa pergolakan politik di kekaisaran Jepang akibat lemahnya pemerintahan Shogun.

Secara garis besar inti dari cerita buku TAIKO ini adalah pada masa itu munculah tiga tokoh yang memiliki cita-cita besar yaitu mempersatukan bangsa Jepang. Ke-tiga tokoh ini memiliki karakter yang berbeda-beda dan sangat unik.

Nobunaga, seorang pimpinan samurai marga Oda, memiliki karakter ekstrem, penuh kharisma, tegas, brutal, dan gegabah. Ia dibesarkan di suatu propinsi kecil yang semula tak dipandang oleh marga-marga yang lain.  Ieyasu, pimpinan marga Tokugawa, masa kecilnya penuh kesengsaraan sebagai sandera dari marga lain, mempunyai karakter tenang, berhati-hati, bijaksana, penuh perhitungan, dewasa, dan berani di medan perang. Sedangkan tokoh yang ke-tiga adalah Hideyoshi, yang terlahir dari keluarga miskin, bapaknya seorang prajurit yang terluka sebelum membuat jasa yang besar, sehingga dia saat kecilnya tidak menikmati sama sekali pendidikan yang bagus, sehingga pola hidupnyapun sederhana, tetapi karena pergolakan hidup serta semangatnya-lah yang menjadi pengasah kecerdasan, disamping interaksinya dengan bermacam-macam oranglah yang menjadikannya berkepribadian kompleks. Nah, dari ke-tiga tokoh ini, Hideyoshi-lah yang kemudian menjadi Taiko.

Seperti yang saya tulis di alenia sebelumnya, Hideyoshi merupakan anak ke-2 dari pasangan keluarga miskin. Sedari kecil ia bercita-cita menjadi seorang samurai, tetapi ibunya tak setuju karena bapaknya sendiri adalah seorang pengikut samurai yang telah cacat fisiknya sebelum berhasil melejitkan namanya di depan junjungannya.  Pada suatu saat sang bapak meninggal, sehingga ibunya terpaksa menikah lagi guna melanggengkan kehidupan keluarganya. Ternyata bapak tirinya berwatak keras, sehingga Hideyoshi-pun dipaksa untuk bekerja giat, mulai dari pembantu di kuil, pembantu di toko gerabah dan lain sebagainya. Tetapi karena bukan merupakan cita-cita maka Hideyoshi selalu dipulangkan lagi. Selama bekerja itulah dia belajar tentang watak, karakter dan psikologis seseorang.  Karena tiada lagi yang mau menerima dia bekerja, pada akhirnya Hideyoshi memutuskan untuk berdagang jarum jahit keliling. Tetapi semua itu tak disesali karena baginya tiada yang percuma dalam kehidupan ini. (Dia menerapkan sistem belajar sambil bekerja/ bekerja adalah belajar), tetapi dia tetap berpegang teguh pada cita-citanya, yaitu menjadi seorang samurai (setiap manusia harus memiliki cita-cita, impian dan harapan sebagai sasaran tujuan dalam kehidupannya).

Terjadi suatu perubahan besar dalam jalan hidupnya saat ia bertemu dengan Nobunaga. Nobunaga tertarik dengan semangat Hideyoshi dan akhirnya dipekerjakanlah dia di benteng Nobunaga. Kariernya cepat sekali menanjak, dimulai dari tukang pembawa sandal, kepala dapur, kepala kandang kuda, kepala pembangunan, komandan regu, sampai akhirnya menjadi menjadi seorang jenderal kepercayaan Nobunaga.

Hal yang paling menarik dalam bekerja selain kecerdikannya adalah jiwa pengabdiannya. Saat memutuskan dirinya mengabdi kepada Nobunaga, maka segala pekerjaan yang diperintahkan oleh majikannya dikerjakan dengan sungguh-sungguh bersemangat tanpa mengeluh, meskipun dengan upah yang rendah (jika sudah memutuskan bekerja adalah suatu pengabdian maka harus mengerjakan dengan sungguh-sungguh walau dengan upah yang sedikit/ profesionalisme).

Dengan ketekunannyalah yang menyebabkan ia dekat dengan majikannya maupun sesama pekerja yang lain serta kemampuannya untuk menempatkan diri dalam berkomunikasi menyebabkan ia disayangi oleh Nobunaga (betapa pentingnya pendekatan interpersonal dalam berinteraksi dengan orang lain). Ia tak tersinggung walau orang disekelilingnya menyebut dia si monyet, karena wajahnya mirip monyet. Tenyata ia mempunyai visi yang sama dengan Nobunaga yaitu mempersatukan bangsa Jepang (bagaimana suatu pemahaman akan kesamaan visi dan missi baik antara pimpinan dan anak buah sangatlah penting untuk mencapai tujuan organisasi). Hingga sampailah pada tujuannya yaitu menyatukan bangsa Jepang.

Tidak semua perebutan wilayah dilaksanakan dengan cara perang berdarah, Hideyoshi lebih banyak mempergunakan pendekatan psikologis kepada para musuh maupun saingannya, sehingga bisa menjadi sekutu, karena baginya cara terbaik untuk menaklukkan musuh atau saingan adalah dengan memberikan pengertian tujuan invasinya, dikesampingkannya ego-nya dan diajaknya berbicara tentang keuntungan bersama jika mendukung Nobunaga, salah satunya adalah Ieyasu. (Dalam hal ini jelaslah untuk membentuk soliditas suatu organisasi dengan mengharapkan dukungan dari pihak lain, maka bukan hanya sekedar kekuatan tetapi dengan akal, serta dengan cara memberikan  keuntungan yang sepadan bagi mereka).

Ada falsafah yang menarik dari ketiga tokoh diatas ini, yaitu bagaimana cara menyikapi suatu hal. Jika diajukan suatu pertanyaan kepada ketiga orang ini maka jawabannya akan berbeda. ” Bagaimana jika seekor burung tak mau berkicau?”.

  • Nobunaga : Bunuh saja,
  • Ieyasu        : Tunggu sampai ia bisa berkicau.
  • Hideyoshi  : Buat burung itu ingin berkicau.

Kenapa kata-kata ingin saya garis bawahi? Ya…. Hideyoshi dengan pendekatan interpesonal, memberikan kepercayaan yang besar, serta menanamkan tujuan dari apa yang dikerjakan telah merubah pemikiran para pengikutnya menjadi bersemangat berperan serta dalam mewujudkan tujuannya.

Dalam bab–bab akhir cerita, Nobunaga telah dikhianati dan dibunuh oleh pengikutnya, karena dia tak mampu mengendalikan emosinya, dengan menghina anak buahnya didepan umum serta memperlakukannya berbeda dengan pengikut yang lain. (Seorang pemimpin harus besikap adil serta harus pula bisa menjaga martabat anak buahnya). Dengan kematian Nobunaga ini maka terjadilah perpecahan dikalangan pengikutnya yang lain. Maka demi menjalankan missi serta dalam rangka mewujudkan visi yang hampi selesai dari majikannya tersebut Hideyoshi menempuh segala cara agar dapat menyatukan kembali organisasi yang telah dibentuk dengan susah payah (yaitu demi mempertahankan kelanggengan organisasi perlu dipakai berbagai cara agar bisa kembali ke tujuan awal). Salah satu lawannya adalah bekas sekutunya sendiri yaitu Ieyasu yang sangat terkenal cerdik. Dalam menghadapi Ieasyu strategi yang dijalankan adalah dengan memperluas hak-hak dari marga Tokugawa.

Dan satu hal yang perlu dipuji darinya adalah saat dia harus memerangi anak angkat majikannya sendiri. Dia paham sekali bahwa anak majikannya tak memiliki kemampuan untuk memimpin, tetapi tidak dengan serta merta ia menyatakan itu. Barulah dengan penilaian yang obtyektif dari berbagai pihak, dinyatakan bahwa Hideyoshi-lah yang sebenarnya mampu memegang kendali pemerintahan menggantikan Nobunaga (kemampuan leadership).  Dalam adegan perdamaian dengan anak angkat Nobunaga ini, justru Hideyoshi yang melakukan sujud sebagai penghormatan kepada anak junjungannya itu, tetapi dengan halus pula dia mengajukan syarat-sayarat perdamaian yang justru akhirnya mengikat pengakuan anak angkat Nobunaga untuk terikat pada pemerintahannya. (Dalam melaksanakan kepemimpinan tidak diutamakan ego ataupun harga diri yang berlebihan, yang terpenting disini adalah bagaimana tujuan bisa tercapai / taktik dan strategi). Setelah Hideyoshi mampu mengikat kembali keutuhan persekutuannya maka dia menjalankan pemerintahan dengan bijaksana, dan mulai pada saat itulah ia bergelar Taiko.

Dalam startegi dikenal adanya upaya bersekutu, tentang bagaimana cara yang efektif untuk menaklukkan musuh dalam ilmu manajemen modern adalah sebagai berikut:

Real Politic Game

Artinya bila lawan lebih kuat dan bersifat mengancam maka harus ditempuh startegi accomodation, tetapi bila lawan lebih kuat dan tidak bersifat mengancam maka dapat ditempuh strategi Concordance. Bila lawan lebih lemah dan bersifat mengancam makaharus ditempuh Confrontation, tetapi jika lawan lemah dan tidak bersifat ancaman, maka anda harus melakukan Leadership.

Jaringan Guru Online (JARGON) Multiply

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts